Bertahap, aku ngingatin diri sendiri buat nggak selalu bergantung sama Mas Abhi. Aku harus mulai belajar mandiri dan nggak nyari Mas Abhi.
Kalau dulu aku selalu menghubunginya buat ditemani ke toko buku, belakangan ini aku sering ngajak Dira atau Cakra.
Aku juga akhirnya bergabung dengan klub MaFiA di sekolah. Klub yang isinya siswa-siswi yang punya prestasi cemerlang di pelajaran Matematika, Fisika dan Kimia. Jadi Mas Abhi nggak perlu lagi repot-repot menemaniku belajar.
"Aku antar pulang ya?" tawar Semesta, akrab dipanggil Esta, teman satu klub dari kelas sebelah. "Udah kesorean juga, nggak aman kalau naik angkutan umum sendirian."
Refleks aku lihat jam di pergelangan tangan. Sudah jam 5 sore memang, padahal kami baru bubar kegiatan klub dan masih di area sekolah, belum di halte. Jadi kemungkinan 15 menit kemudian paling cepet aku bisa dapat angkutan umum.
"Belum ada yang jemput kan?" tanya Esta lagi.
Kepalaku menggeleng.
"Ya udah, aku anterin."
"Makasih," sahutku yang dibalasnya dengan senyum.
Esta sosok yang ramah sebenarnya, hanya saja selama ini kami nggak pernah berinteraksi lama kecuali saling bertukar senyum kalau ketemu. Esta sosok yang cukup terkenal di sekolah, itu alasan lain kenapa aku cuma sekedar tahu dan nggak kenal betul seperti apa Esta, siswa unggulan yang ternyata sudah dua kali loncat kelas saat SD dan SMP.
Dia yang pertama kali mengakrabkan diri saat aku baru bergabung. Usahanya agar aku merasa nyaman dengan lingkungan baru tapi nggak benar-benar baru, bisa kurasakan. Mungkin benar apa kata Ibu, setiap kebaikan yang dilakukan dengan tulus, yang menerima kebaikan pasti juga bisa merasakan ketulusannya.
Selain ramah, Esta juga sangat baik. Dia membantuku memasang helm, juga minjamin jaketnya sebelum aku naik ke boncengan motornya.
"Kalau nggak mau pegangan ke aku, pegangan ke besi belakang ya Sa?"
"Iya," sahutku lalu tanpa sengaja lewat spion melihat Esta tersenyum.
"Aku nggak akan ngebut kok, jadi jangan khawatir," janjinya lalu mulai menarik gas perlahan.
Dan dia menepati janji.
Esta melajukan motor dengan kecepatan stabil yang nggak pernah melewati angka 60 km/jam.
Selama perjalanan pulang, dia juga pintar mencari topik pembicaraan.
"Aku perlu ketemu orang tuamu nggak?" tanya Esta saat kami sudah memasuki kompleks rumahku.
"Buat apa?"
"Minta maaf karena kamu pulang telat?"
Aku tersenyum mendengarnya. "Nggak usah, aku juga sudah bilang Ibu sama Ayah kok kalau pulang telat."
Esta mengangguk meski aku tahu dia ingin melakukan sebaliknya. Tanpa perdebatan, Esta menurut dengan menurunkanku di depan rumah, lalu langsung permisi pulang.
Saat tanganku terulur buat buka pagar, pandanganku terhenti menatap lenganku sendiri.
Jaket Esta masih kupakai!
*
*
*
Kedekatanku dan Semesta jadi perbincangan di sekolah.
Apalagi Esta selalu mengantarku pulang tiap kali kegiatan diskusi di klub selesai. Teman-teman selalu menyoraki kalau kebetulan kami pamit pulang duluan, dan responku sama Esta kurang lebih sama, cuma senyum nanggepin ledekan mereka.
"Kamu nggak apa-apa kan?"
"Apanya?" tanyaku bingung sambil memasang helm.
"Diledekin gitu tiap hari sama yang lain?"
Aku tersenyum dengar jawaban Esta.
"Kamu kali yang kenapa-kenapa," candaku yang bikin Esta ikut tersenyum.
"Iya sih, emang aku kenapa-kenapa," kata Esta santai tapi membuatku terdiam melihatnya. "Maksudnya, aku khawatir kamunya nggak mau kuanterin pulang lagi gara-gara ledekan mereka,” tambah Esta ketika lihat aku mulai ngerutin kening.
"Cuma itu kan?" tanyaku was-was.
Jujur aja, aku nggak mau Esta punya harapan lebih dari pertemanan kami.
"Mmm, sampai detik ini emang cuma itu aja," jawab Esta ringan.
Aku tersenyum canggung.
"Jangan khawatir Sa," kata Esta kemudian ketika kami mulai ninggalin area sekolah. "Aku masih ingat kok kata-katamu waktu itu. Kamu seneng temenan sama aku, iya kan?"
Saat pandangan kami bertemu lewat spion, aku mengangguk dan Esta membalasnya dengan senyum hangat.
"Kalau kamu senengnya temenan sama aku, ya kita temenan. Aku nggak mau pusing mikirin apa kata orang," lanjut Esta tenang.
Ini yang membuatku mau menerima tawaran berteman dari Esta, dan nggak keberatan dia nawarin ngantar pulang.
Beda dengan teman-teman cowok lain, mereka baik karena aku tahu mereka ada maksud lain buat deketin aku. Sementara Esta, seenggaknya sampai hari ini aku nggak lihat dia punya maksud tersembunyi. Dia tetap Esta yang tulus nawarin pertemanan sejak hari pertama kami ketemu di klub.
Waktu aku turun dari boncengan Esta, dari arah berlawanan Mas Abhi turun dari mobilnya. Dia melihatku dan Esta bergantian dengan alis nyaris bertaut.
"Siapa Sa?" tanya Esta sambil menerima helm yang tadi kupakai.
"Anak temennya Ayah."
"Oh."
Cuma itu respon Esta, setelah itu dia pamit pulang. Nggak ada pertanyaan yang nunjukin dia penasaran sama sosok Mas Abhi yang lihatin kami dengan sorot kurang bersahabat.
"Dia yang sering antar kamu pulang?" tanya Mas Abhi setelah aku menyapanya dan membuka pintu pagar.
"Iya,” jawabku singkat.
"Papa sama Mama tahu kamu di antar naik motor?" tanyanya lagi selagi kami jalan menuju teras rumah.
"Tahu kok."
"Kenapa dia nggak mampir dulu buat pamit?"
"Kadang mampir."
"Kenapa hari ini nggak mampir?"
Aku yang sudah duduk di kursi teras buat lepas sepatu, akhirnya mendongak buat lihat Mas Abhi yang masih berdiri, natap aku seolah jawabanku sangat penting buatnya. "Mas tumben ke sini?" tanyaku balik, nggak berniat jawab pertanyaan terakhirnya.
"Kemarin-kemarin nggak ke sini ditanyain. Sekarang malah ditumben-tumbenin."
"Yang nanyain si Dira, bukan aku," kataku datar lalu membuka pintu dan mengucap salam, diikuti Mas Abhi.
Ibu menjawab salam kami dari arah dapur, dan langkah kakiku langsung menuju ke tempat di mana Ibu berada tanpa ngecek keberadaan Mas Abhi yang sedari tadi mengekoriku.
Sejak terakhir dia menjengukku, sejak hari itu juga aku bulatin tekad buat nggak lagi bergantung sama Mas Abhi.
Percayalah, aku masih sayang Mas Abhi. Tapi aku tahu, Mas Abhi punya kehidupannya sendiri. Jadi aku sengaja membangun dinding untuk membatasi diriku sendiri dari Mas Abhi. Aku mau berhenti bergantung sama Mas Abhi.
"Kamu masih belum boleh pacaran kan Jan?" tanya Mas Abhi setelah aku pamit ke Ibu buat ke kamar. Dia masih saja mengekoriku.
Menghela nafas lelah, aku berhenti untuk menoleh pada sosok Mas Abhi yang menatapku dengan sorot menuntut. Nggak jelas juga apa yang dia tuntut dari aku sekarang.
"Aku masih kecil, masih sekolah, mending punya teman banyak daripada punya pacar banyak."
Usai mengatakan itu, aku langsung naik menuju kamar. Ninggalin Mas Abhi yang aku nggak tahu seperti apa reaksinya setelah dengar kalimat sindiranku tadi.
***