"Kelinci yang pandai berlari, sering kali mereka akan kesulitan jika harus memahami seekor kura-kura."
***
Dunia adalah tempat yang memiliki waktu dan ruang. Karenanya, seseorang akan memiliki ingatan atas waktu yang pernah dilaluinya, dan bisa bergerak sejauh yang mereka inginkan.
Saat ini, di dalam kepala Fredy masih berputar-putar sebuah ingatan yang didapatkannya kemarin. Tentang seorang gadis yang menubruknya di halaman kampus. Gadis yang sama, yang saat ini juga sedang menjadi pusat perhatiannya.
Bianca berjalan santai sambil mendengarkan musik. Satu tangannya memeluk buku, yang satunya lagi asyik memainkan ponsel. Di kepalanya melingkar sebuah headphone berwarna pink. Dia sama sekali tidak menyadari, kalau di waktu yang bersamaan, seseorang sedang berjalan membersamai langkahnya sambil mengulum senyum. Jarak antara keduanya tidak terlalu jauh, mereka hanya terpisahkan oleh tiang-tiang penyangga, karena saat ini Bianca sedang menyusuri jalan setapak yang tepat berada di depan fakultas sastra.
"Saranghanda winner! Listen girl, joha hai. Baby girl, saranghae ...."
Sesekali terdengar dia menggumam kalimat-kalimat tidak jelas. Sepertinya gadis itu sedang mendengarkan lagu Korea yang belakangan ini mulai sering diputar di radio-radio. Terkadang tangannya melakukan gerakan aneh seperti tarian, tapi menurut Fredy itu lebih mirip orang-orangan sawah yang tertiup angin.
Diam-diam Fredy tersenyum melihat tingkah gadis itu. Namun, senyumannya segera menghilang ketika menyadari kalau langkah Bianca mulai tidak teratur, sementara gadis itu sibuk memperhatikan layar ponsel. Seharusnya langkah itu membimbingnya untuk berjalan melewati jembatan kecil yang menutup saluran pembuangan air, tapi dia berada sekitar sedepa di samping kiri jembatan. Kalau dia terus berjalan, bisa dipastikan kakinya akan terpelosok.
"Bianca, awas!"
Yang diteriaki Fredy sama sekali tidak mendengar. Dentuman musik yang menyumbat telinganya memblokir seluruh suara dari luar. Apa lagi yang didengarkannya kali ini adalah lagu Bonamana milik Super junior. Lagu yang cukup up-beat dari boyband Korea yang belakangan ini masuk jajaran idola baru bagi Bianca. Dan ya, sejak sebulan lalu, Bianca juga sudah bergabung dengan komunitas Elf Purwokerto. Kumpulan penggemar Super junior, yang membuat Bianca mengubah nama akun Facebooknya menjadi Bianca Elf Sparkyu untuk menunjukkan ke-Suju-an, dan ke-Kyuhyun-annya.
Melihat Bianca semakin dekat dengan selokan, Fredy memutuskan untuk menarik tangan gadis itu demi menghentikan langkahnya.
"Apaan, si!" Bianca berontak dan berusaha melepaskan diri. Gadis itu paling tidak suka kesenangannya diganggu.
"Kamu yang apaan!" Fredy meninggikan nada suaranya."Nggak bisa banget ya, kalo jalan matanya dipake?"
"Ini juga dipake!" Bianca menunjuk matanya sendiri. "Hello! Ngapain situ yang sewot?" Jalan juga jalan sendiri, mata sendiri, kaki juga nggak pinjem ama situ, ngapain repot!" Gadis itu ogah mengalah. Kalau urusan cekcok adu mulut, jangan berharap ada yang bisa menang darinya. Kosa kata kejam dari bibir manis gadis itu mengalahkan pedasnya rawit setan.
"Hei, Nona saranghae saranghanda atau apalah-apalah itu yang dari tadi kamu ocehin. Noh, liat, di depanmu ada apa? Ditolongin bukannya makasih malah sewot."
Bianca memutar sendi lehernya sembilan puluh derajat, mengalihkan pandangan dari pemuda gondrong ke arah yang dia tunjuk. Menyadari kalau pemuda itu baru saja menyelamatkan dirinya dari kejadian paling memalukan yang hampir menimpanya, Bianca jadi agak malu sendiri.
"Tapi bukan berarti kamu bisa narik-narik tangan orang seenaknya." Gengsi anak itu menjulang tinggi mengalahkan Gunung Everest, jadi mau bagaimana pun, dia tidak akan dengan mudah mengakui kesalahan.
"Ya, ya, ya. Terserah kamu. Dasar nggak tau terima kasih."
"Dan kamu nggak tau ...."
"Nggak tau apa? Nyesel aku nyelametin kamu. Tahu gitu tadi kubiarin aja nyungsep."
"Dih! Ngeselin!" Bianca mengentakkan kaki lalu meninggalkan Fredy begitu saja. Ya, dia akui cowok itu memang keren. Bahkan kemarin dirinya sempat berpikir kalau dia sudah kesengsem pada pandangan pertama pada sosok pangeran berkilau keemasan. Dan hari ini dia sudah menyesali pikiran ngelantur itu, nyatanya Fredy cuma cowok menyebalkan.
"Saranghae!" teriak Fredy dari belakang. Kalimat itu otomatis menghentikan langkah Bianca. Sebagai gadis penggemar musik Korea, dia tahu persis arti kata yang barusan mengudara dari bibir si gondrong.
Saranghae? Maksudnya, dia lagi nyatain cinta gitu? Oh My God! Mimpi apa semalam, bisa-bisanya ada cowok ngeselin yang mengatakan cinta dengan bahasa favoritnya? Padahal, mencari teman sesama penggemar Suju di kampus itu saja rasanya susah kebangetan. Bianca sampai harus masuk ke beberapa grup f*******: demi menemukan teman-teman sehobi dan sefandom buat diajak ngobrolin kegantengan oppa-oppa Korea, terutama Kyuhyun. Si Evil Magnae dari Suju.
"Mwo?" Bianca berputar sambil mengucapkan 'apa?' dengan bahasa Korea, yang otomatis membuat mulutnya melongo dengan mata nyaris melotot.
"Ma-mo ma-mo! Ini, kamu nggak mau handphonmu?"
"Eh?" Betapa sialnya seorang Bianca setiap kali bertemu dengan pemuda itu. Dua kali bertemu, dua kali kena sial, dan kali ini, dia malah tidak menyadari kalau benda yang dari tadi mengalihkan perhatiannya sudah berpindah ke tangan Fredy. Ngeselin nggak, si?
Fredy melangkah lebih dekat ke arah Bianca sambil menyodorkan ponsel pink dengan gantungan berbentuk kristal sebesar ibu jari.
"Thanks!" ucap Bianca dengan nada sedikit lebih lembut.
Fredy hanya berdecih, kemudian berlalu meninggalkan gadis kpopers garis keras tersebut.
"Bianca! Namaku Bianca, bukan saranghae, dan aku mengizinkanmu untuk mengingat itu," teriak Bianca saat Fredy berjalan menjauh.
Fredy hanya tersenyum separo sambil terus melangkah. Tanpa menoleh. Berhasil!
Sementara di belakang, Bianca lagi-lagi merasa ada yang ganjil. Saranghae? Kenapa mendadak otaknya berharap kalau makhluk gondrong dengan predikat super keren itu mengerti maksud kata saranghae, ya? Apa iya, dia udah kesengsem sungguhan?
"Aish! Micheoso! Aku pasti udah gila. Astagah!"
***
"Udah dong, Rin, kamu jangan nangis gitu." Bianca mengusap punggung sahabatnya yang kini tengah tengkurap di kasur. "Kemarin kan aku juga udah ngomong sama kamu. Pikirin sekali lagi, tapi kamu malah nekat."
"Bi, aku tahu Mas Ilham bukan orang kaya. Aku juga tahu, dia hanya seorang penjual ayam, tapi mama udah keterlaluan, Bi."
Wajah Karina basah oleh air mata. Di depannya ada sekotak tisu yang hampir habis, dan lantai marmer di kamar itu dipenuhi tisu bekas yang berserakan. "Asal kamu tahu, aku justru belajar lebih banyak darinya ketimbang teori-teori yang kita pelajari di kampus. Aku yakin, suatu saat kita pasti bisa sukses kalau menjalankan bisnis itu sama-sama. Apa lagi kalau papa kasih support dan modalin bisinis kita, bukan nggak mungkin, kios kecil bisa jadi restoran berkelas, kan?"
"Rin, aku nggak bilang kalau kamu salah, tapi aku juga nggak bisa nyalahin mama kamu. Biar gimana pun, orang tua pasti pengen yang terbaik buat anaknya."
"Stop it, Bi! Kalau kamu cuma mau nyalahin aku, mending kamu diem."
"Enggak, Rin, aku nggak bakalan diem." Bianca membantah. "Come on! Ini udah hampir dua ribu empat belas, masa kamu jadi kayak gini cuma gara-gara cowok, sih. Aku kenal kamu bukan satu dua hari, kita tumbuh bareng sejak kecil. Aku juga nggak mau kalau nantinya kamu nyesel sendiri. Ilham mungkin emang baik, tapi baik aja nggak cukup buat modal hidup. Kamu udah terbiasa hidup serba ada, kalau kamu nikah ama dia, apa kamu yakin bisa menyesuaikan diri dengan cara hidupnya?" Bianca tidak lantas diam. Dia peduli pada sahabatnya. Sangat. Gadis itu sama sekali tidak ingin kalau Karina menelan kepahitan hanya karena keputusan yang dia ambil dengan terburu-buru.
"Bianca, tolong, kalau kamu cuma mau ceramahin aku kayak mama, mending kamu pergi. Aku nggak butuh itu."
"Tapi, Rin ...."
"Keluar, Bi. Aku mohon. Aku pengin sendiri buat saat ini."
Keadaan Karina kali ini benar-benar membuat Bianca khawatir. Dia tidak pernah melihat Karina selemah itu selama menjadi sahabatnya. Karina yang dia kenal, adalah gadis yang optimis dan realistis. Dia tidak akan menangis hanya karena alasan cinta dan cowok. Apa mungkin, cinta sudah mengobrak-abrik akal sehatnya? Entahlah. Untuk saat ini, Bianca hanya bisa menuruti keinginan gadis itu. Barang kali Karina akan merasa lebih baik setelah menyendiri nanti.
Begitu Bianca keluar, Karina segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Papanya sedang berlaku tidak adil padanya. Bukankah dia sudah berjanji untuk memberikan apa saja yang Karina inginkan tanpa penolakan, tapi kenapa malah diam saja saat mamanya menolak pinangan Ilham, dan memperlakukan pemuda itu dengan sangat tidak terhormat? Papa jahat! Lihat saja nanti, mereka pasti tidak akan bisa lagi menolak untuk menikahkan Karina dengan Ilham, setelah gadis itu menjalankan rencana yang sekarang sedang berkeliaran di otaknya. Ya, bagaimana pun, dia pasti akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Apa pun caranya.
****
LovRegards,
MandisParawansa