Entah sudah ke berapa kali Rindang menarik napas berat, berusaha agar dirinya tidak kehilangan akal dan berlari kembali ke kantin lalu menjambak rambut ikal Fani hingga gadis itu terjungkal.
Terlebih munculnya seseorang yang paling tidak dirinya sukai di atas bumi yang dia pijak ini, seorang pria bodoh yang mau-mau saja menuruti semua kemauan orang lain hanya untuk menerima predikat baik dari mereka.
Buat apa memangnya pria itu berlari seperti pahlawan dan memasang badan untuk melindungi Rindang? Rindang bahkan tidak pernah mengharapkan sedikitpun akan ada orang lain yang mau bersusah payah membelanya seperti tadi.
Ah, atau itu semua lebih pantas disebut sebagai pencitraan demi bisa membuat karakter baiknya semakin mencolok karena menyelamatkan makhluk dari jenis yang berbeda seperti Rindang?
Rindang mendengus, langkahnya memasuki sebuah bilik di toilet wanita yang berada tidak jauh dari kantin.
Kedatangannya bukan untuk membersihkan tubuhnya yang kotor dengan bau cappucino yang menyengat, melainkan hanya terduduk di atas kloset dengan napas yang tersengal.
Selama dirinya menjalani masa perkuliahan yang sudah berjalan hingga semester tiga ini, sudah banyak perilaku luar biasa yang dia terima dari orang-orang yang tidak menyukai dirinya. Namun sungguh, baru kali ini Rindang menerima perlakukan yang seburuk seperti yang Fani lakukan padanya. Biasanya, Orang-orang hanya akan membiarkan dirinya dari balik punggung, namun tidak pernah menyakiti Rindang secara fisik seperti ini.
Itulah yang membuat Rindang juga kehilangan kontrol dirinya hingga mengirimkan kuah soto yang ia bumbu sedikit sambal pada Fani. Namun bukannya mereka jera dan merasa bersalah, Fani malah nekad hendak menyiramkan air soda padanya yang justru malah mengotori pakaian pria malaikat itu.
Duh, siapa ya namanya? Rindang hanya ingat jika pria itu kerap dipanggil Wan oleh teman-temannya, namun Rindang tidak benar-benar ingat siapa nama pria itu. Dan jika dia ingat dengan betul, pria itu juga yang memuji doodle miliknya di kelas tadi.
"Ck, pasti sekarang semua orang makin benci sama gue karena gue udah nyakitin cowok idola mereka semua," keluhnya pelan.
Bagaimana tidak? Si Wan itu sudah seperti maskotnya jurusan pendidikan sastra Indonesia. Walaupun Rindang memang tidak pernah perduli pada gosip apapun yang beredar di sekitarnya, namun Rindang tahu betul jika pria itu adalah kesayangan semua orang.
Rindang kembali berdecak. Kali ini dia bangun dari atas kloset yang di duduknya kemudian keluar dari bilik. Tubuh tingginya lalu berhadapan dengan cermin lebar di depannya, dan mulai menyalakan air dari wastafel untuk mengurangi noda coklat yang ada di kemeja yang ia kenakan.
"Duh, engga bisa hilang," rutuknya kesal.
Padahal kemeja ini adalah kemeja yang paling dirinya suka karena pemberian dari kakaknya. Namun sekarang nasib kemeja ini sama naasnya dengan nasib perkuliahannya di masa mendatang.
Rindang menyerah, ia memutuskan untuk meninggalkan toilet dan kembali ke kelas selanjutnya. Ia juga sengaja menyiapkan telinga untuk mendengar omongan orang-orang tentang apa yang terjadi tadi dan juga tentang noda besar yang terbentang di bajunya.
Andai saja dirinya punya waktu untuk pulang, pastilah Rindang akan dengan senang hati membenahi penampilannya yang kacau balau. Sayangnya rumahnya jauh dari kampus dan hanya tersisa satu kelas sehingga Rindang memutuskan untuk bersabar sedikit lagi, hanya sedikit lagi.
Ketika langkahnya yang tanpa gairah hidup itu kembali menapaki ruangan kelas, dari radius lima puluh meter Rindang sudah bisa mendengar bisikan yang sudah khatam sekali ia dengar.
Rindang adalah ahlinya untuk menjadi tuli, dia hanya berjalan lurus seakan tengah mengenakan kacamata kuda, melewati barisan bangku yang sudah hampir terisi penuh.
Dia sangat tahu bahwa hampir semua orang menghindari untuk duduk di depan, maka dari itu dia sengaja selalu memilih bangku barisan depan agar tidak perlu mendengar interaksi tidak penting yang sering kali terjadi saat jam kuliah.
"Ini.."
Rindang pikir dia hanya salah dengar saat ada suara yang terdengar begitu dekat, atau asumsi lainnya adalah mungkin saja seseorang sedang berbicara dengan orang lain yang duduk tidak jauh darinya.
"Rindang, ini.."
Tapi dia kemudian langsung menoleh dan mengangkat kepalanya saat namanya kemudian disebut.
Hampir saja dia mendengus keras saat mendapati lagi-lagi pria bernama Wan itu sudah berdiri di samping tempat duduknya. Ditambah, pria itu menyerahkan sebuah cardigan dengan warna terang yang masih terlipat kepadanya.
"Apa?" tanya Rindang pada akhirnya.
Padahal dia sudah bertekad untuk tidak berbicara apapun pada pria ini, namun kali ini dia melanggar batasnya.
Pria itu tersenyum tipis yang malah membuat Rindang mengerutkan keningnya.
"Kamu pakai ini buat nutupin kemeja kamu yang kotor itu," kata pria itu.
"Kok ngatur?" tanya Rindang cepat. Dia lalu menyesali ucapannya saat kemudian suasana kelas menjadi semakin hening saat mendengar ucapannya.
Pria di depannya juga tampak terkejut sebelum kemudian tertawa kecil.
"Bukan ngatur sih, tapi...iya juga sih. Kayaknya saya salah milih kata-kata dan malah terdengar mengatur," ujarnya pelan.
Rindang semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan pria ini. Dia sendiri sudah tidak nyaman karena kini mereka berdua menjadi objek perhatian semua orang.
"Baju kamu kotor dan kita masih ada kuliah, jadi karena nodanya terlalu terlihat alangkah baiknya kalau bisa kamu tutupi. Kebetulan saya punya kenalan yang mau minjemin saya sweater perempuan," terang pria itu.
Rindang bergeming, matanya hanya terus menatap ke arah cardigan yang masih dipegang oleh pria di depannya. Entah darimana pria ini mendapatkan cardigan perempuan hingga bisa meminjamkan padanya.
"Engga usah, makasih," tolak Rindang.
Dia sudah akan menunduk kembali pada buku yang ada di depan matanya saat kemudian sebuah sorakan dari belakang terdengar.
"Tuh kan, memang orangnya engga bisa dibaikin. Padahal Awan udah sampai minjem ke kating karena kasihan ngeliat baju dia yang kotor."
Sebuah suara berat pria itu kemudian menjadi seperti minyak yang disiramkan ke atas api, membuat semua orang langsung bertubi-tubi mengomentari tingkah Rindang.
Rindang tidak terganggu, dia malah melirik ke arah pria itu yang menatap jengah pada seorang pria lain yang tadi mengatai dirinya. Yang menjadi fokus Rindang adalah apa alasan pria yang sekarang Rindang tahu bernama Awan ini, sampai meminjam cardigan dari kakak tingkat mereka? Kasihan? Cih!
"Sat, saya udah bilang jangan ngomonh sesuatu yang enggak-enggak," tegur nya.
Bersedih pelan, Rindang kemudian mendorong cardigan yang ada di atas meja nya.
"Sebelumya gue mau bilang makasih karena lo udah mau susah payah minjemin cardigan ini walaupun gue engga tahu apa alasan lo ngelakuin ini. Tapi gue engga bisa terima kebaikan lo, dan gue juga engga mau kalau sampai yang punya cardigan ini nantinya malah jadi batu karena gue yang pakai cardigan punya dia," kata Rindang dengan nada sedikit lelah.
Dirinya tidak tahu mengapa belakangan eksistensinya menjadi melonjak tajam padahal tidak banyak hal yang dia lakukan. Dan yang lebih mengherankan adalah kenapa semua orang jadi bersemangat untuk ikut mengata-ngatai dirinya?
Tanpa dia duga, kalimatnya yang mungkin akan disambut senyum miring oleh orang lain atau cibiran penuh kebencian, malah disambut tawa geli oleh Awan.
Rindang tidak bisa untuk tidak penasaran, dia mendongak lagi, memperhatikan pria itu yang kini menutupi mulutnya dengan tangan.
"Maaf," ujar Awan. Dia sempat memalingkan muka dan berdeham, sebelum kemudian menoleh kembali pada Rindang.
"Enggak tahu kenapa ucapan kamu tadi itu terasa lucu, saya enggak tahu kalau ternyata kamu suka bercanda," lanjutnya.
Rindang melongo, bercanda katanya? Darimana yang tampak seperti candaan bagi pria itu?
"Gue---"
"Kamu tahu kan siapa dosen yang akan masuk, saya yakin kamu akan langsung disuruh pulang kalau sampai beliau lihat bagaimana kotornya pakaian kamu."
Rindang kemudian ingat jika dosen yang akan mengejar sebentar lagi adalah seorang perawan tua yang sangat menjujung tinggi kebersihan dan kerapihan. Maka ucapan Awan tidak diragukan lagi kebenarannya.
Dan Rindang juga ingat bahwa beberapa saat lalu bukan hanya dia dan Fani saja yang memakai pakaian kotor, tapi Awan juga. Namun kini pria itu sudah berganti pakaian dan terlihat lebih rapih dari sebelumnya.
"Pakai saja. Nanti besok kamu bisa bawa lagi supaya saya bisa langsung balikin ke orangnya."
Usai mengatakan itu, Awan langsung berlalu ke arah belakang di mana dia biasanya duduk.
Sedang Rindang masih menatap cardigan yang tergeletak di atas meja, yang terlipat begitu rapih dan menguarkan bau wangi. Sempat ia menoleh ke belakang, melihat Awan yang sudah berbicara dengan orang-orang yang duduk mengelilingi nya.
Kemudian dengan memantapkan hati, Rindang membuka lipatan itu dan memakai cardigan yang terasa mencolok di tubuhnya. Dia tidak punya pilihan lain karena kuliah ini penting untuk nilainya, sehingga walaupun kemudian banyak yang berbisik mengatai dirinya yang sok jual mahal dan sok gengsi, Rindang tidak perduli.
Dia hanya perlu mencucinya saat pulang nanti dan kemudian mengembalikannya esok hari pada Awan.
Kembali menoleh ke arah belakang, kini tatapan nya bersirobok dengan Awan yang otomatis tersenyum padanya.
Cepat-cepat Rindang membalikkan badan. dia merasa takjub dengan reflek pria itu yang langsung tersenyum saat bertatapan dengan orang lain.
Melihat manusia yang sejenis Awan, Rindang jadi menyadari jika di dunia ini ada manusia yang berasal dari jenis berbeda darinya.
Bagai dua sisi mata koin, dirinya dan Awan tidak memiliki kecocokan sama sekali. Dan dia yakin ke depannya, popularitas Awan akan semakin meningkat karena sudah mengasihani dan menyantuni orang menyedihkan seperti Rindang.
Dan ke depannya juga, akan banyak yang semakin membenci Rindang karena dinilai sudah menyulitkan Awan.
Rindang tanpa sadar berdecak, dia langsung membenarkan duduknya saat dosen yang akan mengisi kuliah hari ini akhirnya memasuki ruangan. Sebisa mungkin Rindang langsung menutup semua kancing yang ada di cardigan nya, agar noda coklat yang ketara di atas kemeja hijaunya itu dapat tertutup seluruhnya.
Mungkin untuk sekali lagi dirinya perlu berterimakasih pada Awan yang sudah mau memikirkan dirinya yang hidup dengan menyedihkan ini.
**