Tim Kabin bergerak menuju kabin yang ditunjuk Kikan. Terkesiap melihat benda di hadapan mereka. Wajar saja kalau Kikan begitu ketakutan. Di sela rongsokan itu tergolek kepala orang. Dengan urat dan serabut otot menjuntai di pangkal leher. Darah kering membanjir di sekelilingnya. Kepala seorang lelaki. Tampak lebam mulai menggembung. Mata kanan melotot, dan bola mata kiri ke luar dari rongganya. Bergelantungan di pipi yang pucat kebiruan. Perlahan Prayit mendekat. Berjongkok dan meraihnya. Ayi yang baru masuk tak kalah terkejut. Begitu melihat benda yang dijinjing Prayit.
“Tolong letakkan di kumpulan mayat,” pinta Prayit. Namun semua bungkam tak menjawab. Apa lagi untuk menyanggupi. Mereka hanya saling pandang. Berharap bukan dirinya yang disuruh.
“Kenapa, takut? Jijik? Atau apa?” tanya Prayit. Mereka masih bungkam. Jika mayat utuh, mungkin mereka masih mampu, itu hanya potongan kepala dengan kondisi mengenaskan. Melotot dan menyeramkan.
“Kalau takut, kenapa ikut tim saya?” tanya Prayit kesal.
“Bi—biar saya, Pak.” Ican menyanggupi. Dengan tangan gemetar meraihnya. Hanya rambut ikal itu yang dipegangnya. Ia tak mau ujung jarinya menyentuh kulit kepala.
“Jangan lewat depan para wanita!” saran Prayit. Ican mengangguk pelan, tanpa melihat benda yang ditentengnya. Ia melangkah tergesa. Memutari moncong pesawat. Menuju kumpulan mayat. Dengan setengah melempar ia letakkan kepala itu. Lalu buru-buru menyingkir. Kembali masuk kabin. Mereka berkumpul lagi. Saat Bobi dan Kiki hendak kembali ke ruang kargo, Prayit menahannya.
“Nanti saja. Di sini butuh banyak orang.” Meski terlihat enggan tapi tak mampu menolak. Mereka berpencar menjelajahi kabin. Rongsokan di ruang kabin menciptakan celah-celah dan sekat dengan pola acak. Menyulitkan Tim Kabin bergerak maju, memilah atau mengeluarkan rongsokan. Sebagian material kabin masih menempel di tempatnya. Baik yang berbaut atau dilas. Kadang harus ditarik, didorong, atau ditendang agar lepas dari tempatnya.
Kabin tak hanya masih menyembunyikan jasad-jasad utuh, namun bagian-bagian tubuh korban juga. Dengan berbagai bentuk atau warna kulit. Pucat bagai pualam, ada juga pucat kecoklatan. Dengan perasaan campur aduk mereka kumpulkan potongan-potongan tubuh yang mulai bau.
Secara sengaja Kiki memisahkan diri. Ia hanya memilih menarik atau mendorong benda yang jelas berupa logam, kabel, plastik dan semacamnya. Menghindari onggokan mencurigakan. Ia tak mau menemukan bagian-bagian tubuh orang mati. Selain takut ia juga merasa mual.
Kini matanya tertuju pada benda pipih bulat. Setelah dicermati, itu roda kereta snack yang penyok di sana-sini. Terjepit di antara rongsokan lain. Beberapa bagiannya tampak gosong terbakar. Wajah Kiki mendadak cerah. Melihat sekotak snack yang masih berisi makanan, juga segelas air mineral. Kotak-kotak yang lain berserakan di ujung celah. Sebagian masih utuh, sebagian lagi dengan isi berhamburan.
Kiki memungut satu kotak. Tergesa melahap isinya. Nyaris tak dikunyah. Menelannya dengan susah. Selajutnya ia merobek plastik penutup gelas air mineral. Dengan rakus meneguk habis isinya. Lalu mengambil lagi kotak berikutnya. Namun mendadak ada langkah mendekat, diiringi suara memanggil. Kiki kaget. Berusaha menyembunyikan kotak-kotak makanan itu.
“Ki. Di situ ada—hey! Kau sedang apa?” tanya Bobi setengah berbisik. Perlahan ia mendekat. Buru-buru Kiki membuang muka. Tak mau mulutnya yang gembung dipenuhi kue itu terlihat.
“Apa yang kau makan?!” cecar Bobi. Kiki tak juga menjawab. Hanya menggeleng. Bobi kian penasaran.
“Minta, Ki, aku juga lapar!” Bobi menarik bahu Kiki. Hendak melihat mulut Kiki yang menggembung. Tampak remah-remah roti berserakan di sekitar mulut dan pipinya. Kiki menggeleng, lalu membuang muka.
“Jangan bohong! Atau kubuka paksa!” pekik Bobi kesal. Tangannya berusaha membuka mulut Kiki. Kiki berteriak kesakitan. Spontan memukul wajah Bobi. Tak pelak Bobi membalas. Keduanya bergumul sengit.
“Aku yang menemukan!” pekik Kiki beringas.
“Egois!” Bentak Bobi sambil meninju ke muka. Pergulatan mereka makin brutal. Saling cekik, saling pukul dan saling tendang. Kegaduhan itu terdengar hingga ke luar. Orang-orang di luar kabin menebak kalau Tim Kabin kembali menemukan mayat. Mereka tak menghiraukan. Namun kegaduhan itu memancing Tim Kabin untuk segera menuju sumber suara. Tak ayal mereka terkejut melihat Kiki dan Bobi sedang bergulat.
“Apa-apaan ini?!” hardik Prayit keras. Pergulatan itu mendadak terhenti.
“Dia—dia dapat makanan, Pak!” Bobi menunjuk muka Kiki. Laki-laki tambun itu mengusap-usap wajah. Masih berusaha berdalih.
“Bohong!” elaknya. Prayit dan Ican menatap tajam.
“Kau yang bohong!” maki Bobi makin kesal.
“Benar begitu, Ki?!” tanya Prayit tajam. Kiki menunduk diam. Tak berani mengangkat wajah. Gemas Ayi mendekat lalu mencengkeram bahu Kiki.
“Jawab!” Bentaknya. Kiki meringis menahan sakit.
“Aku yang menemukan! Itu milikku!” Kiki berontak melepas cengkeraman Ayi. Lalu berlari ke celah rongsokan. Mendekati kereta makanan. Berusaha memeluk kotak-kotak makanan. Ingin melindungi harta karun yang ditemukannya. Seketika matanya jadi liar. Ayi dan Bobi bergegas mendekatinya.
“Kami juga butuh, Ki!” Bentak Bobi hendak memukul. Buru-buru Prayit menangkap tangan Bobi yang mulai terayun.
“Aku lapar. Aku yang menemukan—” Kiki membela diri. Matanya mendadak redup dan buram.
“Kalau kalian yang menemukan, pasti sama sepertiku—,” tambahnya lirih. Lalu terduduk. Semua menatap Kiki dengan bungkam. Prayit mendekat. Kiki beringsut takut. Perlahan Prayit menyentuh bahunya.
“Kami tahu. Kau yang menemukan. Tapi—tolong pahami. Kau tak sendirian di sini. Ada kami, juga mereka. Semua sama sepertimu. Sama-sama sedang berjuang mempertahankan hidup—.” Kalimat Prayit berhenti untuk menghela nafas. “Jadi—bukan kau yang paling berhak. Kita harus saling memikirkan. Kita butuh nurani mereka. Mereka butuh nurani kita, dan sekarang—kami butuh nuranimu.” Suara yang keluar dari mulut Prayit makin perlahan. Makin parau lalu menghilang. Digantikan tarikan napas berat. Kiki tertunduk. Terdiam menatap lantai kabin. Dia menangis. ***
Perbukitan itu memagari lembah-lembah curam di bawahnya. Ada tebing-tebing berupa patahan. Mungkin akibat gempa tektonik. Dinding tebing itu berupa batuan karst. Tingginya bisa mencapai belasan, bahkan puluhan meter. Hutan heterogen itu banyak ditumbuhi pepohonan Meranti, Damar, Beringin, Pakis, Lumut, Rotan dan rimbunan bambu di daerah lembah.
Di kejauhan, tampak tiga sosok bergerak menuruni lembah. Dua orang di depan berhenti. Menunggu orang ke tiga yang tertinggal jauh di belakang. Orang itu sedang sibuk mematahkan ranting, atau merebahkan semak belukar. Di sepanjang lintasan yang dilaluinya. Dengan jarak sekitar dua sampai tiga meter. Orang terdepan berteriak menyemangati.
“Ayo! Anak mapala, kok, ketinggal terus?!” pekik Endi. Alang tersenyum meringis.
“Sebentar, Bang. Lagi menandai lintasan!” jawabnya setengah berteriak. Endi dan Doni saling pandang. Sepertinya mereka terlalu bersemangat hingga melupakan tindakan standar saat memasuki wilayah hutan asing.
”Menandai?” ulang Doni seraya menatap Endi. “Tampaknya ia bisa diandalkan.” tambahnya. Endi hanya meringis.
“Semoga begitu. Bukan cuma gaya!” ujar Endi ragu.
“Kita lihat saja nanti,” sahut Doni. Obrolan itu terhenti. Saat Alang makin dekat. Wajahnya terlihat pucat berkeringat. Sesekali meringis seakan menahan sakit.