Pagi-pagi sekali, lelaki sombong itu sudah pergi. Aretha hanya mendapati punggungnya saat akan memasuki mobilnya di garasi. Sepertinya Attar terburu-buru, padahal jam dinding baru menunjukkan pukul lima subuh.
Laki-laki itu kembali mengenakan baju kaus berwarna orange. Aneh, apakah dia tidak punya baju yang lain? Kekurangan uang untuk membeli baju? Atau, itu baju kesayangannya?
Tidak ada yang dapat Aretha lakukan. Menurut keterangan Bi Ati, biasanya Attar tidak akan pulang sampai dua minggu ke depan. Niatnya mendekati laki-laki itu nampaknya harus buyar.
Haruskah ia mampir ke rumah sakit dan membawakan Attar bekal makan siang?
Masalahnya, ia tidak tahu di rumah sakit mana Attar bekerja atau di mana rumah sakit milik klan 'The Gunardi's' itu berada. Memiliki kekurangan sebagai manusia disoriented membuatnya tak percaya diri melanglang buana di dunia luar. Ia lebih betah berada di kamar. Lalu, bagaimana kalau Attar sudah punya pacar? Laki-laki seperti dia tidak mungkin masih single, bukan?
Lutut Aretha mendadak lemas. Tindakan impulsifnya berniat menaklukkan hati Attar sepertinya tidak akan mudah.
Untuk membunuh waktu, ia terus berusaha mencari lowongan pekerjaan. Berbekal laptop pemberian Attar, ia membuka satu persatu laman di internet dan memasukkan lamaran pekerjaan melalui surel. Ia tahu resikonya cukup besar, tetapi resiko mati kelaparan jauh lebih besar lagi, bukan?
Satu minggu berlalu, tidak satupun lamarannya mendapatkan jawaban. Sepertinya Attar benar, memiliki IPK pas-pasan bukanlah hal yang bagus. Buktinya sampai saat ini, tak ada satupun panggilan wawancana menghampirinya.
Waktu terus berjalan. Ia sungkan berlama-lama tinggal di rumah itu, menumpang makan dan tidur tanpa bayaran. Meskipun tujuan awalnya nekat ke Jakarta adalah salah satunya demi mewujudkan impian masa kecilnya, menjadi istri Attaruna.
Aretha menimbang-nimbang kartu sakti pemberian tantenya. Sebenarnya, bisa saja ia menggunakan kartu tersebut untuk menyewa apartemen studio satu kamar, sehingga ia bisa hidup lebih bebas dan nyaman. Hanya saja, tantenya berpesan ia tidak boleh keluar dari rumah Bimantara. Mungkin karena ini adalah Jakarta—wilayah asing, bukan Bali, tempat kelahirannya.
Sang tuan rumah jarang terlihat. Terkadang Aretha berpikir, pria itu seperti membayar para pembantu untuk sekadar makan, minum dan menginap gratisan. Ada dua orang sopir, tiga orang pembantu rumah tangga serta satu orang tukang kebun. Dari wawancara singkat yang dilakukannya, para pembantu yang dikomandoi oleh Bi Ati itu mengaku seperti memakan gaji buta. Pekerjaan sehari-hari kebanyakan hanya membersihkan rumah, lalu memasak dan ... ngerumpi.
Saking frustrasinya, Aretha memasukkan lamaran menggunakan ijazah SMA-nya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai cleaning service. Hanya itu yang terpikirkan olehnya. Paling tidak, ia rutin mendapatkan gaji bulanan, bukan?
Ajaib, lamarannya langsung diterima. Ia diminta masuk kerja secepatnya.
"Non Ari mau ke mana?" tegur Bi Ati terheran-heran melihat Aretha keluar kamar dengan pakaian yang sudah rapi, rok hitam dan kemeja putih.
"Mau kerja, Bi."
"Lho, Non udah dapat pekerjaan? Di mana?"
"Perusahaan otomotif, Bi. Bibi doain supaya aku betah kerja di sana, ya."
"Aamiin, Non." Kening Bi Ati berkerut lagi. "Bukannya Non itu sarjana komputer? Heker itu, lho. Kenapa kerjanya di bengkel?"
Aretha geleng-geleng kepala. "Perusahaan otomotif, Bibi, bukan bengkel. Lagipula, siapa bilang aku ini hacker?"
"Oh, bukan heker, ya? Ah, setahu Bibi, yang suka main komputer itu heker, Non. f*******: Bibi saja dibobol heker. Nyebelin!" sambung Bi Ati dengan mulut mengerucut.
"Beda, Bi. Aku ini programmer, bukan hacker."
"Sama saja itu, ada 'er' nya."
"Pokoknya gitu, deh, Bi." Menjelaskan klasifikasi ahli komputer kepada Bi Ati akan memakan waktu lama. Tidak semua orang mengerti bila dijelaskan apa itu programmer, hacker, cracker, dan lain sebagainya. Lagipula, jarang sekali hacker yang membuka identitas pribadinya ke ruang publik apalagi ngaku-ngaku di media sosial. Mereka lebih sering bekerja di balik layar dan berlindung di balik identitas anonymous. Hacker itu sendiri terbagi dalam dua golongan, hitam dan putih. Belakangan banyak dari mereka yang menjadi korban stigma, seolah segala pekerjaan buruk di dalam dunia komputer dan internet adalah korban perbuatan hacker semata.
"Tapi, itu kan bengkel, Non," sanggah Bi Ati lagi.
"Beda, Bi. Nanti deh, aku ceritain kerjaannya ngapain aja." Rasanya Aretha tidak enak hati harus berbohong pada Bi Ati. Namun, bila orang-orang tahu ia bekerja sebagai cleaning service, tentunya ia akan dimarahi. Apalagi bila berita itu sampai ke telinga tante dan ayahnya.
"Beneran, ya, Non."
"Iya. Oh, ya, Bi. Kira-kira, ada sopir yang bisa nganterin aku nggak? Aku belum kenal kota ini, Bi."
"Ada. Minta tolong Pak Imin saja. Ayok, Bibi bantu ngomong sama Pak Imin."
"Makasih, Bi. Bibi emang yang terrrbaik!"
"Dih!" Sayangnya daster Bi Ati tidak ada kerahnya. Kalau ada, mungkin kerah tersebut sudah berdiri saking melambungnya perasaannya dipuji oleh Aretha.
***
"Nanti sore elo pulang ke rumah?"
Attar mengangguk. "Udah dua minggu gue nggak pulang."
Sejujurnya, selepas tugasnya berakhir, ia bisa saja pulang ke rumah seperti layaknya orang normal, setidaknya dua hari sekali. Hanya saja, ketika berada di rumah, godaan untuk tidur jauh lebih besar ketimbang belajar. Bila tidak diganggu oleh keponakannya, ia bisa saja tidur dari sore sampai bertemu sore keesokan harinya.
Belakangan tingkah kedua kurcaci itu—lebih tepatnya ayah mereka—sungguh menjengkelkan. Tetapi Attar tidak bisa marah sama sekali. Oleh karena itu, sepulang bertugas, ia melipir ke rumah sakit milik ayahnya dan memanfaatkan ruangan kantor sebagai tempat tidur dan belajar. Ia bisa berkonsentrasi di sana, meskipun tidak bisa setiap waktu memakan makanan enak buatan Bi Ati.
Tak lama kemudian, mereka terperanjat saat seseorang mengempaskan piring di atas meja. Attar mendongak. Tampak salah seorang sahabatnya memasang tampang bersungut-sungut. Kuah soto yang dibawa perempuan itu sampai memercik keluar.
Begitu perempuan itu mendudukkan bokongnya di salah satu kursi, Ronald menyeletuk, "Kenapa lo, Cha?"
"Sakit kepala."
"Semalam nggak o*****e?"
Attar terbahak.
"s****n lo!" Echa melotot seraya melemparkan serbet ke muka Ronald. Setelah itu, ia menjawab dengan polosnya, "Kok, lo tahu, sih, semalam gue nggak o*****e?"
"Apa biasanya perempuan memang begitu?" selidik Attar bertanya kepada Ronald yang dibalas cengiran lebar oleh lelaki itu. Setelah itu, ia menatap Echa. "Kenapa memangnya? Suami lo impoten?"
Eca menjitak kepala Attar. "Enak aja. Doi perkasa, ya. Dua, tiga ronde pun kuat!"
"Terus kenapa lo bisa nggak o*****e?" sambar Ronald lagi.
"Semalam gue kepikiran cicilan mobil. Jatuh tempo hari ini." Echa mengerang. "Gue udah nggak punya duit."
"Lo mikirin cicilan sampai nggak bisa k*****s?" sambar Attar lagi. "Kasihan amat."
"Begitulah perempuan kalau lagi banyak pikiran, boro-boro mikirin o*****e," dengus Echa masam. "Boleh minjem nggak?" Echa menyikut siku Attar, orang paling tajir di antara mereka bertiga.
Attar mendengus. "Kok, gue lagi? Bulan kemarin lo juga minjam sama gue."
"Lo ada, Ron?"
"Mana ada? PPDS nggak punya gaji."
"Dasar pelit!" Echa bersungut-sungut.
"Suami lo nggak ngasih duit?"
"Ada, lebih dari cukup malahan. Tapi—" Echa menekuk mukanya masam. Setelah itu, ia bercerita dengan mata berlinang tentang beratnya menjadi si anak bawang yang kerap di–bully oleh residen senior bahkan oleh konsulen-nya sendiri. Ia sering diminta membelikan makanan untuk mereka di restoran mahal. Bukan hanya satu atau dua orang, terkadang bisa sampai enam orang. Menjadi dokter, bukan hanya mahal dari segi biaya pendidikan, tetapi juga dari segi biaya budayanya. Uangnya sering terkuras untuk itu.
Attar dan Ronald terdiam dan saling berpandangan. Perpeloncoan dalam dunia pendidikan dokter spesialis sudah menjadi rahasia umum. Tidak semuanya mendapat perlakuan yang tidak adil, tetapi budaya buruk itu tak kunjung menghilang. Bahkan ada yang memilih mundur karena tak lagi punya uang. Banyak juga yang berakhir di klinik psikiatri bila tidak kuat mental.
"What can I do for you?" kata Attar menawarkan bantuannya kepada Echa.
Echa cepat-cepat menggelengkan kepala. "No, you don't need to. Nasib gue bisa jadi tambah parah kalau ada yang ikut campur. Rasanya nggak enak disindir-sindir di belakang. Nilai gue bisa jadi taruhannya."
Berbeda dengan kedua sahabatnya, Echa berasal dari golongan jelata, tidak punya koneksi dan kuasa. Ayah Attar dan Ronald adalah dokter bedah senior dan memiliki jadwal praktik di beberapa RS besar. Ayah Attar bahkan memiliki RS sendiri. Belum ada yang senekat itu menyentuh mereka. Pendidikan Echa sebagai spesialis kandungan dibiayai oleh suaminya. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya perjuangannya dari segi biaya.
"Daripada lo diperas melulu, kan?"
"Enggak," kata Echa bersikukuh. "Doain aja gue tabah. Gue cuma mau curhat. Cuma kalian berdua yang gue punya di sini."
Attar menepuk bahu Echa. Hatinya jadi iba. Sistem pendidikan yang masih berdasarkan university based, bukan hospital based menjadikannya tak bisa berbuat banyak untuk Echa. "Sure. Tenang aja, cicilan lo bulan ini biar gue yang bayarin."
"Serius?" Echa membulatkan matanya. Saat Attar mengangguk, ia mengembuskan napas lega. "Makasih banyak, Attaruna. I owe you a lot!"
"Tapi yang bulan kemarin hitungannya tetap utang, ya."
"Beres, bos!"
Attar menyesap minumannya. "Jadi, penting banget, ya, bikin perempuan o*****e?" tanyanya serius.
"Ya pentinglah, dasar g****k!" maki Ronald bersungut-sungut. "Ini, nih, contohnya. Mukanya nggak enak banget!" sindirnya pada Echa.
Echa mendengus. "Jangan-jangan, lo cerai juga karena itu?"
"Bukan!" Ronald memelototkan mata.
Jangan heran, tabiat mereka memang absurd. Ketiga manusia tak beradat itu jarang menyaring mulut bila bicara hal-hal v****r, apalagi tentang seksualitas dan sistem reproduksi yang bila dibicarakan beramai-ramai sering terdengar awkward dan memalukan. Ketiganya mulai dekat kala bertemu dalam satu kelompok di mata kuliah sistem reproduksi. Dan semenjak Ronald dan Echa menikah, Attar kerap kali menjadi objek yang duduk di kursi panas pesakitan.
Di antara mereka bertiga, hanya Ronald yang luas pergaulan. Attar tidak punya banyak teman. Echa pun begitu. Setelah menikah, perempuan itu keteteran membagi waktu antara keluarga dan pendidikannya. Untungnya Echa dan suaminya cukup waras dengan menunda hadirnya keturunan terlebih dahulu.
Attar termenung sambil berpikir keras. Menikah bukan hanya soal tanggung jawab lahir, tetapi juga tanggung jawab batin. Dua-duanya sepertinya tidak mudah. Ia belum siap. Karena itu, tidak mungkin ia bisa menikahi Aretha dalam waktu dekat.
Ia tiba-tiba tersentak.
Wait! What?!
Mengapa Aretha yang ada dalam imajinasinya, bukan Ringga, pacarnya?
Attar menyugar rambutnya kasar. See? Gadis itu memang biang penyakit!
Lamunannya buyar kala Ronald dan Echa berdebat hebat.
"Jadi, gimana ceritanya kalian memenuhi kebutuan s*****l? Elo, Tar, masih single, sedangkan elo, Ron, bentar lagi cerai," tanya Echa santai.
"c**i aja!" Ronald dan Attar menyahut bersamaan.
"Ya ampun!" Echa geleng-geleng kepala.
"Do we have another option?" sambut Attar.
"Belakangan cumi lagi hits," celetuk Ronald menambahkan.
"Iyuhh!" Echa memasang tampang mual nyaris muntah. "Nggak ada yang lebih elit apa?"
"Ngomong-ngomong, tukang sate juga banyak," timpal Attar.
Ronald tersedak. "Serius, lo jajan di tukang sate, Tar? Ck–ck–ck, gue nggak nyangka, ternyata elo—"
"Ya enggaklah, gila aja!" Attar mendengus memotong spekulasi Ronald.
Echa menatap mereka bergantian dengan raut bingung. "Tukang sate apaan?"
Ronald dan Attar melotot berbarengan. "DASAR OON!" maki mereka seraya menoyor kepala Echa.
Perempuan itu nyaris terjungkal dari kursinya.