Pupus sudah harapan Aretha bahwa Attar tidak akan mengingat peristiwa memalukan itu. Pipinya memanas seperti api. Ingin rasanya ia membenamkan diri hidup-hidup ke dasar bumi.
"Setelah besar nanti, aku mau menikah dengan Mas Attar."
Ya Tuhan, aku mau mati saja! keluhnya dalam hati. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Tingkah centilnya di masa kecil membuatnya meringis. Ia tidak berani menatap Attar yang mungkin kini tengah cengengesan meledek kelakuannya.
Tanpa ia sadari, Attar telah pindah duduk ke sampingnya. Tiba-tiba lelaki itu meraih pipinya, lalu memegangnya dengan kedua belah tangannya. Ia bagaikan tersengat aliran listrik. Pipinya lagi-lagi memanas.
Dalam keadaan normal, takkan sampai Attar menyentuhnya seperti itu. Tapi kali ini berbeda, otot-ototnya mendadak kaku. Tampak olehnya lelaki itu memandanginya dengan kening berkerut-kerut.
"Aku nggak nyangka kamu sudah jauh berubah," kata Attar penasaran. Gadis yang ada di depannya, dulu bukanlah gadis canggung dan pemalu, tetapi gadis percaya diri nan ceriwis tak tahu malu.
Setelah mengucap pertanyaan tanpa jawaban itu, detik berikutnya Attar terpaku. Bila dilihat lebih lama lagi, ternyata gadis itu manis juga, bukan 'amit-amit' seperti sebelumnya. Dua buah jerawat yang menghiasi keningnya tidak mengganggu sama sekali. Beberapa bintik cokelat di bawah mata serta di pipi Aretha—seperti kulit kebanyakan orang dari ras Kaukasian—juga tidak mengganggu, malah terlihat unik dan ... seksi.
Dan bila melihat ke kedalaman mata cokelatnya, Attar seperti memasuki sumur misterius tak berdasar. Mata itu begitu tenang dan membius. Ia melihat dirinya bermain-main di dalamnya.
Attar tersentak. Pegangannya pun terlepas. Sesuatu di dalam hatinya memperingatkan bahwa gadis itu berbahaya.
"People changed a little bit." Aretha buru-buru menoleh. Degup jantungnya bergemuruh bak genderang perang.
"But you changed a lot," sanggah Attar. Matanya melirik beberapa dokumen milik Aretha yang tersusun rapi di atas meja. "Aretha Khirani Naratama. Namamu bagus juga. Ibumu dosen, kan?"
Aretha mengangguk.
"Anak dosen, kok, kayak kamu?"
Kening Aretha mengernyit menatap Attar. "Maksud, Mas?"
"Kenapa nilaimu cuma segini?" Attar membolak-balik dokumen milik Aretha. "Waktu kuliah kamu ngapain aja? Sibuk pacaran?"
Aretha diam-diam mengembuskan napas kesal. Sepertinya selama berada di dekat Attar, ia harus banyak-banyak bersabar. "Aku nggak cukup pintar seperti kamu, Mas."
"Oh." Attar mangut-mangut. "Syukurlah."
"Syukurlah apa?"
"Syukurlah kalau kamu sadar."
"Hidup itu tidak linier, Mas. Yang IPK–nya bagus belum tentu sukses di dunia kerja, begitupun sebaliknya. Banyak yang IPK–nya bagus justru menganggur."
"Nah, itu kamu tahu. Yang IPK–nya tinggi aja belum tentu sukses di dunia kerja, apalagi yang IPK–nya pas-pasan seperti kamu? Makanya, kuliah itu yang benar. Belajar yang benar. Jangan cuma ngabisin duit orang tua, hasilnya nggak jelas. Kamu pacaran melulu, sih," omel Attar tak berkesudahan.
"Siapa yang pacaran? Aku nggak pernah punya pacar!" sambar Aretha marah. Mukanya merah padam menahan jengkel. Laki-laki itu sombong sekali. Untung ganteng. Kalau tidak? Kutebas pinggangmu!
"Wohoo?" Attar mengangkat alisnya. "Ya ampun, kamu masih polos ternyata. Nggak ada laki-laki yang menyukaimu atau bagaimana?"
"Bukannya nggak ada yang suka," bantah Aretha, "tapi belum ada yang seberharga itu untuk mendapatkan hatiku."
"Wah, dasar sombong!" Attar terkekeh. Namun, ia masih belum puas menyerang Aretha. "Kenapa kamu sering banget menggosok hidung? Hidungmu cacingan?"
Aretha langsung memelotot. Sementara lelaki itu menaikkan alisnya tanda menunggu jawaban. Haruskah ia menjelaskan, hidungnya terasa tidak nyaman setiap kali ia merasa terlalu senang ataupun gugup? Setiap orang punya kebiasaan buruk, bukan?
"You've changed a lot," ulang Attar tak puas.
"Seberapa jauh Mas mengenalku? Bahkan Mas baru mengetahui nama panjangku, kan?"
"Mungkin kamu benar, aku nggak 'lagi' mengenalmu." Attar mengedikkan bahu sambil menekankan kata 'lagi' dalam kalimatnya. "Tapi dengan adanya kamu di sini, aku punya waktu mengenalmu lebih baik lagi."
Kata-kata ringan tersebut sanggup membuat jantung Aretha kembali bergemuruh. Dadanya dilingkupi rasa hangat yang aneh. Apakah Attar juga mengingat ucapan terakhirnya sebelum mereka berpisah dulu? Lelaki itu mengusap-usap kepalanya sambil tertawa riang dan mengucap kalimat sakti yang ia anggap sebagai sebuah janji.
Aretha buru-buru menggelengkan kepala. Dari gelagatnya, takkan mungkin Attar mengingatnya. Dan kalaupun Attar mengingatnya, lelaki itu takkan menghina pencapaian akademisnya sedemikian rupa.
"Ayahmu apa kabarnya?" kata Attar mengalihkan pembicaraan.
"Baik, Mas." Mengapa setiap orang rajin sekali menanyakan kabar kedua orang tuanya? Aretha mencengkeram pensilnya erat-erat.
"Beliau nggak nganter ke sini?"
"Sibuk, Mas."
"Oh. Ya sudah, kamu lanjutin aja dulu." Attar berdiri, enggan berbasa-basi lebih lama. Sepertinya Aretha bukan lagi teman bicara yang asik.
"Tunggu, Mas," Aretha ikut berdiri mencegat langkah Attar. Sebuah ide konyol terlintas di benaknya. "Aku bahkan belum menjawab pertanyaanmu."
"Pertanyaan yang mana?"
"Mengenai menikah, aku—"
"Oh, itu. Aku cuma bercanda, Tuan Putri," Attar mengacak-acak rambut Aretha geli.
Tuan Putri? Aretha tersentak. Ternyata Attar masih mengingatnya dengan baik.
"Aku Tuan Putri dan Mas Attar pangerannya."
Attar berdiri, lalu membalikkan tubuh hendak kembali ke kamarnya. Menikah dengan Aretha? Yang benar saja!
Namun, belum dua langkah ia berjalan, terdengar Aretha kembali menyeletuk, "Tapi aku maunya diseriusin, Mas."
"Ha?" Attar terpana. Ia membalikkan tubuhnya, mendapati Aretha menatapnya tak berkedip. Tiba-tiba ia melihat seringaian tipis di sudut bibir gadis itu. Seringaian yang sama seperti saat Aretha mengajaknya menikah belasan tahun yang lalu.
"Aku nggak sudi menikah denganmu!"
Tekad yang menyala di sepasang mata misterius itu membuat Attar mendadak gentar. Tenggorokannya nyaris kering saat menjawab, "Lain kali kita bicara lagi. Selamat malam. Sleep well."
Attar berbalik cepat menuju kamarnya.
"Tapi, Mas—"
"Apa lagi?" sambar Attar gusar. Langkahnya lagi-lagi terhenti.
"Ini masih sore, lho."
Sial! Attar tak lagi menjawab, melainkan mempercepat langkahnya menjadi setengah berlari. Setibanya di dalam kamar, ia mengempaskan pintu dan langsung memutar kunci.
Raut wajah penuh tekad milik Aretha membuat bulu romanya tiba-tiba berdiri.
Oke, dia menyeramkan sekali!
***
"Buat siapa, Bi?" tegur Aretha melihat Bi Ati menyiapkan makanan di atas nampan.
"Den Attar, Non."
Dibandingkan dengan kembarannya, Attar adalah sosok yang manja. Sedari kecil semua kebutuhannya terpenuhi dengan peran para pembantu. Tugasnya sehari-hari hanyalah belajar dan belajar. Berbeda dengan Thalia yang masih menyempatkan diri membantu tugas-tugas rumah tangga tanpa dipinta, Attar mungkin sama sekali tak tahu bagaimana caranya mencuci piring. Entah bagaimana kehidupannya saat menjalani koass dulu, Bi Ati tidak tahu.
"Dia nggak makan di bawah?"
"Katanya minta dibawain ke kamar aja, Non." Bi Ati mengangkat bakinya. "Permisi Non, Bibi anterin dulu."
"Hati-hati, Bi," kata Aretha lagi. Porsi makanan di dalam nampan itu banyak sekali!
Malam itu, Aretha menikmati makan malamnya hanya bersama Bi Ati dan para asisten yang lain. Attar tidak pernah muncul lagi. Sepertinya laki-laki itu mengurung diri. Sementara sang tuan rumah, Bimantara, belum jua pulang. Dari cerita Bi Ati, Aretha mengetahui pria tersebut jarang ada di rumah, terkadang pulang tengah malam, atau bahkan tidak pulang sama sekali. Bima hanya wajib berada di rumah di akhir minggu, menghabiskan waktu bersama kedua cucunya.
Aretha sampai berpikir, apakah seorang dokter bedah memang sesibuk itu? Sampai tidak punya waktu untuk makam malam di rumah sendiri? Kehidupan macam apa itu?
Selepas makan malam, ia mencari angin di halaman belakang rumah. Ia duduk di sebuah gazebo yang diterangi lampu taman.
Sesekali kepalanya mendongak menatap langit malam tanpa bintang. Kemudian, matanya tertumbuk ke salah satu ruangan di lantai dua yang terang benderang.
Sebuah ide gila muncul di kepalanya saat melihat sebatang pohon tumbuh tinggi tepat di depan ruangan tersebut.
Ia menanggalkan sandalnya. Tangannya meraih salah satu dahan—mungkin pohon mangga—lalu mendorong badannya ke atas. Tubuhnya meliuk-liuk lincah di sela-selanya.
Dalam hitungan detik, ia telah bertengger di salah satu dahan yang cukup kuat, sejajar dengan balkon. Melewati jendela yang terbuka, ia melihat Attar sedang menunduk di sebuah meja belajar. Sebuah laptop menyala di hadapannya. Laki-laki itu membalik-balik buku tebal, sesekali menandainya dengan sticky notes, dan sesekali memainkan jemari di papan ketik laptopnya. Raut wajahnya serius sekali.
Tekunnya raut wajah Attar yang sedang belajar itu membuat Aretha menyunggingkan senyuman. Di bandingkan gadis-gadis usia sebayanya yang dulu lebih menyukai laki-laki fuckboy, ia memang lebih menyukai laki-laki pintar, sehingga dengan percaya diri menyebutkan belum ada yang seberharga itu mendapatkan hatinya. Apa untungnya berpacaran dengan begajulan? Rugi!
Sebuah tekad berkelebat di benaknya. Jika Attar lebih mengingatnya sebagai gadis kecil tak tahu malu, maka ia akan membuktikan, gadis kecil itu masih sama. Mulai esok hari, ia akan berusaha membuat Attar jatuh cinta kepadanya.
Lihat saja nanti!