LEVEL 6

2422 Kata
“Haah... indahnya, Korea memang indah. Akhirnya sampai juga.” Ujar Irene riang seraya meluruskan kedua tangannya ke udara. Dia renggangkan otot-ototnya yang terasa kaku karena terlalu lama duduk di dalam pesawat.  Dia baru saja melewati perjalanan dari Indonesia ke Korea, dan kini dia sedang berada di bandara hendak pergi menuju hotel.  “Dasar norak.” Seseorang bergumam di samping Irene, meski pelan tapi suaranya tertangkap jelas indera pendengaran Irene. Sontak Irene menoleh ke arah orang tersebut yang tidak lain merupakan suaminya, Reiki. Dia mendelik kesal dan urat-urat marah sudah bermunculan di keningnya. Sambil bertolak pinggang, dia pun siap melontarkan kekesalannya.  “Heeh... Lo barusan bilang apa? Lo bilang gue norak kan?” “Kalau emang denger gak usah nanya.” Sahut Reiki dengan raut datarnya, tak merasa bersalah sedikit pun meskipun satu kalimat darinya tadi telah sukses merubah suasana hati Irene yang bagaikan sekuntum bunga mekar kini menjadi layu seketika.  “Jangan sembarangan ngomong ya, asal lo tahu gue udah sering ke luar negeri. Lo lupa ya gue ini model terkenal? Gue udah sering pergi ke luar negeri, ya walaupun demi pekerjaan. Jangan mentang-mentang lo kaya jadi seenaknya... hei... dengerin dong kalau orang lain lagi ngomong.” Irene menggeram kesal seraya menjambak rambutnya frustasi karena dia diabaikan pria itu. Lihatlah, bahkan si pria saat ini berjalan menjauhinya dan sibuk menghentikan sebuah taksi.  “Hei norak, mau sampai kapan lo berdiri disitu? Cepet masuk!” ucap Reiki yang kini sudah duduk di dalam taksi. Irene menghentakan kakinya kesal seraya mengerucutkan bibirnya. Betapa jengkelnya dia, seperti yang dia duga pergi berbulan madu dengan Reiki memang sebuah musibah untuknya. Dengan enggan, dia pun masuk ke dalam taksi. Sengaja dia duduk di kursi depan samping sopir karena tidak mau duduk di samping Reiki.  Setibanya di hotel yang sudah disiapkan oleh orangtua Reiki, mereka bergegas menuju meja resepsionis. Reiki meminta kunci kamar mereka yang sudah dipesan dan dibayar oleh orangtuanya. Namun betapa terkejutnya dia ketika Irene tiba-tiba memesan satu kamar lain.  “Ngapain lo pesen kamar lagi?” tanya Reiki. “Udah jelas kan, gue pesen kamar buat gue tidur. Emangnya lo pikir, gue mau tidur sekamar sama lo. Jangan mimpi ya, dasar Mr. Gamer belagu.” Racaunya, lalu dengan gesit dia mengambil kunci kamarnya yang diulurkan sang resepsionis padanya. Dia berjalan cepat, mendahului Reiki atau lebih tepatnya tak peduli pada Reiki yang menatap heran ke arahnya.  Di dalam kamarnya, Irene melepas flat shoes yang dikenakannya. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur seraya mulutnya yang terus menggerutu kesal.  “Huuh... gue benci banget sama cowok maniak game itu. Seenaknya manggil gue norak, terus dia pake nanya lagi kenapa gue pesen kamar laen. Apa dia udah lupa syarat dari gue? Emang ya dia itu cowok paling payah, paling nyebelin, paling gue benci di muka bumi.” Gerutunya seraya menghentak-hentakan kakinya di atas kasur.  “Lihat aja, gue pasti bakalan bikin dia nyesel udah setuju nikah sama gue.” Seringaian kejam menghiasi wajah cantiknya seraya pikirannya yang sudah dipenuhi berbagai rencana jahat.  “Sebelum gue bikin tu cowok sengsara, mendingan gue nyenengin diri dulu. Gue mau jalan-jalan.” Dia melompat girang dari tempat tidurnya. Melepas pakaiannya dan melemparkannya asal sehingga berserakan di lantai. Hanya pakaian dalamnya saja yang dia biarkan masih membungkus tubuhnya, dia pun melenggang dengan angkuhnya menuju kamar mandi.  Dia berendam dengan sesekali bibirnya yang tak hentinya menyenandungkan sebuah lagu. Betapa dia menikmati aktivitasnya di dalam kamar mandi, tanpa dia ketahui seseorang kini sudah berada di dalam kamarnya. Dengan cerobohnya Irene lupa mengunci pintu kamarnya sehingga orang itu pun bisa masuk dengan mudah ke dalam kamar.  Reiki menggelengkan kepalanya menatap pakaian dan celana istrinya yang berserakan di lantai. Dia membungkuk, memunguti pakaian-pakaian itu dan meletakannya di atas kasur.  “Dasar cewek gak rapi, gue heran ada gitu cewek kayak dia.” Gumamnya masih dengan kepalanya yang menggeleng heran.  Dia melihat smartphone milik Irene tergeletak di nakas samping tempat tidur, dia ambil smartphone itu dan sedikit mengutak-atiknya. Sebenarnya dia hanya ingin menyalakan GPS di smartphone Irene agar dia bisa tahu dimana Irene berada jika tiba-tiba Irene pergi dari hotel tanpa sepengetahuannya. Setelah itu, dia letakan kembali smartphone Irene di tempatnya semula.  Reiki mendudukan dirinya di atas sofa, kesepuluh jari tangannya sibuk memainkan smartphonenya. Lebih tepatnya, dia sedang menyibukan diri dengan bermain game sejenak selama menunggu istrinya yang masih betah dengan aktivitas mandinya. Reiki tahu Irene sedang mandi karena suara nyanyiannya yang semakin terdengar kencang seiring berjalannya waktu. Sesekali Reiki tersenyum tipis mendengar suara Irene yang melengking di dalam kamar mandi.  “Haah... segarnya.” Gumam Irene seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil. Dia yang belum menyadari kehadiran Reiki di kamarnya, melenggang santai di kamarnya hanya dengan mengenakan selembar handuk yang membuatnya nyaris terlihat telanjang. Dia berjalan menuju lemari yang menjadi salah satu fasilitas di hotel itu. Bertolak pinggang di depan cermin lemari sambil memperhatikan wajahnya.  “Gue emang cantik, semua orang juga mengakuinya. Haah... beruntungnya gue diberi wajah cantik kayak gini sama Tuhan. Gue harus banyak-banyak bersyukur.” Ucapnya menyombongkan dirinya sendiri. Lalu dia melakukan berbagai pose seolah dia sedang tampil di depan kamera.  “Badan gue juga seksi. Haah... beruntungnya cowok yang bisa nyentuh gue.” Dan kata-kata itu telah sukses membuat Reiki tak sanggup lagi menahan kekehannya. Merasa mendengar suara seseorang, sontak Irene menoleh ke arah sumber suara. Dia membeku di tempatnya berdiri, tak melakukan pergerakan apa pun sedang kedua matanya melotot sempurna ke arah Reiki saat ini. “Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa !!!” teriaknya histeris seraya menutupi tubuhnya yang tidak tertutupi handuk dengan kedua tangannya.  “Lo... cowok m***m, ngapain lo disini? Kenapa lo bisa masuk kamar gue?” “Salah sendiri lo gak kunci pintunya.” “Pergi dari sini, ngapain lo kesini?!” teriaknya seraya melempar benda apa pun yang terjangkau tangannya pada Reiki.  “Gue cuma pengen liat kamar lo, sekalian ngajak lo makan bareng. Lo pasti lapar kan?” sahut Reiki menjelaskan alasannya mendatangi kamar Irene. “Akkhh... lo gak usah bohong. Gue tahu alasan lo masuk ke kamar gue diem-diem. Lo pasti mau ngintipin gue kan? Udah deh lo ngaku aja!” tuduh Irene yang sepertinya membuat Reiki sedikit tersinggung.  Reiki bangkit berdiri dari duduknya. Dia melangkah mendekati Irene, membuat si gadis geragapan karena merasa situasinya sedang terancam sekarang. Dia tak yakin bisa melakukan perlawanan jika Reiki tiba-tiba menyerangnya, kondisinya saat ini yang hanya mengenakan handuk sangat menguntungkan bagi Reiki, jika dia memang berniat jahat pada Irene.  “L... lo mau apa? Jangan deket-deket!” larang Irene seraya dia rentangkan satu tangannya ke depan untuk menahan Reiki agar tidak semakin berjalan mendekatinya. Namun Reiki menepis kasar tangan itu, dia semakin melangkah mendekati Irene hingga tak ada jarak yang memisahkan mereka. Irene pun tak bisa mundur lagi karena punggungnya membentur lemari.  Reiki merentangkan tangan kanannya, menumpu pada lemari. Irene kini terkunci dalam kungkungannya. Irene masih menahan d**a Reiki dengan tangannya, mendorongnya untuk membuat jarak sejauh mungkin dengannya. Namun sia-sia karena Reiki justru semakin merapatkan posisi mereka.  “L... lo jangan ingkari janji lo. Lo kan udah setuju sama syarat-syarat dari gue. Lo gak lupa kan syarat dari gue?” Irene mencoba mengingatkan kembali tentang perjanjian yang mereka sepakati sebelum menikah, berharap Reiki menjauh setelah mendengarnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Reiki mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Irene. Irene gugup, panik dan ketakutan saat ini. Jantungnya pun tiba-tiba menggila karena inilah pertama kalinya dia seintim itu dengan seorang pria.  Irene mengeratkan genggamannya pada handuk di dadanya, sebagai antisipasi agar handuk itu tidak terlepas. Tubuhnya sedikit bergetar membuat Reiki yang menyadarinya menyeringai puas. Kedua mata Irene yang awalnya membulat sempurna, perlahan mulai terpejam ketika Reiki semakin membuang jarak di antara wajah mereka.  Awalnya Irene pikir, dia akan merasakan sesuatu yang lembut sebentar lagi akan bersentuhan dengan bibirnya, namun yang didapatkannya berbanding terbalik dengan kenyataan. Faktanya bukan sentuhan lembut di bibirnya yang dia rasakan melainkan sesuatu yang menoyor keningnya hingga belakang kepalanya membentur lemari.  “Hahahaha... Ngapain lo tutup mata?” seketika Irene membuka kedua matanya, Reiki sedang tertawa mengejeknya sekarang. “Lo pikir, gue mau cium lo ya. Ngarep banget lo.” Irene menggeram murka, dia dorong d**a Reiki sekuat mungkin dengan kedua tangannya sehingga Reiki pun sedikit sempoyongan ke belakang.  “Lo... lo emang cowok paling b******k ya, gue bakalan benci sama lo seumur hidup gue!” bentak Irene, kini hatinya sedang diliputi amarah yang meluap-luap.  “Terserah, lagian salah lo sendiri yang kepedean. Terus tadi apa lo bilang, lo cantik? Lo lagi mimpi ya. Lo itu sama sekali gak cantik, banyak cewek yang jauh lebih cantik dari lo. Jadi gak usah kepedean deh.” Irene mengepalkan kedua tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih.  “Badan lo juga gak seksi, sebaliknya badan lo kurus kering gitu. Sama sekali gak menarik. Lo kayak cewek kekurangan gizi, tahu gak?” Reiki kembali tertawa di akhir ucapannya. Irene yang sudah tak sanggup lagi menahan amarahnya, mengambil flat shoes yang tergeletak di lantai, lalu tanpa aba-aba dia lemparkan sepatu itu ke arah Reiki dan sukses menghantam dadanya.  “Pergi lo dari sini, dasar cowok gila. Kalau lo gak pergi juga, bukan cuma sepatu gue yang melayang tapi tinju gue juga bakalan melayang ke wajah lo.” Ancamnya seraya mengangkat kepalan tangannya. Reiki semakin tertawa lantang melihat sikap Irene yang menggelikan menurutnya.  Merasa kesal dirinya ditertawakan, Irene akhirnya benar-benar melemparkan benda-benda di dalam lemari yang ditemukannya. Dia lemparkan beberapa gantungan pakaian yang menggantung di dalam lemari. Remote televisi dan remote AC ikut dia lemparkan ke arah Reiki.  Akan tetapi semua usahanya sia-sia, Reiki masih tetap tak mau menuruti perkataannya. Bukannya pergi dari kamarnya, pria itu justru semakin tertawa lantang.  Irene tak sanggup lagi menahan rasa kesalnya. Sudah diejek dan dihina, sekarang tak hentinya dia ditertawakan oleh pria yang paling dibencinya. Tentu Irene tidak dapat menerimanya. Mengabaikan tubuhnya yang hanya terlilit handuk, dia berlari menerjang Reiki. Dia pukul berulang kali d**a Reiki cukup keras dengan kepalan tangannya, tak peduli meski tindakannya mungkin saja benar-benar melukai sang suami.  “Cowok b******k, belagu, i***t, maniak game, nyebelin, gue benci sama lo. Mati aja sana!!” teriaknya seraya tangannya tak hentinya memukuli suaminya. Namun tiba-tiba Irene merasa tubuhnya melayang, kedua kakinya sudah tidak menapak lagi di lantai. Rupanya Reiki yang mengangkatnya, memangku Irene di pundaknya seolah tubuh Irene seringan kapas.  Irene menghentak-hentakan kakinya dengan kepalan tangannya yang tak hentinya memukuli punggung Reiki. Mulutnya pun tak hentinya mengumpat, berbagai kata-k********r silih berganti keluar dari mulutnya.  Dalam sekali bantingan, Reiki membanting tubuh Irene di atas tempat tidur. Belum sempat Irene bangun, dia sudah memenjarakan Irene dalam kungkungannya. Irene tidak bisa melakukan apa pun disaat tubuh seorang pria yang lebih besar dan bertenaga darinya, kini menindih tubuhnya.  “Lo mau apa? Lepasin gue!!” teriak Irene, tangannya tak hentinya memberontak memukul bagian tubuh terdekat Reiki yang bisa dijangkaunya. Pergerakannya terhenti ketika Reiki memegangi kedua tangan Irene dan menguncinya di atas kepalanya.  Kini Irene benar-benar ketakutan, air mata meluncur dengan sendirinya dari kedua matanya. Dia tidak menyangka seorang pria yang baginya sangat culun dan hanya menghabiskan waktunya dengan bermain game bisa memperlakukannya sekasar ini. Dia was-was, takut Reiki melecehkannya dimana kondisi tubuhnya sekarang sangat memudahkan Reiki untuk melakukannya.  “Reiki, lo jahat. Gue gak nyangka lo bisa kayak gini sama cewek. Gue kira lo itu cowok lugu yang gak bakalan kasar kayak gini ke cewek. Ternyata pemikiran gue salah selama ini tentang lo.” Ucapnya di tengah-tengah isak tangisnya yang terdengar semakin memilukan.  “Emangnya lo pikir gue mau ngapain lo?” tanya Reiki, namun Irene tak menjawabnya dan justru memalingkan wajahnya tak sudi menatap wajah Reiki.  Reiki mendekatkan wajahnya ke wajah Irene, membuat tubuh Irene mulai gemetaran saking takutnya.  “Lo bukan tipe cewek yang bisa bikin gue tertarik. Lo kurus kering begini mana bisa bikin gue tergoda. Jadi lo jangan salah paham.” Bisik Reiki tepat di depan telinga Irene. “Meski lo telanjang di depan gue sekali pun, gue gak bakalan nafsu sama lo.” Tambahnya seraya melepaskan kedua tangan Irene yang dikuncinya. Lalu Reiki bangun, menjauhkan tubuhnya dari Irene. Kini dia duduk sambil membelakangi Irene yang masih telentang di sampingnya.  “Akhirnya lo diem juga. Gue pikir lo udah dewasa ternyata tingkah laku lo masih kayak bocah.” Irene tak menyahut, dia memilih untuk bangun dan membetulkan handuknya yang nyaris melorot ke bawah gara-gara rontaannya tadi.  Reiki melirik ke arah Irene, wajahnya tampak datar dan tak terlihat merasa bersalah sedikit pun meskipun melihat Irene masih terisak karena perbuatannya tadi.  “Lo tenang aja, gue masih inget sama janji gue kok. Jadi lo gak usah takut gue bakalan nidurin lo. Gue datang kemari cuma pengen ngajak lo makan bareng.” “Gue gak mau makan bareng sama cowok kejam kayak lo.” Jawab Irene masih sibuk mengusap air matanya yang masih saja berjatuhan.  “Terserah, tapi gue minta lo pindah kamar jangan tidur disini. Bunda udah nyiapin kamar VIP buat kita. Kamar yang lebih luas, besar dan nyaman dibanding kamar lo ini. Harusnya lo gak usah pesen kamar lagi. Bunda pasti kecewa banget kalau tahu lo pesen kamar lain kayak gini.” Irene tidak menjawab, dia berdiri dari duduknya dan melangkah cepat menuju kopernya. Dia ambil sepasang pakaian dan berjalan tanpa kata menuju kamar mandi.  Reiki menghela napas panjang, dia tidak menyangka istrinya begitu keras kepala dan dia kesulitan mengendalikan Irene. Meskipun sebelumnya Reiki sudah tahu sifat Irene memang seperti ini. Dia keras kepala, pembangkang dan tidak akan pernah menurutinya meskipun mereka sudah resmi menjadi suami-istri.  Irene keluar dari kamar mandi sudah lengkap mengenakan pakaiannya. Dia mengenakan kaos polos tanpa lengan dan celana jeans ketat yang membungkus kaki jenjangnya. Dia tidak mempedulikan lagi keberadaan Reiki, dia akan melanjutkan rencananya untuk pergi jalan-jalan mengelilingi Seoul.  “Ren... lo denger kan yang gue bilang tadi? lo udah janji gak bakalan bikin ortu kita kecewa. Kalau bunda tahu lo...” “Nyokap lo gak bakalan tahu kalau lo gak bilang ke dia. Jadi lo tutup mulut, jangan ngadu ke dia, dia juga gak bakalan tahu kita tidur beda kamar.” Sela Irene seraya tangannya sibuk menyisir rambutnya.  “Lagian asal lo tahu, gue mau datang ke sini sama lo karena terpaksa. Sebenarnya gue gak mau datang ke sini, gue tuh udah sering pemotretan di Korea. Gue udah bosen pulang-pergi ke negara ini. Cuma gue pura-pura seneng di depan nyokap lo soalnya gue inget sama syarat yang lo kasih ke gue.” “Gue tahu lo nikah sama gue karena terpaksa, tapi harusnya lo senenag bunda sayang banget sama lo, Ren. Gue mau nikah sama lo juga karena gue tahu ortu gue sayang banget sama lo terutama ayah. Dia udah anggap lo anak kandungnya. Ren, harusnya lo bersyukur ortu gue sayang sama lo bukannya malah marah-marah kayak gini.” “Gue gak peduli. Di mata gue mereka tetep cuma mertua, gak bakalan pernah jadi ortu kandung gue.” Reiki mengepalkan tangannya tampak kesal mendengar jawaban Irene.  Irene menyambar tas selempang mahalnya, memakai flat shoes yang tadi dia lemparkan ke Reiki. Lalu melenggang pergi menuju pintu.  “Gue sebenarnya bosen jalan-jalan di Korea, gue pengennya suasana yang beda, negara yang belum pernah gue datengin.” Ujar Irene, sesaat sebelum dia memutar knop pintu kamarnya. “Kenapa lo gak ngomong ke bunda kemarin? Dia kan nanya pendapat lo?” Irene mengendikan bahunya cuek, lalu membuka pintu di depannya. “Terserah, lagian kita udah ada disini. Jadi ya nikmatin aja. Kita udah sepakat gak ikut campur urusan masing-masing, jadi jangan nanya gue mau kemana sekarang.” kata-kata terakhir Irene sebelum dia menghilang di balik pintu.  “Kepedean banget dia, emangnya siapa yang nanya. Gue juga gak peduli dia mau pergi kemana.” Gumam Reiki, lalu dia beranjak bangun dan pergi dari kamar Irene.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN