bc

The Lady of Emperor Zhao

book_age18+
992
IKUTI
4.8K
BACA
one-night stand
age gap
pregnant
goodgirl
drama
bxg
another world
betrayal
secrets
shy
like
intro-logo
Uraian

Ketika Kerajaan diramal akan terkena kutukan karena wanita tercantik. Akankah Liu wei membawa senja pada masa kejayaan Kekaisaran Liyingyue yang dipimpin Kaisar Zhao?

Hubungan Liu wei yang rumit bersama Kaisar Zhao dan Pangeran Lian.

Liu wei gadis desa yang kecantikan wajahnya menjadi rebutan para lelaki, seakan menjadi mala petaka.

Liu wei hidup di istana dengan menjadi 'wanita kesayangan Kaisar' yang mendatangkan segala persoalan rumit.

Konflik dan konspirasi pun bergolak untuk mengusir Liu wei dari istana. Apa yang akan Kaisar lakukan untuk melindungi 'Wanita Kesayangan'nya??

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1
“Paman! Bibi! Awas!” sebuah teriakan gaduh terdengar nyaring bersamaan dengan gerombolan bebek yang berlarian di jalanan pemukiman warga. Jalanan kering dan berdebu dari tanah merah. Orang-orang yang berada di jalan segera minggir dan memberikan jalan bagi segerombolan bebek dan juga seorang gadis yang sangat cantik yang berlari menggiring bebek. “Weiwei, hati-hati!” teriak salah seorang pria paruh baya sambil menggelengkan kepalanya. “Iya, paman!” balas Weiwei dengan nada ceria. Liu Wei, gadis yang tumbuh begitu cantik dan memesona. Memiliki tubuh indah idaman setiap wanita, dengan pinggul yang sekal, pinggang sangat ramping dan d**a yang besar namun padat. Semua wanita di desa itu merasa iri akan keindahan tubuh dan kecantikan wajahnya, banyak orang yang mengatakan jika Liu Wei titisan para dewi. Dengan mata bulat dan cokelat terangnya, rambut hitam sepekat malam, dagu ramping dan bibir mungil. “Ya ampun Liu Wei! Gadis ini benar-benar, kau sedang apa berlarian menggiring bebek?” seorang wanita dewasa dalam pakaian yang lusuh, datang menghalangi Liu Wei. “Mama, aku sedang menggiring bebek milik paman Hong, nanti dia memberiku upah,” balas Liu Wei. “Weiwei, kau ini seorang gadis. Kau jangan melakukan pekerjaan ini,” kata sang ibu. “Ayo, pulang!” Liu Wei merengutkan wajahnya yang cantik dan manis, mengikuti sang ibu yang menyeret tangannya di jalanan pemukiman. Berpasang-pasang mata tak hentinya menatap Liu Wei, terutama para pria dan pemuda. Seakan terhipnotis dengan kecantikan Liu Wei. Bahkan kecantikannya sudah terkenal sampai desa-desa lain, hingga begitu banyak pria kaya berdatangan untuk mempersuntingnya. Sambil berjalan mengangkat hanfu yang dikenakannya terseret di tanah, Liu Wei masih merengutkan wajahnya karena ia kehilangan upahnya hari ini. Liu Wei bisa dikatakan gadis yang tangguh. Mengangkat ember air, membawa kayu bakar dari kaki gunung sudah menjadi kebiasaannya. Ketika mereka berjalan, semua warga seketika minggir dan mengosongkan jalan. Membuat Liu Wei dan ibunya ikut minggir dan berdiri di pinggir jalan. Suara derap langkah kuda dan debu dari tanah melingkupi tempat itu, membuat Liu Wei menyipitkan matanya. Rombongan pria berkuda dalam pakaian biasa, melewati mereka. Ketika rombongan berkuda itu melewati Liu Wei, satu pria yang mengepah kuda paling depan menoleh, menatapnya. Liu Wei balas menatapnya hingga tatapan mereka beradu. Pria itu memakai penutup kepala dari anyaman bambu, dan sebelah wajahnya di tutupi topeng dari emas, hingga Liu Wei tak bisa menatap matanya yang sebelah kanan. Mata itu sangat tajam dan dingin, berwarna hitam pekat. “Weiwei!” ibu Liu Wei menyenggol bahunya karena gadis itu masih menatap rombongan kuda yang menjauh. “Mereka siapa, mama?” tanya Liu Wei. “Entahlah, sepertinya rombongan dari kota,” jawab ibunya. Liu Wei dan ibunya pun kembali melanjutkan langkah mereka, untuk tiba di rumah kecil mereka. Di sepanjang jalan semua orang membicarakan rombongan berkuda tadi, terutama pria paling depan yang sebelah wajahnya ditutupi topeng. Hal itu membuat Liu Wei tertarik ingin mendengarnya. “Sepertinya mereka rombongan dari istana,” bisik-bisik para warga. “Mereka seperti rombongan orang kaya, mungkin saja dari kota di provinsi,” kata warga yang lainnya. Liu Wei berhenti berjalan sedangkan ibunya sudah berjalan di depan. Ia menguping para warga membicarakan rombongan berkuda yang asing tadi. “Weiwei!” teriak sang ibu dengan nada kesal. “Iya, Mama!” balas Liu Wei. (*0*) Malam itu, hujan deras mengguyur desa Han, desa Liu Wei. Rumah gubuk dari kayu dan beratapkan jerami tebal, dengan lampion yang menggantung dan bergoyang tertiup angin kencang. Tempat di mana Liu Wei dan ibunya tinggal. Di malam harinya, ibu Liu Wei terlihat demam dengan wajah pucat dan terbatuk-batuk. “Mama sakit lagi? Aku akan meracik obat,” ujar Liu Wei. “Tidak usah, istirahatlah,” balas sang ibu. Liu Wei tidak mendengarkan sang ibu, dia justru pergi ke dapur kecil mereka dan mencari-cari gerabah kecil yang berisi obat-obatan. “Tidak ada? Obat-obatannya sudah habis, aku harus meminta lagi pada tabib Zhang.” Liu Wei bergerak membuka penutup gentong di dapur itu, namun tak ada beras sama sekali yang tersisa. Wajah cantiknya berubah cemas dan bingung, ia tak tahu akan mendapatkan beras dari mana lagi jika tak memiliki uang sama sekali. Dengan kedua bahu yang melemas, Liu Wei berjalan kembali ke ruang tengah di mana ibunya berbaring sakit. Wajah cantik yang biasanya ceria itu berubah murung dan bingung. Tangan lentiknya meraih tangan sang ibu dan mengusapnya. “Mama, aku akan pergi ke rumah tabib Zhang, dia memiliki banyak obat,” ujar Liu Wei. “Weiwei, di luar sedang hujan deras. Mama baik-baik saja,” balas sang ibu. Kian hari kesehatan ibu Liu Wei semakin menurun, karena kelelahan dan penyakit yang dideritanya. Ayahnya telah tiada sejak ia kecil, karena menjadi sasaran pembunuhan para pemberontakan di pusat provinsi, ketika ayahnya memasok sayuran hasil panen mereka. Orang yang ia miliki hanya sang ibu, dan dengan sekuat tenaga gadis itu akan menyembuhkan ibunya. “Aku akan pergi, sebentar lagi hujan reda.” Liu Wei bangun dari duduknya, kemudian mengambil sebuah jubah yang sudah kusam dan jelek. Kemudian melingkupkan pada kepala dan tubuhnya. Gadis itu berjalan menuju pintu keluar dan melemparkan senyuman pada sang ibu. Liu Wei pun keluar dari rumahnya, membawa lampion di dekat pintu dan menerobos lebatnya hujan dan gelapnya malam. Cahaya-cahaya lampion dari rumah-rumah yang ia lewati, mengabur karena derasnya hujan. Dengan langkah cepat, Liu Wei terus berlari dan berlari, hingga bawah hanfu-nya basah dan sandal jeraminya pun basah oleh air hujan di tanah. Karena air semakin merembes ke pakaiannya dari mantel tebalnya, Liu Wei berhenti di pekarangan sebuah rumah. Ia menunggu selama beberapa saat, sampai hujannya mulai mereda dan jalanan terlihat kembali. Senyuman manisnya mengembang dan dia bisa melanjutkan perjalanan ke rumah kakek Zhang, untuk meminta obat lagi. Kakek Zhang adalah tabib baik hati di desa mereka, dan Liu Wei selalu membantunya untuk mencari tumbuhan obat di hutan. Setelah sedikit reda gadis cantik itu berjalan cepat lagi, sambil menenteng lampion di tangannya. Suara kecipak air hujan yang terinjak olehnya seakan menjadi latar di malam itu, yang menemani langkah sendirinya. Ia harus menguatkan hati, meski berjalan di malam hari dan hampir tengah malam sendirian. Suara krosak dari balik pepohonan di pinggir jalan pun terdengar, membuatnya sedikit merinding. Warga mana yang akan keluar rumah disaat hujan dan tengah malam seperti ini. Orang itu hanyalah Liu Wei. “Oh Dewa, apa itu?” gumam Liu Wei sedikit ketakutan. Ia menolehkan kepalanya kesana kemari dengan waspada, dan langkannya semakin cepat menyusuri jalanan pemukiman warga. Perjalanan Liu Wei semakin jauh, dia melewati jalanan kosong yang hanya diisi padang rumput di sepanjang jalan. Rasa dingin yang menusuk tulang membuatnya mengeratkan mantel tebalnya, dan juga lampion di tangannya. Langkah Liu Wei tiba di ujung jalan, di sebelah kanan jalan ada sebuah bangunan penginapan yang cukup besar dan diterangi oleh banyak lampion. Gerbangnya terbuka, dan Liu Wei melangkah mendekat, ia semakin mengeratkan kedua tangannya di mantel usang miliknya. Ada begitu banyak keraguan di wajahnya, tapi demi ibunya dan dirinya, Liu Wei terpaksa harus melakukannya. Dengan langkah pelan, Liu Wei mendekati pintu gerbang kayu dengan beberapa lampion dan plang bertuliskan penginapan. Gadis cantik itu tiba di depan gerbang, ia membukanya sedikit dan melihat ke dalam. Keadaannya sangat benderang dan cukup ramai, bahkan banyak pria yang datang dan wanita-wanita berpakaian sedikit terbuka. “Aku butuh uang dan beras,” bisik Liu Wei dengan nada ragu. Gadis itu mengeratkan kembali kedua tangannya di mantel dan lampion, ia berjalan masuk dengan langkah mantap. Ketika masuk, beberapa pria yang menatapnya bahkan tak mengedipkan mata seakan tergoda oleh kecantikan wajah Liu Wei. Tanpa mempedulikan tatapan para pria, Liu Wei tetap melangkah semakin masuk. Ia berdiri menatap pada sebuah bangunan yang terbuka, dengan musik yang mengalun dari para pemain musik, dan para penari wanita yang sedang menari, meliukkan tubuh mereka di hadapan para tamu. “Weiwei,” bisik seorang wanita dari belakang sambil menepuk bahu Liu Wei. Gadis itu terkejut dan berbalik, ia menghela napasnya dan mengembangkan senyuman menawannya. “Bibi Ahn, kau mengejutkanku saja,” katanya sambil mengusap d**a. “Kau sedang apa disini?” tanya wanita dengan hanfu berwarna biru dari sutera, dan bagian d**a yang terbuka hingga menyembul separuh. Wajahnya dirias sedikit tebal, dengan rambut yang digulung dengan tusuk konde. “Bibi, beri aku pekerjaan,” kata Liu Wei. Wanita di depannya terkejut dan menatap Liu wei dengan dalam dan serius, ia menarik tangan Liu Wei dan membawanya berjalan ke sebuah koridor dengan lantai kayu. “Pulanglah, ini bukan pekerjaan untukmu. Kau gadis baik-baik, Weiwei.” Liu Wei termenung, ia kembali teringat pada sang ibu yang sedang sakit dan butuh makan. Sedangkan dirinya tak memiliki apapun, jika menunggu esok pagi maka sang ibu akan semakin parah. Liu wei pun mengambil tangan bibi Ahn dan menggenggamnya, memberikannya tatapan memohon. “Bibi, aku membutuhkan uang dan beras,” ujarnya. “Bibi akan memberikanmu beras, cukup untuk malam ini,” kata Bibi Ahn lagi. Liu Wei menggeleng, “Aku butuh untuk beberapa hari, Bibi. Berikan aku pekerjaan.” Bibi Ahn mendekati Liu wei dan memeluk bahunya, “Kau ... Kau mau menjual dirimu?” “Jika itu bisa memberikan uang banyak dan beras yang banyak, aku mau,” jawab Liu Wei sambil menundukkan kepalanya dengan suara mencicit. (*0*)

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.9K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook