Setelah Costa ikut permisi, Attar mengajak Aretha pindah ke halaman belakang. Mereka duduk di kursi santai yang menghadap ke greenhouse kecil milik orang tua Costa.
Pandangan Aretha menerawang. Tubuhnya limbung tak terkira. Pikirannya bercabang-cabang bak ranting kayu. Ia baru mulai mencari jati dirinya di usia yang sudah terlambat. Dan kini, fase quarter life crisis mencekik lehernya. Masa depannya terombang-ambing tanpa kejelasan, buah dari ketidakmauannya menentukan tujuan.
Ia mengakui dirinya mantan mahasiswa yang disebutkan Yanuar, berkuliah hanya demi nilai seadanya. Ia tak punya pandangan hidup yang jelas, tak punya career plan, tak punya masa depan.
Skill apa yang ia punya? Programming? Ah, semua orang juga bisa.
Rebahan? Sepertinya begitu.
"Di rumah ada perpustakaan pribadi, Re, di samping ruangan kerja Papa," kata Attar membuka pembicaraan, sembari mereka-reka dari sisi mana ia harus 'memoles' Aretha terlebih dahulu. Ia gemas setengah mati pada gadis itu. "Di waktu luang kamu bisa baca aneka buku di sana. Ada pengembangan diri, filsafat, psikologi sosial, hukum, buku-buku kedokteran. Novel dan komik juga ada, tapi nggak banyak."
"Di rumah Om Robert juga ada banyak buku. Aku cuma baca satu, sih, dikit aja," sahut Aretha seraya menggosok ujung hidungnya dengan malas. "Ngomong-ngomong, Tante Martha pernah bilang kalau Om Bima itu kembar."
"Iya, Papa memang punya saudara kembar. Namanya Om Rama, beliau ada di Yogyakarta."
"Kenapa nama Om Robert berbeda? Maksudku—"
"Bukan nama Sansekerta, ya?" Attar tersenyum kecil. "Dulu, sewaktu Om Robert lahir, kakek ngefans berat sama Robert De Niro. Makanya, nama Om Robert itu beda sendiri."
"Oh, pantes." Aretha ikut tersenyum kecil. Ada-ada saja!
"Jadi di rumah Om Robert kamu baca buku apa?" Attar kembali ke topik sebelumnya.
"Umm ... Sobotta Atlas of Human Anatomy."
"Wah, itu sih, kitab sucinya mahasiswa kedokteran. Ada yang kamu ingat dari Sobotta? Keterangan salah satu bagian tubuh, mungkin?" tanya Attar penasaran ingin menguji daya ingat Aretha yang katanya seperti gajah itu. Meskipun demikian, ia tidak berharap banyak.
"Yang aku ingat, pembentukan septum jantung pada embrio dimulai akhir minggu keempat dan berlangsung sekitar tiga minggu. Pada saat itu, embrio sudah tumbuh sekitar 5 hingga 17 mm. Melalui pembentukan berbagai septum, tabung jantung menjadi dua tabung yang terpisah. Hasilnya adalah satu jalur aliran kiri dan satu jalur aliran kanan. Pemisahan definitif kedua sirkuit aliran darah tersebut baru sempurna pada saat lahir karena penutupan Foramen ovale ketika paru-paru bayi sudah mulai memberikan oksigen ke darah arteri."
"Ada lagi?"
Aretha berpikir sejenak. "Organa urinaria meliputi sebuah daerah yang luas dari abdomen sampai ke pelvis. Karena organ-organ ini secara ontogenetis sangat dekat berhubungan dengan Organa genitalia, keduanya sering dirangkum menjadi Organa urogenitalia. Meskipun demikian, karena alasan didaktis, kedua sistem berikut dibicarakan secara terpisah."
"Wow!" Attar terkesima beberapa detik, tak menyangka Aretha mampu mengingat penggalan isi buku dalam satu kali baca. "Daya ingatmu bagus banget lho, Re."
"Apaan, Mas, biasa aja, kok." Aretha berdecak. "Semua orang juga bisa."
"Dan apa kamu ngerti dengan apa yang kamu jabarkan barusan?" tukas Attar tak sabar.
"Enggak juga, mungkin ... dikit." Aretha nyengir lebar. "Itu bukan bidangku, kan?"
"Beneran, daya ingatmu bagus. Tapi ... " Attar menatap Aretha lekat, antara gemas dan frustrasi. "Aku nggak ngerti selama ini kamu ngapain aja. Sekarang gini, Re, setelah ngomong panjang kali lebar sama Mas Yan, kamu masih mau rebahan?"
Tentu saja tidak! "Enggak, Mas."
"Kamu tahu nggak, di saat kamu rebahan dan bermalas-malasan, ada ribuan pesaingmu di luar sana siap mengambil posisimu."
Aretha balas menjawab dengan polosnya, "Kalau yang ribuan itu juga rebahan, gimana, Mas?"
"Astaga ini anak!" maki Attar gemas. Gue cium juga lo!
Merasa terpojokkan dengan pelototan Attar yang mempertanyakan kemampuannya, Aretha tergugah membuka satu lapisan rahasianya.
"Apa Mas tahu, aku juga punya saudara tiri. Namanya Danisha, anaknya Om Danu. Usia kami hanya terpaut beberapa bulan. Kemampuan akademisnya nggak terlalu bagus, mungkin hanya rata-rata." Aretha menghela napas panjang sembari mendongak menatap langit. "Dulu, setiap kali nilaiku lebih bagus dibandingkan dia, dia dengan teman-temannya selalu mencari cara untuk mem-bully juga mengintimidasiku."
Kening Attar langsung berkerut. "Kamu nggak lapor sama Mami?"
"Pernah, sih." Aretha mengedikkan bahu malas. "Tapi Danisha selalu punya cara membalikkan fakta dan mengambil hati Mami. Ujung-ujungnya malah aku yang disalahin. Sejak saat itu aku mengalah. Aku capek disudutkan melulu. Apa jangan-jangan aku bukan anak kandung Mami ya, Mas?"
Attar terperangah. "Kamu mengalah pada saudara tirimu dengan menurunkan nilai akademismu sendiri?"
Aretha mengangguk pelan. Ia mengalah dengan malas belajar, agar nilainya tak lagi berada di atas Danisha atau perempuan itu merisaknya, menghinanya, terlebih lagi menghina ayahnya. Perbuatan tersebut dilakukan selama bertahun-tahun dan berubah jadi sebuah kebiasaan yang sulit diubah.
Tak jarang mereka bertengkar dan berakhir dengan lagu yang sama, ibunya lebih membela Danisha dan menyuruhnya memaklumi perlakuan Danisha dengan berbagai alasan.
"Astagfirullah! Kamu gila apa?!" Attar mengepalkan tangan untuk menyalurkan emosinya yang mendadak merangsek ke ubun-ubun. Ia tahu Aretha sedang berusaha mencari pembelaan atas sifat pemalasnya dan ia tidak bisa menerima alasan tak masuk akal tersebut—sedikit pun. Kegetiran dalam suara Aretha ia abaikan begitu saja "Kok, bisa-bisanya kamu menurunkan kualitas dirimu demi orang lain, Re?"
"Apa yang bisa aku lakukan, Mas? Mami selalu belain dia. Aku nggak punya siapa-siapa," kilah Aretha membela diri. Semakin hari ia merasa, gambaran Dayu, Danu dan Danisha adalah seperti gambaran keluarga sempurna, tentu saja tanpa dirinya di dalamnya. Bersama suami barunya, ibunya lebih banyak tertawa. Ibunya kelihatan bahagia. Tak seperti saat bersama ayahnya, keduanya lebih sering terlibat prahara.
"Ampun!" Attar menyugar kasar rambutnya. Raut wajahnya gusar setengah mati.
"Mas nggak akan tahu bagaimana rasanya jadi aku. Mas nggak punya saudara tiri, kan? Mas nggak tahu gimana rasanya sendirian."
"You know nothing about me, Re," sahut Attar datar.
"Kelas dua SMA, aku menyukai seseorang. Namanya Ray, ketua OSIS, pemain basket, tampan, banyak yang naksir sama dia."
"Seberapa tampan, sih?" dengus Attar sinis.
"Tampan deh, pokoknya."
"Lalu?"
Aretha mengangkat bahu. "Kami satu kelas. Aku mulai sadar diri dan rajin belajar agar dia melirikku. Aku nggak peduli kalau Danisha mem–bully–ku lagi. Toh, diam-diam aku belajar silat. Aku terpacu buat bikin Ray juga menyukaiku. Nilaiku melonjak tajam, aku jadi juara kelas. Kami jadi sering belajar bareng dan mulai dekat. Aku makin bersemangat."
"Terus?"
"Tapi ... ujung-ujungnya, dia malah jadian sama Danisha."
Attar terbahak. "Kasihan sekali kamu."
Aretha ikut tertawa sumbang. "Danisha bilang, laki-laki nggak menyukai perempuan yang lebih pintar dari mereka. Katanya itu membuat mereka terintimidasi. Saat itu, kupikir-pikir mungkin Danisha benar. Nilainya biasa-biasa saja, tapi banyak yang ngantri jadi pacarnya. Perasaan wajahku nggak b***k-b***k amat, tapi nggak ada satu pun teman laki-laki yang mendekatiku."
Mendengar itu, Attar hanya bisa menganga. Selama beberapa detik, ia kehilangan kemampuan bicara.
"Astaga, Re!" Attar menyumpah tak karuan. "Kamu bodoh!" makinya keras-keras.
"Mas?" Aretha syok. Genangan air berangsur-angsur membasahi kedua bola matanya. Ia tergugu, tak menyangka Attar tega mengatainya seperti itu.
"Dan kamu? Apa yang kamu lakukan? Terus memelihara asumsi bahwa laki-laki tidak menyukai perempuan cerdas? Bahwa mereka terintimidasi, begitu?"
Ketika Aretha membuang muka, Attar tahu gadis itu membenarkan ucapannya.
"s**t!" Attar menyumpah sambil berjalan mondar-mandir di hadapan Aretha. Sesekali ia berkacak pinggang. "Saat ini dunia sudah memasuki era society 5.0, Re, bukan revolusi industri 4.0 lagi, tetapi kamu masih memelihara kultur edan dari abad kedelapan belas? Ya ampun!
"Bila ada laki-laki merasa terintimidasi dengan perempuan cerdas, yang salah itu adalah dia, bukan kamu. Dan yang perlu diperbaiki adalah circle pergaulanmu. Jangan pernah menurunkan kualitas dirimu hanya agar ada laki-laki yang melirikmu. Orang hebat bergaul dengan orang hebat. Bila orang hebat bergaul dengan orang bodoh, kemungkinannya hanya ada dua. Satu, kamu mengedukasi mereka agar ikutan hebat. Dua, mereka berusaha menjadikanmu ikut bodoh seperti mereka. Nalarmu di mana, Re? Mikir, dong!"
Aretha hanya bisa menunduk dalam-dalam, sementara Attar mengomel, memakinya tak putus-putus sambil berjalan mondar-mandir, persis seperti seorang balita yang sedang tantrum. Laki-laki itu frustrasi sendiri, sesekali menariki rambutnya gusar.
"Ma–mami juga pernah bilang begitu, Mas, nggak perlu capek-capek belajar waktu kuliah, nanti kalau nikah ada suami yang menafkahi." Ia ikut frustrasi dan bingung. Ibunya sendiri sering mengatakan, tidak perlu terlalu cerdas jadi perempuan karena hanya akan berakhir di bawah pemimpin rumah tangga bernama suami. Ia sempat mempertanyakannya tetapi mereka malah bertengkar. Lagi-lagi Aretha mengalah.
Saat dijodohkan dengan Darka, ia mulai mencurigai maksud dari perkataan ibunya. Mungkin saja sejak lama ia sudah diplot untuk menjadi istrinya Darka. Sayangnya, ia tidak punya kesempatan menanyakan hal itu pada ibunya.
"Apa? Itu sebabnya kamu seolah-olah nggak punya motivasi hidup? Seperti Cinderella, menunggu jemputan pria tampan berkuda dan kaya raya jatuh cinta kepadamu lalu menyelamatkanmu? Hari gini berharap pada orang lain, Re? Bukannya kamu juga punya tangan, punya kaki, punya kepala buat mikir? Kenapa bukan kamu saja yang berjuang menyelamatkan dirimu sendiri? Write your own destiny, Aretha. Come on!"
"Ta–tapi, itu—" Tiba-tiba Aretha terperanjat. Pipinya terasa hangat kala kedua telapak tangan Attar menangkup pipinya. Tatapan lelaki itu menghunus setajam pedang.
"Kamu itu ibarat bintang, Re. Kalau sinarmu lebih terang dari sinar laki-laki yang mendekatimu, bukan kamu yang harus mengalah meredupkan sinarmu, tetapi dia yang harusnya terpacu bersinar lebih terang agar sinarnya setara denganmu. Ngerti nggak? This world doesn't revolve around a man. Get up!" Attar melepaskan pegangannya dan kembali berdiri. "Ya ampun, aku nggak tahu mau ngomong apa lagi. How stupid you are! Kamu menghabiskan masa mudamu begitu saja. Coba sekarang kamu lihat dirimu. Bingung sendiri, kan?"
Aretha tergugu. Makian Attar bahwa dirinya sangat bodoh memukul mentalnya dengan telak. Penyesalan demi penyesalan menggulungnya. Tenggorokannya tersumbat, sementara air matanya tak kunjung keluar.
"A–aku ke toilet sebentar, Mas." Aretha bangkit dan buru-buru masuk ke dalam rumah, meninggalkan Attar yang berkacak pinggang.
Attar takkan tahu, gadis itu bukannya pergi ke toilet seperti perkataannya, melainkan mencari Thalia lalu berpamitan.
Di dalam kendaraan yang membawanya pulang, air matanya meluncur deras.
Tolong sudahi saja rasa ini, ya Tuhan. Aku menyerah. Aku kalah ....