"Ibu sama Ayah nggak keberatan?" tanyaku menatap Ibu penasaran.
Beliau tersenyum sambil terus memotong sayur. "Kenapa harus keberatan? Kalau Kakak sukanya menggambar, kenapa Ibu sama Ayah harus paksain Kakak lakuin hal lain?"
"Tapi guru-guru di sekolah banyak yang nyayangin pilihan Caca."
Ibu mindahin pisau dan telenan lalu bergeser buat mencuci sayuran yang sudah beliau potong-potong.
"Kakak nggak harus jadi dokter, hanya karena punya Bunda seorang dokter hebat,” kata Ibu sembari mencuci sayuran dengan hati-hati. “Kakak juga nggak harus jadi guru atau dosen, hanya karena Ibu pun guru. Kakak cukup jadi diri Kakak sendiri, mengerjakan apa yang Kakak suka. Tugas Ayah dan Ibu mengarahkan dan mengingatkan kalau ada yang keliru."
Aku terdiam.
Kalau reinkarnasi itu ada, entah apa yang sudah kulakukan di kehidupan sebelumnya sampai Tuhan memberiku orang tua yang luar biasa.
Ibu terkekeh geli waktu aku memeluk beliau dari samping dan menciumi pipi beliau berulang kali.
"Makasih, Ibu sudah jadi Ibunya Caca," kataku lalu mengecup pipi beliau sekali lagi.
Ibu menoleh, mengeringkan tangan dan balas memelukku.
"Ibu yang makasih, karena Kak Caca tumbuh jadi anak super baik," balas Ibu dengan satu tangannya yang lain mencubit lembut ujung hidungku, lalu mengecup keningku berkali-kali sampai kami berdua tergelak.
"Apa yang sudah dicapai Ayah, Bunda atau Ibu, jangan dijadikan beban buat masa depan Kakak ya," pesan Ibu ketika tawa kami reda.
Kedua tangan beliau menangkup wajahku lembut sebelum kemudian lanjut berkata, "kakak bebas menentukan masa depan Kakak, begitu juga adek-adek nantinya. Yang penting, pilihan kalian itu memang baik. Ayah sama Ibu pasti akan dukung kalian."
Aku tersenyum dan mengangguk mantap, dengan kedua tangan masih melingkar di pinggang Ibu.
"Anak gadis Ibu,” ujar Ibu sambil mengusap pipiku hangat, “bentar lagi udah jadi mahasiswa ya?"
Kali ini aku memamerkan deretan gigi yang membuat Ibu kembali mencubit ujung hidungku.
"Harus makin pinter jaga diri ya Kak. Selalu ingat, kalau Kakak jadi contoh buat adek-adek. Jadi kalau mau ngapa-ngapain, harus dipikirkan masak-masak. Tanggung jawabnya udah makin besar."
"Siap!" sahutku yang kesekian kalinya dibalas kecupan di kening dan Ibu memelukku erat.
Ibu memang nggak mengalirkan darahnya padaku, tapi besarnya cinta dan kasih sayang yang beliau berikan padaku, selalu kurasakan di setiap tarikan nafasku.
*
*
*
"Kenapa nggak jadian aja sama Esta?"
Aku tersenyum dan memilih tetap menikmati makan siang.
"Esta baik kan, Sa?"
"Baik," jawabku disela mulut yang mengunyah.
"Perhatian kan sama kamu?"
Aku mengangguk setuju.
"Terus?"
"Apanya yang terus?" tanyaku balik lalu menelan makanan di mulut yang sudah halus. "Hanya karena dia baik, perhatian, nggak otomatis harus dipacarin kan?"
Lila menatapku sambil menikmati jus semangkanya.
"Kami cuma berteman. Dan aku nggak tertarik buat ngubah itu. Seenggaknya untuk sekarang."
"Esta sendiri gimana? Apa pendapatnya sama?"
Aku diam sebelum kemudian mataku menangkap sosok Esta yang baru masuk ke kantin sama beberapa temannya.
"Ta!"
Esta yang mendengar panggilanku, dengan gesit menghampiri meja di mana aku dan Lila berada.
Lila nampak kikuk waktu Esta sudah berdiri di samping meja kami.
"Apa?"
"Menurutmu kita baiknya temenan apa pacaran?"
Esta sempat ngerutin kening, tapi dua detik kemudian dia tersenyum.
Kami sudah terlalu sering dengar teman-teman jodohin kami. Dan selama ini kami diam, nggak tertarik buat merespon. Tapi karena kebetulan Lila, salah satu teman yang juga terkenal sebagai biangnya gosip di sekolah ini tanya langsung ke aku, kupikir nggak ada salahnya buat manggil Esta, biar Lila dan siapapun di sekolah ini berhenti mengurusiku dan Esta.
"Temenan lah," jawab Esta masih dengan tersenyum.
Lila menatap kami bergantian dengan sorot nggak percaya. Apalagi saat melihatku mengangguk setuju dengan jawaban Esta.
"Kalian aneh."
Itu sahutan Lila yang bikin aku mengedik ringan, dan Esta tertawa sebelum kemudian pamit gabung dengan teman-temannya lagi.
Aku nggak tahu, kenapa banyak yang bilang aneh gara-gara hubunganku dan Esta. Apanya yang aneh kalau kami memilih untuk tetap berteman?
"Emang aneh sih kalian!" sinis Dira saat malamnya kuceritakan kejadian di sekolah tadi. "Udah deket gitu, cocok, Mas Esta juga perhatian sama Kakak, kurang apa?"
Aku tersenyum geli sambil terus mengerjakan latihan soal. Dira yang rebahan di ranjangku berdecak sebal.
"Bukan karena Kakak masih ngarepin Mas Abhi kan?"
Kalimat todongan Dira membuat senyum di wajahku perlahan memudar.
Ngarepin Mas Abhi?
Dia aja makin sibuk ngurusin magangnya dan Mbak Mentari, sampai hampir nggak sempat lagi main ke sini.
"Kalau aku udah boleh pacaran, jelas aku milih Mas Esta daripada Mas Abhi. Ya meskipun aku juga suka Mas Abhi sih, tapi dia sekarang lagi ngeselin. Nggak mau main sama kita lagi!"
"Itu karena Mas Abhi lagi sibuk, Dek."
"Halah! Terus aja bela, padahal udah dipatahin berapa kali itu hati?"
Aku tersenyum kikuk. Omongan Dira memang pedas, tapi aku tahu kalau adikku ini sangat peduli padaku.
"Aku masih sayang kok sama Mas Abhi," kata Dira setelah kami sama-sama diam. "Sama kayak Kakak. Tapi aku juga sadar, Mas Abhi sering bikin Kakak kecewa. Sementara Mas Esta justru kebalikannya. Kalau kemudin perasaan Mas Esta ke Kakak berubah, aku harap Kakak mau mempertimbangkannya baik-baik."
Aku tertegun.
Dira kami yang masih SMP, bisa juga memberi nasehat sebijak ini.
*
*
*
"Apa perasaanku aja ya Sa?"
"Apa?" tanyaku balik dengan dua alis terangkat.
"Masmu itu kayak satpam kompleks lagi ngawasin tamu nggak diundang."
Aku melirik ke arah ruang tengah, ada Mas Abhi lagi nemenin Cakra belajar, tapi sepasang matanya beberapa kali tertangkap olehku terus mencuri lihat ke ruang tamu.
Dira ... tadinya ada dia juga, tapi cuma bertahan sampai 30 menit pertama, setelahnya Dira malah ke kamar Bunda Deli. Dia masih nunjukin keenggaksukaannya sama Mas Abhi, jadi nggak mau lama-lama main sama Mas Abhi.
Sementara Ayah lagi keluar sama Ibu.
"Anggap aja dia emang satpam," sahutku tentu saja dengan suara yang kujaga biar nggak sampai terdengar ke ruang tengah.
"Tapi kadang aku masih suka bingung," lanjut Esta yang sudah kembali ngerjain latihan soal.
Kami memang lebih intens belajar bareng jelang kelulusan. Rasanya pilihanku tepat dengan ngajak Esta, karena dia beneran banyak bantu aku ketika ada kesulitan. Pantas saja dia bisa sampai dua kali loncat kelas.
"Bingung karena apa?"
"Kenapa kesannya dia lebih galak daripada Ayahmu?"
"Masak iya?"
Esta mengangguk, tapi tangannya masih lancar mencoret-coret buku di depannya. Sementara aku, sudah sejak tadi tanganku berhenti bergerak. Otakku nggak secanggih Esta memang.
"Ayahmu aja kalo aku senyumin pasti balas senyum. Padahal maaf-maaf nih, wajah Ayahmu kesannya kan nggak bersahabat. Sementara dia," Esta ngecilin lagi volume suaranya, "berapa kali aku senyumin nggak pernah dibalas. Kupikir tadinya emang gitu orangnya. Tapi pas ada Cakra atau Dira, dia sering kelihatan senyum."
Aku bukan nggak menyadari apa yang Esta rasain. Dari pengamatanku pun kelihatan, Mas Abhi emang jadi serius mukanya kalau ada Esta. Ngomongnya juga irit.
"Dia bukan cemburu kan, Sa?"
"Ngawur!" desisku yang membuat Esta tertawa.
"Kalau nggak cemburu, itu mata kenapa jadi kayak laser coba?"
Pertanyaan Esta setelah tawanya reda, bikin aku refleks melirik lagi ke ruang tengah dan menemukan wajah Mas Abhi terlihat masam.
Dia langsung mengalihkan perhatian ke Cakra waktu kami tanpa sengaja melakukan kontak mata.
Mungkin dia terganggu karena Esta sering bercanda?
Mas Abhi kan memang nggak suka kalau ada yang bercanda pas belajar.
***