6. Marahnya Medusa

1600 Kata
Baru pukul lima subuh saat Rindang sudah berada di dapur, mengolah bahan masakan yang sudah dirinya persiapkan sejak semalam. Di rumah yang luas dan nyaman karena berada di pinggiran kota ini, tidak pernah ada obrolan hangat yang biasanya ada di dalam sebuah keluarga. Rindang terbiasa hanya mendekam di dalam kamar, mengerjakan tugas sambil mengerjakan tugas. Kalaupun ada obrolan yang terjadi antara Mama dan Papanya, maka tidak akan ada tempat yang bisa dimasuki oleh Rindang yang hanya orang luar. Maka ia terbiasa melakukan semuanya sendiri. Bahkan makanan yang dia masak saat ini juga biasanya hanya disantai oleh dirinya. Papanya akan lebih memilih makan di kantor, sedangkan Mamanya yang saat ini sedang sakit hanya akan makan satu kali sehari, selebihnya akan menghabiskan banyak waktu untuk tidur di kamar. Rindang mengangkat sendok makan yang sudah berisi kuah sup yang masih mengepul, ditiupnya pelan sebelum kemudian mendekatkan ke arah mulutnya. Matanya mengerjap pelan, mencoba merasakan adakah yang kurang dari masakannya. Saat dirasa semuanya sudah sesuai dengan selera lidahnya, Rindang langsung mematikan kompor. Kemudian langkahnya berbalik kembali ke arah kamar, Dia ada kuliah pagi dan harus berangkat sebelum jam setengah tujuh agar bisa sampai tepat waktu di kampus. Bergegas dirinya mandi, mengenakan kaos dan celana jeans hitam kemudian menyisir rambut kecoklatannya dan mengikatnya tinggi. Ketika dia keluar kamar, dia menemukan Papanya yang sedang berjongkok di tempat penyimpanan sepatu. "Mau berangkat, Pa? Engga sarapan dulu?" tanya Rindang basa-basi. "Enggak, ada rapat," jawab Papanya itu tanpa mengangkat pandangan sedikit pun dari sepatu yang sedang dikenakannya. "Uang buat bayar kuliah kamu, udah Papa transfer," lanjutnya lagi. Rindang mengangguk, walau dia tahu Ayahnya tidak akan bisa melihat anggukan yang diberikannya itu. Toh tidak ada bedanya, karena setelahnya Ayahnya langsung keluar dari rumah tanpa mengatakan apapun lagi. Dengan senyum yang meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saa, Rindang berjalan kembali ke arah dapur untuk sarapan. Sebelum menyantap makan paginya, Rindang sengaja menyalakan musik dari ponsel miliknya, memecah hening yang ada di rumah itu. Tidak banyak waktu yang dia buang untuk mengabiskan makanannya, dia langsung mencuci piring bekas makannya sendiri sebelum kemudian berjalan ke arah tempat sepaunya diletakkan. "Ma, Rindang berangkat!" serunya yang tidak mendapatkan jawaban. Rindang tidak masalh juga dengan itu walau dulu saat pertama pindah ke rumah itu dirinya sering kali menangis diam-diam karena merasa diabaikan, namun sekarang dia sudah sangat paham tentang kondisinya apalagi semenjak ada kejadian itu dimana suasana rumah benar-benar mati. Mengendarai sepeda gunung milik kakaknya, Rindang menyusuri jalanan yang sudah padat dengan para pekerja yang juga berburu dengan waktu sama sepertinya. Jarak rumanya dan kampus hanya tiga puluh menit dengan sepeda, namun kada Rindang menemui kesulitan jika hari hujan karena dia harus sangat berhati-hati agar pakaiaan yang dia kenakan tidak terciprat air genangan yang terlindas pengendara lain. Memarkirkan sepedanya di barisan paling pojok, Rindang lebih dulu merapikan rambutnya  sebelum kemudian melangkah masuk ke arah kelasnya hari ini. Baru saja dirinya masuk dan duduk di tempat biasa, dua orang kemudian sudah berdiri di samping mejanya. "Gue tadi pagi udah kirim tugas yang gue janjiin, kemarin sore engga sempat karena gue keluar." Tanpa mengangkat pandangan, Rindang tahu betul siapa yang berbicara. Tapi dia penasaran terhadap satu orang lagi yang berdiri di samping Fani. Ketika dia mendongak, dia baru menyadari jika itu pacar dari Fani. "Fani kemarin nemenin gue latihan Band jadi engga sempat kirim tugasnya ke lo, sorry," kata pacar Fani kemudian. Rindang tidak bereaksi, dia langsung memutar kembali kepalanya ke arah depan. "Engga bisa, soalnya hasil tugas finalnya udah gue print dari semalam dari semua bahan yang dikirim sama anggota kelompok yang lain. Jadi sesuai perjanjian nama lo engga ada di daftar kelompok," balas Rindang. BRAK! Untungnya Rindang sudah sering mendengar suara yang lebih keras dari sekedar gebrakan meja sehingga dirinya sudah tidak kaget saat kemudian pacar Fani menggebrak meja tempat duduknya dengan kencang. "Gue sama cewek gue udah minta maaf karena telat ngasih tugas, gue bahkan ikut datang kesini karena mau kasih penjelasan supaya lo ngerti. Tapi ternyata lo emang seburuk yang gue denger ya, lo engga punya hati," caci pria itu terhadap Rindang. Rindang menghela napas pelan, "Iya, gue emang begitu jadi lo engga usah kaget karena gue engga bisa nerima tugas lo dan coret nama lo dari daftar kelompok," jawabnya santai. "Rin, gue minta maaf tapi tolong masukin bahan gue dan nama gue di kelompok lo, biar gue yang print ulang tugasnya," pinta Fani memohon. Tapi Rindang tidak meladeni ucapan gadis itu dan malah mengeluarkan buku sketsanya. Tindakannya itu memancing emosi kekasih Fani yang kemudian dengan kasar menendang kursi yang diduduki oleh Rindang dengan keras hingga Rindang hampir saja terjatuh ke bawah kalau saja dia tidak berpegangan pada pinggiran meja. Semua orang yang ada di ruangan itu memekik terkejut. "Cewek sialan! Cewek gue udah sampe mohon-mohon begitu tapi lo masih engga mau kasih kesmepatan!" teriak pria itu marah. Rindang berdiri dalam diam, dia memejamkan mata. Berusaha mengingatkan dirinya bahwa dia berkuliah dengan dana dari orang tua yang masih menganggapnya asing, maka seharusnya Rindang tidak mencari masalah dan menerima saja semua ucapan buruk semua orang padanya. "Lo itu cuma cari perhatian dengan sok jadi galak dan sok jadi jahat, suapaya apa, hah? Supaya kelihatan keren? Cih! Dasar cewek murahan!" Hanya sedetik setelah kalimat itu terdengar, kesabaran Rindang sudah lenyap seluruhnya. Dia bergerak cepat mendekat ke arah kekasih Fani, menarik satu tangan pria itu kemudian membantingnya ke lantai hingga menciptakan suara jeritan yang lebih keras di dalam ruangan. Yang paling keras menjerit tentu saja Fani yang terkejut jika kekasihnya bisa dibanting semudah itu olehnya. "Kalau gue yang bahkan enggak pernah pacaran, engga pernah deket sama lawan jenis aja lo sebut sebagai cewek murahan, terus cewek lo yang setiap hari ngikutin lo kemana-mana sampai lupa sama tanggung jawabnya itu, lo sebut apa?" desis Rindang. Dengan mudah dia menggeser tubuhnya saat pria yang sudah bangun itu berusaha menonjoknya dengan tanpa pikir panjang. Rindang tersenyum miring saat tubuh pria itu oleng karena tidak mengenai sasarannya, hampir menabrak papan tulis yang tidak bersalah. "Lo sendiri yang minta waktu sampai sore, terus sekarang lo dan cowok lo yang sampah itu berusaha playing victim lagi dan berniat menyalahkan gue?" Rindang berjalan mendekat ke arah Fani yang menangis sambil membangunkan kekasihnya. "Dengerin ya, gue enggak bodok sampai harus lo bodoh-bodohin kayak gitu. Dan yang paling penting, gue engga perduli pandangan orang lain jadi apapun yang lo lakuin buat bikin gue tampak buruk di depan orang-orang, itu engga akan ngaruh ke gue." Usai mengatakan itu, Rindang langsung duduk di tempatnya kembali seakan tidak pernah ada yang terjadi. Sedang Fani langsung memapah kekasihnya keluar dari kelas dan membuat kelas menjadi riuh setelahnya. Dari yang Rindang dengar, masih banyak yang berusaha menyalahkannya karena dia yang sudah melakukan kekerasan terhadap kekasih Fani, namun ada sedikit orang yang mulai memandang situasi dengan kacamata yang benar. Mereka menyalahkan Fani yang tidak menepati janjinya dan malah memilih menemani pacarnya latihan band. srrkk Rindang reflek menoleh saat terdengar suara tas yang diletakkan di atas meja oleh seseorang yang kini duduk di sebelahnya. Ia berdecak pelan saat lagi-lagi si malaikat itu duduk di sampingnya tanpa permisi. Namun Rindang sudah tidak memiliki tenaga untuk pindah tempat duduk setelah tadi berusaha keras membanting tubuh kekasih Fani yang cukup berat. "Nih, minum. Pasti capek banget," ujar Awan dengan menggeser sebotol air mineral ke arahnya. "Enggak haus," tolak Rindang langsung. Dia membiarkan air itu berada di tengah antara dirinya dan Awan. Lalu kemudian dia teringat tentang cardigan yang dipinjamkan oleh Awan padanya. Membalikkan tubuh, Rindang mengeluarkan cardigan yang sudah dia cuci bersih dan wangi itu kepada Awan. "Makasih," ucapnya dengan nada datar. "Iya, sama-sama," kata Awan membalas ucapannya. Rindang pikir pria yang duduk di sampingnya itu akan kembali banyak bicara dan bertanya seperti sebelumnya, namun ternyata tebakan Rindang salah saat beberapa waktu kemudian Awan hanya diam dengan tenang di sampingnya. Sempat Rindang melirik sekilas pada pria yang hari ini mengenakan kemeja coklat khaki dengan garis-garis itu, namu menemukan jika pria itu sedang menyangga sebuah buku novel fantasi terjemahan yang tebalnya membuat Rindang merasa sakit kepala. Dia mengabaikan saja tingkah pria itu, toh kalau pun dia meminta agar Awam pindah tempat duduk, pria itu tidak akan mau. Pasalnya bahkan sudah sejak tadi teman pria ini memanggil namanya berulang kali, meminta Awan untuk pindah namun Awan hanya membalasnya dengan senyum tipis dan kibasan tangan. "Pada akhirnya kamu benar-benar menghapus nama Fani dalam daftar kelompok kamu," ujar Awan tiba-tiba. Rindang tidak menoleh, dia hanya sibuk dengan sketsa yang ada di depan matanya. "Kan gue udah peringatin ke dia, bahkan disaksiin sama banyak orang termasuk lo." "Iya, dan kali ini saya tahu kalau dia memang salah." Gerakkan tangan Rindang sempat terhenti saat mendengar ucapan Awan. Dia menoleh, bertemu pandang dengan Awan yang tersneyum tipis. "Saya tahu kalau ucapan kamu yang kenarin itu memang benar, mereka enggak punya tanggung jawab dan berharap ada orang yang berbaik hati mengambil alih tanggung jawab mereka. Jadi tindakan kamu tadi engga salah, walaupun seharusnya enggak sampai buang tenaga kamu buat banting pacarnya Fani." Dengan tatapan datar yang selama ini menjadi andalannya, Rindang menatap lurus pria yang duduk di sampingnya itu. Ternyata Awan juga sudah datang saat Rindang beratraksi dengan membanting pria j*****m tadi karena terlalu marah. Dia memang yatim piatu, namun selama ini tidak ada yang sampai berani mengatainya sebagai perempuan murahan. Karena menurut Rindang itu adalah ucapan nista yang bahkan tidak layak dikatakan kepada semua wanita di dunia ini bagaimana pun kelakuan mereka, itu lah kenapa Rindang gagal menahan diri dan bergerak sesuai kata hatinya. "Bukan urusan kamu," tukas Rindang ketus. Awan malah tertawa, lelaki itu meletakkan buku yang tadi dipegangannya. "Ternyata memang benar dugaan saya," gumam lelaki itu lirih sekali. Walau penasaran dengan maksud ucapan Awan, namun Rindang tidak ingin bertanya. Tidak akan. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN