Part 1. Dokter Fai

1354 Kata
Sila masih tertegun di tempatnya berdiri. Laki-laki yang menjulang di hadapannya dengan tangan terulur ke depan itu bukan sosok yang dia harapkan. Mimpi buruk yang ia pikir sudah berakhir ternyata masih akan tetap memayungi sisa hidupnya. Mata yang baru sesaat menghentikan produksi air itu, kembali memerah. Tak lama bulir-bulir itu kembali turun. Mata yang sudah basah tersebut kembali menatap tak percaya sosok yang berdiri di hadapannya. Dia bukan Hesa. Hatinya menjerit. Dia menginginkan Hesa, bukan pria lain. Sosok yang ingin kembali dia lihat hanya Hesa, sang kekasih hati. *** Seorang gadis yang belum lama menyelesaikan sekolah kedokterannya itu berlari di lorong rumah sakit. Snelli putih yang dia pakai berkibar terkena angin karena tak satu pun kancing terpasang. “Di mana pasiennya?” tanya Dokter Faisila saat bertemu dengan seorang perawat yang belum lama menghubunginya melalui saluran telepon. “ Di sana Dok … “ sang perawat ikut berlari sembari menunjukkan arah bed yang ditempati pasien yang baru masuk IGD. Dokter Fai, panggilan akrab saat di rumah sakit, mengangguk kemudian semakin bergegas menuju tempat yang ditunjukkan sang perawat. “ Bagaimana kondisinya ?” tanya Dokter Fai begitu menyibak gorden pembantas antar bed pasien. Seorang perawat terlihat sedang mengecek kondisi vital pasien dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Wajahnya bahkan tertutup darah. Sang perawat segera menjelaskan kondisi pasien yang ternyata mengalami kecelakan tunggal di jalan tak jauh dari rumah sakit. Faisila yang waktu itu baru saja pulang dari rumah sakit setelah jatah shif nya berakhir tersebut, segera bergegas kembali ke rumah sakit begitu mendapat telepon dari salah satu perawat yang sedang bertugas di rumah sakit. Dokter jaga IGD yang menggantikannya, kerepotan menangani korban tabrakan beruntun yang dilimpahkan ke rumah sakit tempat mereka bekerja, saat rumah sakit terdekat sudah tidak mampu menampung banyaknya pasien. “ Cepat bantu pernafasannya dengan oxygen.” Perintah Dokter Faisila setelah mendengar penjelasan sang perawat. Ia mulai membuka pakaian sang korban. Memotong selembar kain mengenaskan tersebut kala ia kesulitan membuka melalui jalannya dikarenaksan kondisi yang penuh luka. Dengan telaten ia mulai mmebersihkan luka korban. Seorang perawat membantu membersihkan dan merawat luka di wajah pasien, sementara Dokter Faisila mencabut beberapa pecahan kaca yang masih menancap pada tubuh sang pasien. Cukup lama Sila merawat luka-luka di sekujur tubuh sang korban, sementara sang korban sendiri masih belum sadarkan diri. “ Bagaimana keadaan putra saya, Dok ?” Sila yang semula masih memasang kasa pada luka terbuka di betis korban, menoleh setelah menyelesaikannya. Seorang wanita paruh baya terlihat begitu panik melihat kondisi sang putra yang terbaring tak sadarkan diri dengan banyak luka. “ Kami masih harus melakukan CT scan untuk mengetahui kondisi keseluruhan pasien.” CT scan adalah prosedur yang paling cocok dilakukan untuk memeriksa secara cepat orang-orang yang dicurigai memiliki luka dalam akibat kecelakaan mobil. CT scan bisa digunakan untuk menvisualisasikan hampir semua bagian tubuh, dan untuk mendiagnosis penyakit atau cidera. Dengan begitu Dokter bisa merencanakan perawatan medis yang tepat. “ Untuk sementara kita tunggu pasien sadar terlebih dahulu. Luka-luka fisik banyak, beberapa cukup dalam. Tapi seperti yang saya katakan tadi, kami masih harus memeriksa secara menyeluruh supaya bisa memberikan perawatan yang tepat. Kita berdoa yang terbaik saja, Bu.” Wanita paruh baya yang sudah akan menangis itu mengangguk. Sila berdiri, memberi senyum menenangkan untuk Ibu korban. Ia bisa membayangkan seperti apa rasanya di posisi wanita itu. Ia pernah mengalaminya. Panik, pikiran kacau, perasaan takut, semua bercampur menjadi satu. Tanpa ia duga, wanita paruh baya itu meraup kedua telapak tangannya. “ Tolong selamatkan putra saya Dokter. Dia satu-satunya yang saya miliki sekarang. Tolong Dokter … tolong … “ suaranya semakin lemah. Air mata sudah membasahi wajah Ibu itu. Sila menguatkan genggaman tangan mereka, mencoba memberikan semangat kepada sang Ibu yang terlihat begitu putus aja. Bahu wanita itu bergetar hebat. Memperlihatkan seberapa besar ketakutan dalam dirinya sekarang. “ Mari keluar dulu Bu. Kita tunggu pasien sadar.” Sila yang tidak sampai hati melihat kekalutan pada diri wanita tersebut, akhirnya membawa sosok yang bahkan tidak ia kenal ke ruang kerjanya. Memberikannya minum, sementara ia kembali duduk di balik meja kerjanya. ‘ Hei … aku balik lagi ke sini. Kamu temani aku kerja ya.’ Bisiknya dalam hati pada sosok yang terlihat mendekapnya dari samping sembari tersenyum ke arah kamera. Photo yang ia ambil 6 tahun silam. Tatapan mata Sila kembali pada wanita paruh baya yang masih diam tertunduk dengan kedua tangan terjalin. Wanita itu terlihat meremas-remas tangannya sendiri. Sila mulai berpikir di mana keluarga lainnya ? kenapa wanita itu datang sendirian ? di mana suami, atau mungkin kerabatnya yang lain ? ingin sekali ia bertanya namun pada akhirya ia urungkan ketika sadar dia tidak berhak ikut campur. Dering ponsel membuat Sila segera mengambil benda pipih di dalam kantong snelli yang masih ia pakai. “ Ya halo … “ “ Dokter hari ini tidak buka praktek ya ?” Faisila memang membuka klinik tak jauh dari tempat tinggalnya. Klinik yang ia gratiskan untuk mereka yang tidak mampu mendatangi rumah sakit untuk berobat karena faktor biaya. Dan seharusnya sekarang ia sudah berada di klinik tersebut, kalau saja tidak ada panggilan darurat dari rumah sakit. “ Maaf … saya masih di rumah sakit. Ada keadaan darurat jadi saya belum bisa ke klinik.” Suara desah kecewa dari seberang telepon terdengar jelas. Sila menghela nafas. Ia memang sudah memikirkan untuk mencari partner yang bisa bergantian berada di klinik. Namun tidak mudah mencari dokter yang mau bekerja secara cuma-cuma. Karena Sila sama sekali tidak menarik biaya apapun pada pasien yang mendatangi kliniknya. Tidak biaya pemeriksaan, tidak juga biaya obat. Tentu saja obat yang dia berikan adalah obat-obat generik. Meskipun begitu, apa yang ia lakukan mendapat penghargaan dari warga sekitar. Mereka yang memang tidak dipungut biaya sedikitpun ketika memeriksakan diri tersebut, biasa mendatanginya dengan berbagai macam buah tangan. Dari mulai kue, buah-buahan, bahkan masakan yang sebenarnya dia sendiri jarang makan di rumah. Al hasil ia akan membawa makanan-makanan itu ke rumah sakit, kemudian memakannya bersama teman dokter ataupun perawat yang berjaga bersama dirinya. Sudah setahun terakhir Faisilla memutuskan untuk kembali tinggal di Jakarta, menempati rumah sederhana peninggalan sang Mama. Keinginannya untuk selelau dekat dengan seseorang membuat Sila memberanikan diri hidup mandiri tanpa keluarganya. Eyang, dan sang Papa masih tinggal di Bandung, mengurusi perkebunan teh yang sudah sah menjadi miliknya. Setiap bulan, rekeningnya akan selalu terisi dari bagian keuntungan yang di hasilkan perkebunan teh tersebut. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kebutuhannya. Tak lagi menggantungkan profesi sebagai seorang dokter untuk menghasilkan uang menjadi alasan Dokter berusia 24 tahun itu untuk membuka klinik gratis. Ia ingin bisa membantu warga sekitar yang kurang mampu untuk tetap mendapatkan pengobatan. Tanpa bingung memikirkan bagaimana harus membayar. Sayang sekali tidak banyak Dokter Faisila di negeri ini. “ Anak saya demam Dok.” Suara seorang ibu yang terdengar lemah. Ingin rasanya Sila membelah diri sendiri agar bisa berada di dua tempat sekaligus. Suara ketukan di pintu mengalihkan pandangan Sila. Dokter Bram terlihat memasuki ruangannya, kemudian berjalan mendekat. “ Maaf sudah mengganggu jam istirahatmu, Dokter Fai.” Dokter Bram menghela nafas. Dia baru saja menyelesaikan operasi salah satu pasien. Dokter Faisila mengangguk. Dia segera berpamitan pada siapapun yang sedang menghubunginya setelah menyarankan untuk memberikan obat penurun panas terlebih dahulu, dan bisa datang ke klinik esok pagi sebelum dia berangkat ke rumah sakit. “ Tidak apa-apa Dokter. Sudah resiko pekerjaan kita bukan ?” senyum kecil terbit di bibir pucat Sila. Dokter Bram menjatuhkan tubuhnya di kursi seberang tempat Sila duduk. Jari kanannya mengetuk-ngetuk meja. “ Pasien dari klinik ?” ia mengedikkan dagunya ke arah ponsel yang baru saja Sila letakkan ke atas meja. Sila melirik ponsel tersebut, kemudian mengangguk. Bola mata Dokter Bram menyapu ruang kerja rekan sejawatnya. “ Bagaimana kondisi pasien yang kamu tangani tadi ?” tanya Dokter Bram kemudian. Sila sedikit tersentak. Ia hampir saja melupakan keberadaan seorang Ibu paruh baya yang masih saja terdiam di tempatnya duduk. Seolah sedang sibuk dengan dunianya sendiri, wanita itu hanya mengamati botol air mineral yang berada dalam genggaman tangannya. Dokter Bram menoleh kebelakang, mengikuti arah pandang Sila. kemudian kembali menghadap kedepan sembari bertanya dengan suara yang lebih lirih. “ Siapa ?” Sila mengerjap, kemudian mengarahkan tatapannya kepada Dokter Bram. Pria yang 5 tahun lebih tua darinya. “ Ibu korban.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN