5. Dia yang menarik

1628 Kata
"Kebaikan lo udah keterlaluan, Wan. Orang yang enggak tahu terimakasih kayak dia harusnya enggak lo baikin, percuma." Mata Awan teralih dari sosok Rindang yang sudah mengenakan cardigan yang tadi dibawakannya. "Engga ada yang percuma, semua kebaikan berlaku untuk semua makhluk hidup. Rindan itu... lebih banyak dapat perlakuan buruk dari orang lain, jadi dia merasa takut menerima kebaikan orang lain, takut kalau dia harus melakukan sesuatu buat menggantinya," sanggah Awan. Dia tidak mengerti kenapa semua orang tidak menyukai Rindang hanya karena Rindang memilih bersikap tegas pada semua orang. Memang apa salahnya selama Rindang tidak merugikan orang lain? Dan apa untungnya bagi semua orang yang selalu merendahkan dan menggunjing Rindang? Lagipula, menurut Awan Rindang adalah sosok yang luar biasa dengan tinggi badannya itu. Juga proporsi badannya yang tidak kurus, yang Awan yakin akan mudah membanting seorang pria dengan bobot normal seperti Satrua misalnya. Gadis itu menarik dengan semua yang ada di dalam dirinya. "Dia itu bukannya sulit menerima kebaikan orang lain, tapi emang dasarnya enggak tahu terimakasih aja. Apa susahnya tadi langsung nerima pemberian lo dan enggak usah drama?" balas Satria lagi. Awan memilih untuk berhenti membalas. Dia sangat tahu jika berbicara dengan seseorang yang jelas tidak suka dengan sesuatu, maka akan berakhir dengan percuma. Berapa banyak pun Awan berusaha membuka mata Satria jika Rindang memang tidak seburuk apa yang dia lihat, pada akhirnya Satria akan selalu mengulang asumsi yang sama untuk mematahkannya. Dosen di depan mulai mengabsen secara manual, ketidakhadiran Fani menjadi sebuah masalah kala Dosen yang terkenal perfeksionis itu mulai berdalih jika Fani bisa saja tidak lulus dan harus mengulang mata kuliahnya karena tidak hadir. Awan lantas menoleh pada bangku Fani yang sesaat lalu membuat keributan bersama dengan Rindang, sepertinya gadis itu tidak berani masuk dengan penampilan yang juga kotor sama seperti dirinya dan Rindang, seharusnya Awan tidak hanya meminjam satu cardigan saja tapi dua cardigan agar bisa dia berikan pada Fani juga. Tapi kemudian semua asumsinya terpatahkan saat Satria meminta dirinya menunduk, menatap ke arah ponsel pria itu yang ada di bawah meja. Layar menyala itu menampilkan laman sosial media milik Satri yang menapilkan foto Fani bersama dengan pacarnya di sebuah cafe, baju gadis itu sudah berganti dengan baju baru. Dan waktu yang tertera adalah setengah jam yang lalu. "Dia enggak sadar-sadar kalau cowoknya itu cuma morotin dia doang," bisik Satria. Awan hanya memasang senyum tipis. Sesaat dirinya khawatir ketika melirik ke arah depan dimana Rindang sedang duduk dengan tenang memperhatikan penjelasan dari dosen. Jika tidak salah jangka waktu mengumpulkan tugas yang diberikan oleh Rindang pada Fani adalah sore ini, bagaimana jadinya kalau Fani masih tidak mengirimkan tugasnya karena sibuk berkencan dengan pacarnya? Awan yakin akan terjadi keributan yang sama seperti kemarin dan hari ini. Maka seusai kelas berakhir, bukannya langsung keluar untuk pulang, Awan justru buru-buru mendekat ke arah Rindang yang masih menunggu kelas kosong untuk kemudian keluar. "Rin.." panggil Awan. Gadis itu menoleh, tatapan datarnya masih sering kali membuat Awan merasa canggung. "Mau ambil jaketnya? Tap mau gue cuci dulu," tanya gadis itu. Awan menggeleng, "Bukan. Saya mau ngomong sesuatu," bantahnya. Dia sempat memperhatikan seisi kelas yang sudah benar-benar sepi, kemudian menatap Rindang dengan pandangan ragu. Entah kenapa dia punya firasat buruk kalau apa yang akan dia katakan tidak akan mendapatkan respon yang baik dari gadis di sepannya. "Soal tugas Fani.. kayaknya Fani juga engga akan bisa ngumpulin tugasnya sore ini," ujarnya kemudian. Awan sempat menyadari ada kerutan samar di wajah gadis itu. "Terus?" "Kalau boleh, biar saya aja yang ngumpulin tugas dia. Soalnya--" Belum genap kalimatnya, Rindang sudah lebih dulu tertawa meremehkan. Tatapan mata gadis itu berubah dan malah membuat Awan merasa tidak nyaman. Seakan Rindang sudah bisa menebak apa maksudnya walaupun Awan belum menyampaikan dengan benar. "Lo enggak capek ya selalu mikirin urusan orang lain? Gabut banget sampai-sampai mau ngerjain tugas orang lain?" Tersentak, Awan gagal membuka mulutnya untuk membantah ucapan dari Rindang. Gadis itu sudah lebih dulu kembali bicara. Katanya, "Dengan lo yang selalu ngalah dan bantuin semua orang, itu tuh malah bikin mereka manja dan meremehkan segala sesuatu. 'Toh ada Awan, tinggal minta tolong dia.' 'Awan pasti mau lah kalau cuma ngerjain tugas gue yang sedikit, dia kan baik.'. "Lalu gadis itu bergerak melipat kedua tangannya di d**a, menatap Awan dengan senyum miring. "Bahkan bayi aja dilepas pas belajar jalan, kenapa lo masih ngemong mereka dengan semua kebaikan lo? Niat lo mungkin baik, tapi efeknya engga baik buat hidup mereka ke depannya. Karena selanjutnya setelah kalian sama-sama lulus, mereka akan sibuk cari orang yang mirip sama lo di tempat mereka kerja, yang bisa mereka manfaatkan." Awan bergerak menyingkir saat Rindang kemudian keluar dari celah antara bangku dan juga kursi. "Sesuai kesepakatan yang udah gue buat bareng sama cewek itu, kalau dia engga ngerjain tugasnya sampai sore ini maka namanya engga akan ada di daftar kelompok," ujar Rindang untuk terakhir kali. Kemudian gadis itu pergi tanpa pamit, meninggalkan Awan yang terdiam memikirkan semua ucapan Rindang. * "Wan, Abang mau pinjem laptopnya dong." Bergumam pelan, Awan hanya menunjukkan tempat dimana dia menyimpan laptop dengan telunjuknya. "Kenapa sih? Kok kayak engga semangat gitu?" Awan hanya menghela napas pelan saat menerima pertanyaan dari kakaknya. Dia pikir kakaknya akan langsung pergi karena dia yang tidak menanggapi pertanyaannya, namun Langit malah mengambil duduk di meja belajar Awan dengan posisi duduk yang terbalik. "Berantem sama Permata ya?" tanya Langit lagi. Berdecak kesal, Awan langsung bangun dari posisi tidurnya. "Dibilangin aku engga ada hubungan apa-apa sama Permata, kenapa sih Abang masih mikir kalau aku sama dia pacaran?" sungutnya kesal. Langit tertawa, tangannya menyugar rambut gondrongnya itu kemudian. "Ya kan cuma nanya, lagian kamu ditanya malah engga jawab," kilahnya santai. Awan menggeleng heran melihat tingkah laku kakaknya yang selalu ingin tahu urusan orang lain itu. "Enggak ada, aku cuma lagi mikirin sesuatu," kata Awan kemudian. Dia masih terpikirkan tentang ucapan Rindang di kampus tadi. Sejujurnya Awan juga sadar jika banyak sekali teman-temannya yang memanfaatkan semua kebaikannya, namun Awan pikir itu hanya sebagai bentuk pertemanan yang dia tunjukkan dan karena Awan tidak ingin melihat ada yang kesulitan karena kekurangan nilai. Tapi Rindang bilang jika itu akan membawa efek buruk bagi mereka yang tanpa sadar akan bergantung dan meremehkan tanggung jawab mereka sendiri. "Masalah kampus? Nilai? Teman?" Baru sadar jika kakaknya masih berada di dalam kamarnya, Awan kemudian mengangguk yang malah membuat kakaknya itu berdecak kesal. "Kamu tuh ngangguk buat pertanyaan yang mana?" Awan tertawa, ikut menyugar rambutnya yang sudah panjang sebatas tengkuk, dia selalu lupa untuk memotong dan merapikan rambutnya karena terlalu sibuk dengan tugas kuliah. "Soal teman. Aku selama ini berusaha bantu teman-teman sekelas yang mungkin kesusahan dengan tugas mereka, tapi ada satu orang yang bilang kalau niat baikku itu salah, Bang. Katanya karena aku selalu mengambil alih tugas mereka pas mereka engga bisa kerjakan, yang ada nantinya mereka malah meremehkan tanggung jawab mereka dan otomatis mencari orang lain yang setipe dengan aku saat mereka sudah lulus dan masuk ke dunia kerja." Tanpa sadar Awan sudah menceritakkan masalahnya pada Langit padahal sebelumnya dia tidak berniat untuk bercerita. Sesaat Langit hanya diam, dari keningnya yang berkerut itu, sepertinya kakak Awan itu sedang memikirkan cerita adiknya. "Benar juga sih, terlalu menerima kebaikan itu juga jadinya engga baik. Mereka nantinya jadi terlalu mengandalkan kamu," katanya kemudian. Awan langsung terdiam saat apa yang ciucapkan oleh kakaknya sama persis dengan yang dikatakan Rindang. "Terus aku harus gimana? Diam aja walaupun aku tahu kalau mereka butuh bantuanku?" tanya Awan lebih kepada dirinya sendiri. "Ya kalau memang teman kamu benar-benar butuh ya kamu memang harus nolong, tapi kalau kenyatannya mereka sebenarnya bisa mengerjakan sendiri tapi berlagak sok sibuk dan mengaku susah, kamu cukup kasih tahu cara mengerjakannya, bukan malah kamu yang kerjakan," saran Langit. Mengangguk pelan, Awan sepertinya mulai mengerti kenapa Rindang mengkritik semua tindakannya selama ini yang terkesan memudahkan permintaan tolong dari orang lain. Karena Awan tidak ingin ribet harus menunggu orang lain mengerjakan tanggung jawabnya sendiri di saat orang itu terlihat tidak ada niat mengerjakannya, maka Awan terbiasa mengambil alih semuanya agar tetap berjalan lancar sebagaimana mestinya. "Lagian kamu kok kayak orang enggak ada kerjaan sih, Dek. Ngapain juga kamu selalu bantuin semua orang? Capek tahu!" Lagi-lagi Awan tertegun sendiri saat memndengar ucapan kakaknya. Kenapa semua ucapan Langit sama dengan Rindang, sehingga Awan malah merasa bahwa hanya dirinya sendiri yang bodoh karena tidak berpikiran sama. "Udah ya, ini laptopnya Abang pinjem dulu. Engga ada rahasia kan di dalamnya?" Mendengar pertanyaan kakaknya, kening Awan mengerut samar. "Rahasia apa?" tanyanya polos. Kakaknya itu tersneyum miring sambil menenteng laptop milik Awan. "Rahasia lelaki, blue film, misalnya?" Mata Awan melebar, dia berbalik cepat untuk meraih bantal dan kemudian melemparkannya pada Langit hingga Kakaknya itu bergeser untuk menghindar. "Jangan samain otak bersih aku sama otak mesm Abang!" pekik Awan saat Kakaknya sudah berlari keluar dari kamar. Dia mendengus, lalu dengan sendirinya mengambil kembali bantal yang tadi terjatuh saat dia lempar. Kembali mengambil posisi berbaring, Awan kemudian merasa penasaran akan sesuatu. Dia menggapai ponselnya dengan memanjangkan tangan ke arah lemari kabinet yang ada di sebelah tempat tidurnya. Dibukanya grup jurusan yang selama ini menjadi teman dibaginya info jurusan oleh ketua jurusan. Tujuan Awan bukan untuk melihat adakah info baru di dalam grup itu, karena pada kenyataannya berbanding terbalik dengan deskripsi grup, grup jurusan lebih sering dijadikan sebagai wadah pertukaran gosip antar mahasiswa. Awan membuka bagian info grup, tertuju pada anggota grup yang luar biasa banyaknya. Dia meringis, sepertinya perkataan Kakaknya dan juga Rindang ada betulnya tentang Awan yang tidak memiliki kerjaan hingga saat ini saja dia dengan sabar menscroll layar menurun untuk membaca satu-persatu nama anggota yang tergabung dalam grup jurusan. Menghabiskan beberapa waktu saat kemudian Awan tersenyum tipis menemukan satu akun yang menggunakan gambar kaktus sebagai foto profilnya. Seseorang yang namanya tidak pernah terlihat ada di dalam obrolan grup jurusan, dengan nama akun hanya satu huruf, R. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN