-8-

1111 Kata
"Bisa nggak sih kamu tonjok aja dia?" "Terus aku ditanya Ayah, kenapa nonjok Mas Abhi? Aku jawab apa kalau gitu? Karena Mas Abhi udah bikin Kakak patah hati? Terus jadinya Ayah sama Ibu tahu. Mau kayak gitu?" Aku menghela nafas yang terasa hangat, menatap kedua adikku secara bergantian. Dira duduk di ranjang, tepat di sampingku, sementara Cakra di kursi belajar. Setelah makan malam, mereka menyusulku ke kamar. Mungkin mereka tahu kalau aku kurang enak badan, karena saat masuk tadi Dira bawa segelas air hangat dan Cakra bawa tablet pereda demam dan sakit kepala. "Kesel aku tuh! Bisa gitu ya, alasan sibuk praktikum terus bawa pacarnya ke klinik? Kenapa Mas Abhi nggak langsung aja bilang lupa karena lagi keasikan nemenin pacarnya di klinik?!" Seperti biasa, kalau kami bertiga kumpul dan membicarakan sesuatu, Dira yang paling nyolot dan banyak bicara. Sementara Cakra dan aku lebih milih bicara seperlunya. Cuma kadang Cakra juga suka ngeladenin Dira, dan ujung-ujungnya mereka akan debat sendiri seperti biasa. "Masuk akal nggak, kamu lupa sama janji yang kamu buat sendiri?" Dira masih saja nggak terima dengan alasan Mas Abhi yang tadi dibilangnya padaku lewat telepon. "Kapasitas dan kemampuan otak masing-masing orang itu beda. Mungkin Mas Abhi termasuk yang nggak bisa mikirin banyak hal dalam satu waktu." "Halah! Omong kosong!" Dira menyanggah penjelasan Cakra barusan dengan sorot nggak suka. "Omong kosong, tapi Mbak juga suka sama Mas Abhi." "Suka karena dia nyenengin, pinter, itu ajah! Nggak suka kayak Kakak ke Mas Abhi!" "Sama aja," sahut Cakra malas. "Beda Cakra! Sesukanya aku sama dia, hatiku nggak sampai patah gara-gara tahu dia punya pacar." Pipiku rasanya memanas. Dira dan Cakra sedang membicarakan perasaanku pada Mas Abhi tepat di depanku, dan itu membuatku salah tingkah. "Kalau aja Mas Abhi bukan anak Papa Ucha, pasti udah kumarah-marahin, kalau bisa kujambak rambutnya!" "Ya marahin aja, kenapa pakai mikir dia anak Papa Ucha?" tanya Cakra ngamatin Dira yang masih kelihatan sekali emosi. "Karena Papa Ucha sahabat baik Ayah. Karena Papa Ucha banyak bantu Ayah dan Ibu. Kalau hubungan mereka buruk gara-gara kita jahat sama Mas Abhi, kamu nggak ngerasa bersalah gitu?" "Kalau tahu anaknya yang salah, jangankan marahin, Mbak aniaya Mas Abhi juga Papa Ucha pasti ijinin, percaya deh sama aku." "Ya udah, kamu aniaya gih! Gebukin! Biar otaknya itu nggak melenceng lagi dan bisa berpikir normal!" "Dan beneran bikin para orang tua itu tahu alasannya? Kan Kakak yang minta biar kita nggak ngomong apapun." Aku menarik nafas dalam-dalam. Cakra, meskipun dia yang paling kecil tapi nggak jarang dia berpikir dan bersikap jauh lebih dewasa dibanding kami. Tadinya aku sempat khawatir waktu Dira bilang Cakra tahu rahasiaku dengan sendirinya. Khawatir kalau Cakra akan marah dan meledak begitu tahu aku dikecewakan oleh sikap Mas Abhi. Tapi pada akhirnya aku merasa bersyukur Cakra tahu. Karena dikondisi seperti sekarang, dia selalu bisa berpikir jernih. Membayangkan kalau hanya Dira yang tahu, aku yakin kondisinya akan berbeda. Dira nggak aka nada habisnya mencaci maki Mas Abhi sampai emosinya turun sendiri. "Kita lihat dulu aja, reaksi Mas Abhi setelah hari ini." Dira berdecak sebal, sementara aku ... aku nggak akan berharap banyak buat respon Mas Abhi. Sebab sampai malam semakin larut, Mas Abhi sama sekali nggak menghubungiku. Padahal aku sengaja nggak memberinya kabar seperti yang dia minta. Nyatanya ... dia emang nggak peduli. * * * "Kenapa nggak bilang kalau kehujanan?" Suara pelan milik Mas Abhi membuatku membuka mata. Yang pertama kulihat sosok dengan wajah khawatir, tapi juga lelah dan kantung mata menghitam. Dia duduk di tepian ranjang. Satu tangannya menempel di keningku. "Maafin Mas ya, Dek?" "Mas kok di sini?" tanyaku dengan suara parau. "Dari tadi pagi Mas kirim pesan, tapi nggak ada balasan. Waktu tanya ke Papa Bintang, katanya Jani lagi istirahat di rumah, nggak sekolah." Aku diam, masih dengan posisi berbaring karena kepalaku masih terasa pusing. "Mas semalaman di klinik, sama sekali nggak cek HP." "Mbak Mentari sakit apa?" "Maagnya kambuh, sama demam juga." "Sekarang?" "Sudah pulang ke kos." Aku tersenyum tipis. "Sudah minum obat?" tanyanya sambil mengusap kepalaku lembut seperti yang biasa dia lakuin. "Sudah tadi." "Kemarin, kenapa bohong sama Mas?" Aku nggak langsung jawab, karena mencermati wajah Mas Abhi yang ekspresi cemasnya masih tersisa. "Papa bilang, Jani sampai harus nunggu di halte depan karena hujan, iya?" "Soalnya Mas Abhi sibuk, aku nggak mau Mas khawatir,” akuku akhirnya, karena nggak mungkin lagi aku bohong. Kali ini kulihat ekspresi Mas Abhi berubah menyesal. "Tapi aku sakit bukan karena hujan-hujanan kok. Dari sebelumnya emang udah kurang enak badan, terus capek karena olahraga." "Jangan bohong sama Mas lagi." Ucapan Mas Abhi membuatku gigit bibir. "Mas salah, maaf ya?" ulangnya dengan raut serius. Aku mengerjap sebelum kemudian menganggukkan kepala. Mas Abhi tersenyum melihat respon dariku. "Oh ya, Mas Abhi bawain jeruk, mau Mas kupasin?" tawarnya sambil ngulurin tangan ke arah nakas. Baru kusadari kalau selain gelas minumku, sudah ada sepiring jeruk di sampingnya. Waktu aku bergerak untuk bangun, Mas Abhi dengan sigap membantuku, menata bantal untuk kujadikan sandaran saat duduk. "Mas capek kan?" "Sedikit," jawabnya tersenyum sambil mengupas jeruk. "Nanti ke kampus lagi?" "Sorean. Kenapa?" "Istirahat dulu, biar nggak sakit juga." Mas Abhi mengalihkan perhatian dari tangannya ke arahku sambil tersenyum. "Siap!" ujarnya lalu menyuapiku dengan jeruk. "Jani juga, harus banyak istirahat biar lekas sembuh." Aku mengangguk patuh. "Setelah ini, jangan bohongin Mas lagi. Kalau kondisinya jadi kayak gini, rasa bersalah Mas jadi double kan?" Sekarang aku tersenyum menyesal. "Nggak enak aja kalau ganggu Mas." "Terus kalau semua adek-adek Mas bilang gitu, siapa lagi yang bisa Mas jagain?" tanya Mas Abhi dengan gurat serius. Tangannya dengan sigap mengambil alih biji jeruk dari tanganku. "Kapan hari Ayik bilang gitu, Bia, terus sekarang Jani juga." "Soalnya Mas Abhi kan beneran sibuk, kalau dikit-dikit kami cari Mas Abhi, nanti kuliah Mas Abhi terganggu." Mas Abhi menghela nafas panjang sebelum kemudian menyuapiku dengan jeruk lagi dan kembali bicara. "Mas nggak pernah keberatan kalian ganggu, apalagi kalau kalian bener-bener butuh Mas." "Kalau kondisinya kayak kemarin?" Mas Abhi mengerjap, dia nggak langsung jawab, mungkin kaget aku bakal ngasih pertanyaan semacam barusan. "Kalau aku sama Mbak Mentari sama-sama butuh Mas?" ulangku yang sebenarnya diselimuti perasaan cemas, takut jawaban Mas Abhi mengecewakanku atau bahkan bikin dia marah karena pertanyaanku. "Kalau kejadiannya persis seperti kemarin," kata Mas Abhi kemudian dengan ekspresi kembali tenang, "Mas pasti jemput Jani." "Mbak Mentari?" "Bisa Mas titipin bentar ke suster jaga." "Kalau Mbak Mentari marah?" "Nggak ada alasan buat dia marah, toh dia juga tahu selain Bubu sama Ayah, kalian prioritas Mas berikutnya, bukan dia." Kalau lebih penting, kenapa bisa lupa? "Karena kalian adek-adek Mas. Kalau bukan Mas yang bantu orang tua kita buat jaga kalian, siapa lagi?" Dan semua pertanyaan yang masih tersisa di benakku, menguap begitu saja karena kalimat, "kalian adek-adek Mas." ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN