Bagian Tiga

1701 Kata
Baik hati dan suka menolong. Setidaknya itulah penilaian Karina untuk Ilham, sampai lima belas menit yang lalu. Sebelum bunyi telepon dari pemuda itu mengacaukan rencana terbaiknya untuk tidur siang, setelah semalaman begadang mencari materi untuk menyusun skripsi. Rasanya kerinduan gadis itu akan bantal dan guling belum terbasuh sempurna, tapi dengan tidak sabaran, ponselnya terus berdering. Panggilan masuk dari Ilham, setelah beberapa SMS dan BBM dari pemuda itu dia diabaikan. Bukan apa-apa, Karina benar-benar butuh istirahat. Namun dengan amat sangat tidak tahu diri, Ilham memintanya segera ke kios dengan alasan yang katanya gawat darurat.  Sesampainya di sana, kios ayam goreng milik Ilham masih tertutup rapi, bahkan Karina ragu kalau ada seseorang yang sedang beraktivitas di dalam sana. Baru saja gadis itu mengeluarkan ponsel hendak menelepon, rolling door di depannya terangkat, menampilkan sosok pemuda berwajah malaikat. Iya, sebutan itu sama sekali tidak berlebihan untuk seorang Ilham, setidaknya bagi takaran Karina yang sebelumnya sulit tertarik pada seseorang. Termasuk mereka yang katanya tajir melintir, dan jadi idola kampus. Ilham begitu berbeda di mata Karina. Semarah apa pun dirinya, sejengkel apa pun dia karena kelakuan pemuda itu, hatinya tetap luluh ketika melihat keteduhan dari wajah Ilham. Matanya memancarkan aroma ketenangan dan kesejukan, kombinasi udara di langit subuh, dan permukaan danau yang jernih. Pada akhirnya, gadis itu malah melambaikan tangan pada si pengacau susunan otak. “Hai, ada apa? Dari suara Mas Ilham tadi, kedengarannya ada yang penting banget.” “Karina, akhirnya kamu sampai juga. Maaf banget ya aku gangguin Karina sepagi ini, tapi aku bener-bener butuh keberadaanmu di sampingku.” “Ya?” “Oh, maksudku, aku perlu seseorang untuk mendampingiku. Nggak banyak teman yang kupunya, dan Karina satu-satunya yang bisa kuhubungi.” Pemuda itu berbicara sambil menyalakan kompor yang ada di gerobak depan, lalu menuangkan minyak. Setelahnya dia berjalan ke arah belakang, merapatkan beberapa meja yang ada di sana, kemudian menata dus-dus dengan logo ayam bertuliskan “Si Jago.” “Maksudnya?” Karina masih belum mengerti maksud ucapan lawan bicaranya. Mendampingi? Maksudnya apa sih? “Iya. Lebih sederhananya berada di sisiku, untuk membantu menyelesaikan semua ini. Aku sama sekali nggak ada persiapan, tapi pas banget baru sampai ke sini, tadi ada ibu-ibu yang pesen paket nasi box tujuh puluh porsi. Dan mereka cuma ngasih waktu dua jam. Jadi mau nggak mau aku harus cari bantuan.” Jawaban panjang lebar dari Ilham, bukan membuat Karina paham. Justru ada sesuatu yang lain di sudut hatinya. Semacam rasa kecewa, karena makna kata mendampingi bagi seorang Ilham, ternyata sangat jauh berbeda dengan apa yang sempat terlintas di benaknya tadi. Astaga! Apa-apaan ini? Ayolah Karina, kamu masih cukup waras buat kesengsem sama cowok model Ilham. Ada begitu banyak pria di luar sana yang bahkan rela mengantre buat jadi pendamping Karina. Entah sekedar untuk pacaran, atau mengajak salah satu dari mereka ke pelaminan. “Ada apa?” tanya Ilham sambil memasukkan dua bungkus kecil saos ke dalam box.   “Nggak ada. Aku masih heran aja, gimana bisa Mas Ilham malah meneleponku. Ini bukan modus terselubung, kan?” Karina berusaha menyelidiki niat pemuda itu secara terang-terangan. Ya, begitulah Karina. Dia tipe yang akan mengatakan apa saja yang ingin dia katakan. “Bisa iya, bisa juga enggak,” jawab Ilham santai. “Tapi aku bakalan lebih setuju kalau kamu menganggap ini sebagai caramu membalas budi.” “Balas budi?” “Iya. Kemarin kan aku bantuin kamu. Sekarang gantian, dong.” “What!” Lenyap sudah penilaian baik Karina terhadap pria itu. Selain nggak tahu diri menelepon orang yang belum lama dikenalnya dan seenaknya menyuruh Karina datang buru-buru, ternyata dia juga bukan pria baik hati. Melainkan manusia penuh pamrih yang kalau melakukan kebaikan, selalu mengharapkan balasan. “Kenapa? Ini namanya simbiosis mutualisme. Kamu untung, aku juga untung. Toh, kemarin juga aku nggak bilang kan, kalau aku mau ngisi kuesionermu itu dengan gratis?” “Terserah!” Karina jadi sewot sendiri. Sekantuk apa pun gadis itu, nyatanya dia sudah di sini, dan ya, pekerjaan Ilham memang terlihat merepotkan kalau dilakukan seorang diri.   “Bagus! Sekarang kamu goreng ayamnya, dan aku bungkusin nasi. Oke?” Mendengar perkataan Ilham, Karina hanya meletakkan tas selempang kecilnya di kursi. Selanjutnya, dia melihat gumpalan-gumpalan ayam mentah yang sudah dilumuri tepung, dan minyak di wajan yang kelihatannya sudah cukup panas. Seumur hidup, Karina sama sekali tidak pernah memasak. Meski tinggal di tempat kos, tapi dia selalu membeli makanan di luar. Bahkan kalau ada yang menyuruhnya menanak nasi dengan magicom, Karina juga ragu kalau dia bisa melakukan itu. Gadis itu keluar beberapa saat, ketika dia kembali, Ilham benar-bemar menyesal sudah minta tolong padanya untuk menggoreng ayam. Lihat saja kelakuannya sekarang. Dia baru saja menyewa helm dan mantel dari tukang ojek yang mangkal di depan kios. Baginya, menggoreng adalah perkara yang lebih menegangkan dan menakutkan ketimbang saat dirinya dihadapkan dengan pembimbing super killer saat sidang nanti. Kemampuan otaknya, sangat berbanding terbalik dengan kemampuannya dalam hal melakukan pekerjaan fisik. “Ya ampun, Karina, kamu ngapain?” “Please, Mas, jangan suruh aku lepasin ini. Aku takut kena minyak panas. Nanti kalau tiba-tiba pas lagi digoreng ayamnya meledak, gimana?”“Karina, yang mau digoreng itu ayam, bukan granat. Gimana bisa meledak? Ada-ada aja kamu.” Karina hanya meringis. Tangan kirinya dengan takut-takut mencoba memasukkan potongan ayam, dan satu tangan yang lain memegang pengaduknya. Dia melemparkannya dari jarak hampir setengah meter, dan wajah melengos meski sudah mengenakan perlindungan ekstra. Hal itu justru membuat minyak panas di wajan menciprat ke mana-mana. “Bukan begitu caranya. Kalau dilempar, yang ada minyaknya habis duluan, dan kamu bakalan kena cipratannya terus.” Ilham mendekati Karina dan mengambil beberapa potong ayam, lalu memasukkannya ke dalam penggorengan dengan perlahan. “Begini,” ujarnya sambil memasukkan potongan terakhir ayam di tangannya. Sayangnya, yang ada di pikiran Karina saat ini bukan lagi tentang bagaimana cara memasukkan ayam yang baik dan benar sesuai undang-undang per-ayam gorengan versi Ilham. Otaknya justru macet seketika, saat menyadari kalau d**a Ilham menempel tepat di punggung, karena pria itu berdiri di belakangnya dan hanya memiringkan sedikit tubuh ketika memasukkan ayam. Bukan hanya kinerja otaknya yang cuti mendadak, ketika merasakan hawa tubuh pria itu, dia juga hampir lupa bernapas, saat indra penciumannya membaui aroma mint segar dari napas Ilham. Kata-kata yang diucapkan Ilham berhamburan di udara. Sama sekali tidak ada yang berhasil masuk ke kepalanya. Semua terasa hening bagi Karina, selain hanya detakkan jantung yang semakin kurang ajar dan sangat ... kampungan. “Hei, kenapa malah bengong?” Ilham mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Karina. Saat kesadaran gadis itu sudah kembali, jantungnya malah makin berulah dan berdetak lebih kencang puluhan kali lipat karena Ilham tidak menggeser posisinya. Hanya tangannya yang berada di depan Karina, sementara tubuhnya masih di belakang gadis itu, dengan kepala yang tepat berada di samping wajah Karina. Untung saja dia memakai helm, jadi Ilham tidak bisa melihat pipinya yang sekarang pasti bersemu merah gara-gara kelakuan pria itu. Karina menoleh, barulah Ilham sedikit menggeser tubuhnya, dan berpindah selangkah di samping Karina. “Ada apa? Kok malah jadi kayak patung gitu? Kamu takut?” “Mas, aku nggak bisa goreng ini. Mas aja ya yang goreng, biar aku yang siapin nasinya. Kalau nggak, nanti yang ada malah pesanannya telat lagi. Masih untung kalo nggak ayamnya pada gosong gara-gara aku.” Karina buru-buru ke bagian belakang, dan melepaskan seluruh pengamanan ekstra yang dia gunakan. Demi detak  jantung yang semakin kurang ajar, sampai sekarang pun Karina masih deg-degan gara-gara kelakuan Ilham barusan. Dalam hatinya, Ilham berdoa, semoga Tuhan tidak menuliskan takdirnya untuk berjodoh dengan gadis seperti Karina. Untuk apa kesempurnaan fisik, kalau menggoreng ayam saja tidak bisa? Namun sayang, sepertinya Ilham kurang sholawat, sehingga doa-doanya hanya menggantung di langit. Dan hari ini justru dia sendiri yang mendatangi rumah Karina untuk menjadikannya seorang istri. Andai saja ada yang bertanya, tentang bagaimana perasaan Ilham saat ini, maka lihat saja dirinya yang mendadak terserang demam ganjil ketika duduk di hadapan kedua orang tua Karina. Pemuda itu merasa dirinya sudah mirip pesakitan yang dihadapkan pada sebuah persidangan, tanpa didampingi pengacara. “Jadi, sejak kapan kalian saling kenal? Apa Nak Ilham ini teman kuliah Karin, atau ....” Yoga tidak melanjutkan kalimatnya, hanya memiringkan sedikit kepala, menunggu pemuda yang diklaim putrinya itu sebagai teman dekat, untuk memperkenalkan diri lebih jauh. “Oh, bukan, Om. Saya hanya ....” “Mas Ilham ini pengusaha muda, yang bantuin Karin waktu menyusun skripsi, Pa,” sahut Karina melanjutkan omongan Ilham.Ilham melirik sekilas, dia agak kurang setuju dengan istilah yang dipilih Karina. Ya, dia memang pengusaha, tapi hanya pengusaha ayam goreng di kios kecil yang masih disewa dari orang lain. Istilah pengusaha, rasanya terlalu berlebihan jika dilekatkan padanya. “Oh, begitu. Jadi, kalian sudah kenal cukup lama, ya?” “Iya, Om,” jawab Ilham sekenanya. Pria itu berusaha keras untuk menutupi rasa grogi di hadapan calon mertua. Ya, semoga saja. “Omong-omong, perusahaan Nak Ilham ini bergerak di bidang apa?” Nilam, mamanya Karina menimpali. Perempuan itu terlihat hendak mengomentari penampilan Ilham yang menurutnya terlalu sederhana untuk ukuran seorang pengusaha, tapi dia yang keluar dari mulutnya hanya secuil usaha untuk mengetahui latar belakang anak itu. “Saya usaha jualan ayam goreng, Tante.” “Ayam goreng, maksudnya?” Nilam terlihat sangat terkejut. Anaknya dekat dengan tukang ayam? Kesurupan apa sebenarnya Karina itu, bisa sampai punya selera yang sangat rendahan. Begitu teriak sebagian otaknya. “I-iya, Tante. Tadinya saya jualan di Gor Satria, sekarang Alhamdulillah sudah ada kios di dekat kampusnya Karina. Jadi saya jualan di sana.” “Apa!” Suara Nilam meninggi, dia hampir saja berdiri kalau saja Yoga tidak menahannya.    Tadinya dia menduga kalau Ilham adalah pengusaha ayam goreng semacam kedai waralaba yang cabangnya sudah ada di seluruh Indonesia, tapi ternyata apa? Dia hanya pedagang jalanan. Astaga! Pandangan perempuan itu beralih pada anak gadisnya, yang kini duduk di sisi Ilham. Keterkejutannya semakin bertambah ketika mendapati Karina tengah menggenggam erat tangan Ilham, seolah dia begitu takut kehilangan pemuda itu. Nilam mengamati wajah keduanya dengan gamang. Ingin sekali rasanya dia menarik Ilham dan mengusirnya saat itu juga. “Maafkan saya, Tante, tapi sungguh, saya sangat mencintai Karina, dan saya berniat untuk meminta restu dari kalian, agar saya bisa menikah dengannya.” “Keterlaluan kamu! ....” Nilam hendak mengumpat, tapi lagi-lagi Yoga menahannya. Pria itu menggeleng perlahan dan meminta istrinya untuk tetap tenang. “Apa yang membuatmu yakin untuk menikah dengan Karina?” Yoga bertanya dengan suara yang penuh kewibawaan, tidak seperti istrinya yang meledak-ledak. “Pa, Karin yang memintanya datang ke sini dan melamar Karin hari ini. Karin tahu, Papa pasti akan mengabulkan permintaan Karin untuk menikah dengannya. Iya, kan?” Mendengar pengakuan putri semata wayangnya, Nilam semakin murka. Dia menduga, anak gadisnya itu sudah kena guna-guna. Bagaimana bisa, gadis secerdas Karina memilih untuk menikah saat dirinya baru saja lulus kuliah? Pasti ada yang salah di sini. Karina perlu psikiater untuk memulihkan kewarasan otaknya. LovRegards, MandisParawansa
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN