ojol 3

1806 Kata
"Mak Jojo berangkat dulu ya, assalamualaikum!" Gue berteriak cukup keras saat tengah memakai sepatu di depan teras, hari masih terlihat gelap, karena memang jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, tapi sebisa mungkin gue harus segera berangkat pagi demi pundi rupiah yang bisa menjadi penyelamat hidup gue nantinya. "Nggak sarapan dulu Jo? Mamak Barus selesai masak ini." Jawab mamak yang baru aja keluar dari dapur dan menghampiri gue. Gue tersenyum lembut sembari berdiri. "Nggak Mak, nanti di jalan aja, takut kesiangan." Mamak terlihat mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangannya yang langsung dengan sigap gue raih. "Ati-ati di jalan, jangan aneh-aneh, kerja yang bener." "Siap Mak!" "Ya udah sono jalan keburu siang nanti!" Ucap mamak yang membuat gue terkekeh karenanya. "Oh iya kalo bisa sekalian cari calon mantu buat mamak, kali aja nemu di jalan kan?" "Aih mamak nih, bisa-bisanya calon mantu Nemu, di kata uang lima ratusan yang banyak kesebar di jalanan!" Gue terkekeh pelan, begitu juga mamak yang melihat gue dengan seringai mengejek yang membuat gue memilih untuk segera berangkat dari pada bakal berdebat panjang dengan mamak nantinya, tahu sendiri urusan sama orangtua itu nggak jauh-jauh sama jodoh, lah gue? Jangankan urusan jodoh, kuliah aja rasanya nggak selesai-selesai, padahal mah udah capek rasanya. Ingin ku teriak, ingin ku menangis ... Wasalam, kemana pula aku malah nyanyi. Oke abaikan, gue selalu menghindar memang, apalagi kalo urusan jodoh. Bukan gue nggak mau, btw, siapa juga yang nolak kawin, ye kan? Semua orang pasti mau itu, tapi urusan nanti kedepannya yang gue belum siap. Kalo urusan rumah, oke lah gue udah punya satu unit yang bisa dikatakan itu peninggalan bapak sewaktu masih hidup dulu. Tapi untuk kasih nafkah gue masih pikir dua kali, lagian dua kakak gue juga belum ada yang merid jadi yakali gue langkahi mereka, nah semisal nanti mereka mau di langkahi terus minta pelanggan jodoh apa kabar gue? Mau kasih mereka jodoh dari mana coba. Tunggu .... Kenapa juga gue mikir jauh kesana, lah gue aja belum tau siapa jodoh gue. Bukan gue nggak laku, tolong garis bawahi itu, gue hanya belum menemukan sesuatu yang cocok. Ibarat kata pakaian, semua yang gue temui selama ini masih kekecilan atau kebesaran di badan gue. Belum pas, dan nggak pas walau dicoba kaya mana juga. Paham lah maksud gue, walau ada style yang bisa dikatakan aneh-aneh, tapi gue bukan tipikal orang yang neko-neko. "Inget, jangan aneh-aneh di jalan, nak!" Gue menoleh sebentar menatap mamak sebelum mengendarai si Jalu, yang sudah menjadi teman gue sejak awal masuk kuliah, nih motor butut punya sejuta kenangan, walau nggak sesultan mereka yang bisa beli motor mewah atau bahkan mobil sekaligus dalam satu kedipan mata, yang menurut gue nggak mungkin banget, Tapi tetep aja gue sayang sama ini motor. Dia ini yang udah ngasih gue duit jajan tiap bulannya, makanya mau kaya gimana juga gue tetep sama sama motor beat pink ini. Kenapa pink? Ayolah, jangan tanyakan kenapa warnanya musti pink, karena dulu gue antara sadar dan nggak sadar ambil ini motor, secara dulu gue seolah terpukau untuk pertama kalinya saat melihat si Jalu, diantara baris berbaris motor yang ada di sorum gue langsung tunjuk si Jalu dengan goresan kecil di bagian dekat sepidometer. Eksotis dan sexi itu yang gue lihat untuk pertama kali tentang si Jalu. Terus kalau kalian tanya kenapa gue kasih nama Jalu. Karena gue mengibaratkan motor ini dengan Jalu ayam yang butuh proses untuk tumbuh. Dan butuh usaha untuk kuat. Dan sekarang, si Jalu menjadi teman setia yang menemani gue tanpa kenal lelah, gue sayang dia dan begitu pula sebaliknya. Eh ... Gue nggak tau juga ding, apa Jalu sayang sama gue apa enggaknya. "Oke Mak," "Jangan lupa Jum'atan juga!" "Oke!" "Jangan lupa sedekah kalo ada rejeki!" Itu teriakan terakhir yang gue dengar dari bibir tipis mamak saat gue sudah berlalu cukup jauh, gue hanya melambaikan tangan dengan ibu jari mengacung kedepan tanda oke. Karena gue nggak mau teriak, secara kompleks perumahan gue ini terkenal dengan ibu-ibu rempong, yang Alhamdulillah jam segini belum ada yang keluar rumah, mungkin mereka masih asik berkeramas ria karena menjalankan sunah Rasul malam Jum'at yang kata orang bisa memupuk pahala banyak-banyak. Aih, membayangkan itu saja sudah membuat gue mupeng sendiri. Kapan gue bisa merasakan itu. Jawaban yang pasti, nanti setelah gue nikah, ulala kapan gue bisa mencapai titik itu, haruskah gue lebih keras lagi untuk mengais rejeki? Oh tentu saja, demi masa depan yang gemilang apapun harus gue lakukan. Gue berhenti pada sebuah halte yang nggak jauh dari kompleks perumahan, biasanya jam segini dan di tempat ini, adalah tempat yang menjadi awal terbukanya rejeki gue. Karena .... Tuling! Aelah belum juga gue selesaiin narasi, ini notif order udah masuk aja, dan sudah gue tebak siapa yang order ojol di pagi buta seperti ini. Benar saja, setelah melihat orderan yang masuk gue langsung tersenyum, secepat mungkin gue pick orderan itu dan langsung melesat menuju lokasi customer pagi itu. Tanpa bantuan map, tanpa perlu nelpon gue langsung paham di mana lokasi itu. Tak butuh waktu lama karena setelah menempuh beberapa belokan gue sudah sampai di sebuah rumah yang memiliki gerbang cukup tinggi. "Sebentar bang." Satu pesan dari costumer gue yang pagi itu memesan ojol. Bukan hanya pagi itu saja, tapi hampir setiap pagi di saat hari kerja, alasan kenapa gue memilih berangkat pagi, tentu saja karena ini, terlebih trip costumer pertama gue ini lumayan jauh, dan langsung menuju kota, jadi ibarat orang bilang, sekali jalan makan angin. Atau bisa di bilang, ya sekalian jalan ke kota sambil bawa duit. Nggak paham ya? Oke abaikan jangan dipikirkan, gue yang ngomong aja bingung sendiri apa lagi kalian kan. Intinya beliau ini, yang menjadi customer gue pagi ini adalah langganan yang membuat gue berangkat pagi. "Loh Abang lagi?" Suara pintu gerbang di buka dan si susul suara mendayu yang begitu lembut menyapa telinga gue, ibarat nutrisi di pagi hari untuk pendengaran yang memang butuh sesuatu untuk lebih semangat lagi. Gadis dengan blazer dan rok pensil hitam itu tersenyum kearah gue, yang membuat gue meleleh seketika. Gue terkekeh pelan sembari mengangguk, nggak sekali dua kali gue mendapatkan penumpang bernama mbak Daisy ini, karena hampir setiap pagi selalu gue yang mengantar beliau, dan percakapan "loh Abang lagi?" Ini sudah berulang kali selama hampir kurang lebih 1 bulan kebelakang. "Kebetulan sekalian lewat, mbak!" Dia tersenyum kecil. Senyum yang membuat mata gue berjedug dengan bentuk love seperti di film animasi kebanyakan, lebay? Wkwk abaikan saja, gue memang selebay itu tiap kali menanggapi gadis cantik seperti mbak Daisy. "Kebetulan yang hampir setiap hari ya, bang? Aku jadi berasa curiga." Ujar mbak Daisy dengan kekehan pelan yang membuat gue merasa meleleh seketika. Aduh mbak, bisa nggak sih jangan buat Abang ojol ini melambung tinggi, Abang cuma takut jatuh cintrong karena mbak. Terus taunya cuma PHP doang, alias pemberi harapan palsu, bisa mati berdiri ane mbak. Gue terkekeh kikuk. Sumpah ingin tuh yang bikin gue nggak bisa berkata banyak, dia terlalu pinter untuk membuat gue terpukau. "Abang sengaja ya, biar bisa dapet orderan dari saya?" Ujarnya kecil sembari menerima uluran helm dari gue. Bahkan setiap pergerakannya itu mengeluarkan aroma yang benar-benar luar biasa di hidung gue, memang ya wanita modis dengan segala keanggunannya itu bikin siapa saja terpukau hanya dengan sekelebat bayangan "Nggak mbak. Emang abang tuh jalan jam segini biasanya." Mbak Daisy terkekeh lagi. Dan setelahnya menampol pundak gue dengan pelan. "Becanda elah, bang. serius amat." Gue ikut terkekeh kemudian, tanpa sengaja tatapan gue tertuju pada pengait helm yang belum di kaitkan, tangan gue merasa gatal karena itu, gue ingin mengaitkan dan di bilang cowok peka yang pengertian, tapi gue memilih urung, terlalu berbahaya untuk gue kalau asal aja tanpa bilang permisi. "Anu ...." Mbak Daisy terlihat mengerutkan keningnya, dan sumpah itu kelihatan cantik dan menggemaskan banget di mata gue. Astaga Mamak! Boleh bawa pulang nggak sih cewek cantik ini. "Kenapa, bang? Ambigu amat pake kata anu." Gue nyengir seketika, iya juga sih, kenapa pula aku pake istilah anu yang bisa mencakup semua makna. Astaga, anu anu anu, gue benci dengan istilah itu, dan gue benci dengan otak gue. "Itu mbak." Telunjuk gue terangkat ke udara dan mengarah pada tengkuk jenjang milik mbak Daisy. Yang terlihat putih dan astaga, itu cantik banget, gue bisa mupeng cuma liat gitu doang. Dasar gue yang udah kebelet kawin! "Apaan, bang?" Mbak Daisy mengerut kedua alisnya lagi karena bingung dengan apa yang gue bilang. Merasa apa yang gue maksud nggak di mengerti sama kak Daisy, gue langsung berdiri dan menghadap tepat di hadapan mbak Daisy, gue menunduk sebentar lalu meraih kancingan helm yang andai di sana. Setelah bunyi 'ceklek', barulah gue menjauh dari mbak Daisy. Gue bingung seketika saat melihat tampak mbak Daisy yang terlihat menahan napas saat gue melakukan hal tadi. "Kenapa mbak?" Tak ada jawaban dari mbak Daisy, dia hanya menggeleng pelan lalu memilih duduk di jok motor dengan gaya kebanyakan wanita yang mengenakan rok saat duduk di atas motor. Gue nggak tau apa namanya jadi jangan protes oke, kalian cukup bayangkan saja gimana cewek yang menggunakan rok pensil duduk di atas motor. Nah kurang lebih seperti itu. Gue menoleh kebelakang sebentar, lalu sebelum menjalankan kendaraan, gue melepas jaket yang gue kenakan dengan cepat. Tentu saja apa yang gue lakukan membuat mbak Daisy kebingungan. Gue terkekeh pelan setelah jaket hijau yang gue kenakan terlepas, menyisakan kaus hitam yang nggak tipis-tipis banget. "Pake ini, mbak!" Kata gue sembari mengulurkan kebelakang jaket yang gue lepas tadi. "Ehh nggak usah, bang. Abang aja yang pakai, aku nggak papa kok, udah pake blazer ini." Gue tersenyum kecil sebelum meletakan jaket yang gue kenakan untuk menutupi paha putih mulus mbak Daisy yang terlihat jelas. Gue agak heran, nggak biasanya mbak Daisy ini mengenakan rok pensil seperti sekarang. Karena biasanya dia mengenakan celana panjang bermodel bahan setiap harinya. "Di pake buat nutup, mbak. Dingin soalnya." Sekilas gue bisa melihat semburat merah yang muncul di wajahnya, dan itu membuat gue salah tingkah sendiri. Ayolah jangan terlalu berharap, bisa aja dia malu, bulan karena luluh dengan tingkah gue yang sok manis ini, padahal mah emang berusaha modus. Ya ... Namanya juga usaha, orang nggak ada yang tahu kan, siapa tau doa mamak di jabah, bisa Nemu calon menantu di jalanan. Kalau memang iya, astaga beruntung sekali nasib mu, Jo! Tapi tunggu dulu deh, tunggu sebentar aja, Lo kayaknya masih mimpi deh, makanya Lo halu kayak gini. Coba tabok pipi, dan "adaw!" Gue memekik seketika. "Kenapa bang?" Ehh kan, kenapa juga gue harus ngelakuin hal aneh kaya gini sih, malu sendiri kan, ketahuan aneh. "Nggak mbak, ada nyamuk tadi." Kata gue beralasan. Berharap apa yang gue lakukan tidak ketahuan sama mbak cantik ini. Gue hanya mengangguk kecil saat mbak Daisy ber oh ria. "Ya udah kita berangkat sekarang ya, mbak!" Tanpa perlu menunggu jawaban mbak Daisy si penumpang pertama gue, langsung saja gue melesat menuju tempat tujuan mbak Daisy. jangan sampai costumernya itu terlambat dan dia dapat bintang satu. jangan sampai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN