"Mi, apa itu selingkuh?"
Deg!
Dayu memejamkan matanya rapat-rapat, tak menyangka anak perempuan berusia delapan tahun itu mempertanyakan hal sensitif yang belakangan menjadi perbincangan hangat. Ia memutar badan menghadap anaknya. Aretha terlihat sabar menunggu jawaban.
"Selingkuh itu ... hmm ... Mami nggak tahu bagaimana caranya menjelaskan, Re. Itu ... semacam melanggar janji dalam sebuah hubungan, Nak," katanya berusaha memilih kata-kata yang sekiranya bisa dicerna oleh Aretha. "Kalaupun Mami jelaskan sekarang, kamu nggak akan mengerti. Sudah, ya," elaknya kemudian.
"Itu sebabnya Mami dan Papi bercerai?" tanya Aretha selanjutnya. Ekspresinya terlihat tegar, tetapi kedua bola matanya mulai berembun dan suaranya beranjak serak saat melanjutkan, "Papi nggak pulang ke sini lagi?"
"Enggak, Re. Papi nggak pulang ke sini lagi." Dayu menelan ludah pahit. Perih dan rasa bersalah menusuk jantungnya.
"Kalau Re kangen Papi gimana? Mama dan papanya Beno juga bercerai, tapi Beno masih sering ketemu papanya. Katanya seminggu sekali."
Dayu tergugu. Bagaimana caranya menjelaskan bahwa mantan suaminya tak akan datang melihat anak mereka untuk waktu yang cukup lama? Cepat atau lambat, seiring bertambahnya usia Aretha, gadis kecil itu pasti akan mengetahui jawabannya, bukan?
"Nanti, Retha pasti bisa ketemu Papi lagi."
"Tapi, kapan, Mi?"
"Sabar, ya, Nak. Suatu hari nanti Papi pasti pulang. Mami janji."
"Tapi Re nggak mau Papi dan Mami bercerai."
Lagi-lagi Dayu tergugu. Maafkan Mami, Nak, nasi sudah jadi bubur.
***
Dayu terduduk lemas di tepian tempat tidur yang ditinggalkan Aretha. Kecuali seprainya yang acak-acakan, tempat itu masih sama seperti sebelumnya, dihiasi bunga-bunga layaknya kamar calon pengantin.
"Kenapa Retha harus kabur, Dan? Kalaupun dia nggak mau dijodohkan dengan Darka, seharusnya dia bilang terus terang pada Mami, bukan seperti ini caranya. Mami malu, kita semua malu," tutur Dayu pada Danisha. Raut wajahnya gusar bercampur sedih. Gusar karena kini ia jadi perbincangan hangat di seantero kota, atau mungkin satu propinsi. Tetapi juga sedih sekaligus merasa gagal sebagai seorang ibu. Anak yang ia kandung, ia lahirkan dan ia besarkan seolah-olah tak dapat ia kenali lagi. Hubungan mereka seperti dipisahkan jurang tak kasat mata, semakin lama jurang itu semakin lebar.
"Anak itu pasti pulang lagi, kok, Mi. Apa, sih, yang bisa dilakukannya di luar sana?" Danisha ikut gusar seraya mengembuskan napas kasar. Baginya, Aretha adalah biang masalah. Untung saja orang tuanya masih cukup waras dan tidak memintanya menikah dengan Darka sebagai sosok pengganti untuk menghindari rasa malu.
"Ada di mana dia sekarang? Retha itu sering nyasar, Dan. Gimana kalau dia kenapa-napa?" Dayu mengusap air matanya.
Danisha merangkul pundak ibunya berusaha menenangkannya. "Papa sudah menyuruh orang mencari dia, Mi."
"Kasihan sekali papamu. Pasti beliau sangat terpukul."
"Aku juga bingung, Mi. Dua minggu lagi pemilihan kepala daerah. Papa nggak yakin bisa mendulang suara seperti yang diharapkan akibat insiden ini."
Rasa bersalah Dayu semakin dalam.
"Sudahlah, jangan terlalu Mami pikirkan. Anak itu pasti pulang."
***
Di sebuah ruangan yang menghadap ke laut, seorang lelaki dan ajudannya tampak bicara dengan serius. Lelaki itu sesekali mengisap cerutu mahalnya.
"Apa wajahku kurang tampan sampai gadis itu harus kabur dari pernikahannya denganku?" gumamnya masih tak habis pikir. Tatapan matanya menerawang menembus jendela.
"Tidak, Tuan. Anda bukannya kurang tampan. Mungkin, hanya kurang beruntung."
Darka mendengus. "Jangan berusaha menghiburku, Baga. Aku tahu, sejak pertama kali bertemu, gadis itu tidak menyukaiku. Dia melihatku seolah-olah sedang melihat seonggok kotoran."
"Dia masih terlalu muda, Tuan."
Tidak ada yang salah dari tuannya. Lelaki yang berprofesi sebagai pengusaha itu memiliki segalanya yang dipandang sebagai standar kualifikasi bagi kaum wanita. Wajahnya tampan, uangnya banyak, penampilannya pun memikat.
Bila Baga menempatkan diri di sisi Aretha, kekurangannya hanya satu, umurnya yang terpaut terlalu jauh. Delapan belas tahun—nyaris mendekati umur ayahnya—bagaikan mimpi buruk bagi seorang gadis yang belum berpengalaman di bidang asmara. Bagi perempuan lain, mungkin itu biasa saja, asalkan sang lelaki punya banyak uang dan kartu sakti di dompetnya. Meski tidak begitu yakin dengan motif yang melatarbelakangi kaburnya Aretha, bila ia di posisi gadis itu, ia mungkin akan melakukan hal yang sama. Keberanian gadis itu membuatnya kagum.
"Umur kalian terpaut cukup jauh," kata si ajudan melanjutkan.
"Bukankah aku punya banyak uang?"
"Tidak semua perempuan menganggap uang adalah segalanya, Tuan."
"Kau!"
"Maaf, Tuan. Maafkan kelancangan saya." Baga menunduk dalam-dalam.
Darka mendengus masam. "Bagaimana perkembangannya?"
"Tidak ada penerbangan atas nama gadis itu, Tuan."
"Apa mungkin dia masih berkeliaran di pulau ini?" Darka menyentuh ujung dagunya.
"Atau mungkin dia bersama keluarga ayahnya?"
"Tidak mungkin. Hubungan mereka sangat buruk."
Giliran Baga yang terdiam. Tidak lama setelah itu, ia menyeletuk, "Mengapa Anda ngotot sekali menikahi Aretha? Bukankah Anda bisa mendapatkan perempuan lain yang lebih cantik dan seksi? Banyak perempuan yang rela mengantri untuk jadi istri Anda, Tuan. Gadis itu tidak terlalu menarik."
Hening sejenak.
"Aretha ibaratnya sumur minyak. Kalau kau mendapatkannya, kau mendapatkan segalanya." Darka tersenyum tipis. "Cari dia sampai dapat. Bila aku tidak bisa memilikinya, maka laki-laki lain pun begitu."