MENJELAJAHI SUNGAI GUNUNG

1211 Kata
“Kenapa? Kau sakit?” tanya Doni serius. Alang menggeleng meski napasnya tersengal. “Jangan bohong. Wajahmu lebih pucat!” potong Endi. Alang menjatuhkan p****t. Memang tampak begitu kelelahan. Mulutnya mendesah. “Kepalaku sakit. Mual, dan rasanya mau mun—.” Belum sempat ia menuntaskan kalimatnya, ia tersedak. Memuntahkan cairan. Cairan ludah yang makin sedikit. Doni dan Endi menatap khawatir. “Gimana ini? Kita belum jauh berjal—,” Deg! Doni menyikut bahu Endi. Menyuruhnya berhenti bicara. Alang memejamkan mata. Berusaha mengatur napas. Tak lama wajahnya meringis. Lalu tertawa kecil. Doni dan Endi menatap bingung. “Ironis, ya—mengaku mapala, tapi merepotkan!” gumamnya dengan mata terpejam. Seakan memaki diri sendiri. Nada suaranya getir. “Atau—kau tunggu di sini? Biar kami yang mencari,” usul Doni perlahan. “Iya. Biar pulih dulu,” dukung Endi. Alang berusaha menegakkan badan. “Kira-kira, Abang mau ke arah mana?” tanya Alang tanpa menggubris perkataan mereka. “Ya—ke lembah. Bukankah air selalu ada di tempat rendah?” Nada suara Doni terdengar ragu. Alang dan Endi memandang ke lembah. Dasar lembah itu cukup jauh. “Ada sungai gunung—,” jelas Alang perlahan. “Tapi kering!” potong Endi. “Di depannya ada tebing batu. Cukup besar.” Alang tak menggubris Endi. “Kau mau cari air di batu?!” Lagi-lagi Endi bertanya. “Jangan ngomong terus, Ndik. Dengar dulu!” protes Doni. Alang meringis. “Tapi, Don, masa cari air di batu? Jangan-jangan—.” “Kau tak bisa diam sebentar?!” hardik Doni mulai kesal. Sorot matanya mendadak tajam. Endi terkesiap melihat reaksi laki-laki bertubuh besar itu. “Terus apa, Lang?” tanya Doni selanjutnya. “Kepalaku emang sakit, tapi pikiranku nggak, Bang!” tegas Alang agak tersinggung oleh perkataan Endi tadi. Endi makin mengatupkan bibir. “Sungai gunung bersifat tadah hujan. Ceruk-ceruk batu akan digenangi air. Bukankah kemarin hujan? Sebaiknya kita periksa dulu,” jelas Alang. Kedua lelaki itu menatap Alang dengan ragu. “Kau yakin?” Doni memastikan. Apa lagi saat melihat kondisi sungai gunung yang kerontang. Hanya tampak patahan dan tonjolan bebatuan. “Biasanya begitu.” Alang berusaha meyakinkan. Doni dan Endi saling pandang. “Baik, kita periksa. Tapi bagaimana denganmu?” tanya Doni ragu. “Aku ikut,” jawab Alang serius. Doni menatap sesaat. Lalu mengangguk. Mereka berjalan mendahului Alang. Begitu jarak dirasa aman, Endi berbisik. “Kau percaya kata-katanya, Don?” “Agak ragu. Tapi soal hutan, kita tak lebih tahu dari pada dia. Kita buktikan dulu,” jawab Doni pelan. Tak sampai lima belas menit Doni dan Endi sudah berada tepi sungai, lalu menjejak teras cadas yang merupakan atap tebing batu. Dari situ, dasar sungai tampak jauh di bawah. Berundak-undak terjal bak anak tangga tak beraturan. Undak-undak itu ada yang mencapai belasan meter. Di atas tebing memang banyak cerukan. Juga seperti pernah digenangi air. Namun semua tampak kosong. Tak ada air yang terjebak di dalamnya. Hanya lumut hijau yang lembab, dan sedikit basah di bagian dasar. Hati-hati mereka mengelilingi atap tebing. Celah-celah retakan tebing tampak menganga. Bagai mulut crevasse di pedataran salju. Jika terperosok mungkin akan terjepit di sana. Alang tiba di tebing batu. Sesekali ia mendengar kalimat kecewa terlontar dari mulut Endi. Alang meringis getir mendengarnya. Ia mencari rintisan sendiri. Saat menuruni patahan tebing. Matanya tertarik pada gerombol lumut yang tumbuh segar dan basah. Benar saja, di situ ada ceruk tersembunyi yang berisi air hujan. Ukurannya hampir sebesar piring. Mungkin cukup untuk diminum bertiga. Alang meraupnya dengan tangan. Sangat hati-hati. Seakan tak mau tumpah meski setetes. Direguknya dengan lahap. Air itu membasahi rongga mulut. Perlahan memasuki tenggorokan. Mengisi lambung yang tak terisi air dan makanan sejak kemarin. Terasa dingin dan segar. Saat itu, mungkin itulah air ternikmat yang pernah diminumnya. Tak puas, Alang menunduk. Memajukan ujung bibir ke permukaan air. Lalu mengirupnya. Shurrfft! Tiba-tiba ia tersentak sembari menepuk kening. Buru-buru berteriak memanggil Doni dan Endi. Dari belahan batu keduanya menyahut. Lalu bergegas mendekat. Mereka terbelalak melihat ceruk batu di hadapan Alang. Nyaris berebutan mereka meminumnya. “Sabar, Bang! Nanti malah adu kepala!” Alang memperingatkan. Mereka tertawa. Seakan lupa dengan peristiwa yang tengah mereka alami. “Kau benar, Lang!” Wajah Endi cerah sambil menjilati lelehan air di sekitar mulutnya. “Awas, ada serangganya!” seru Alang kembali mengingatkan. “Biar jadi lauk sekalian!” potong Doni meringis. Air di ceruk nyaris terkuras. Amblas masuk ke dalam tenggorokan mereka. Setelah merasa cukup, mereka melanjutkan pencarian. Melangkah lebih hati-hati. Batu yang dilintasi air banyak ditumbuhi lumut. Menyebabkan permukaan batu jadi licin. Mereka kembali menemukan celah patahan. Mirip got di pinggir jalan. Panjangnya kurang dari satu meter. Dalamnya sekitar dua jengkal. Celah itu dipenuhi air. “Mari kita kumpulkan!” Seru Doni semangat. Ternyata tak semua pelampung bisa digunakan. Ada yang sobek, bolong atau terbakar. Pelampung yang masih utuh dilubangi pakai kayu. Lubang itu dipakai untuk memasukkan air. Bergantian mereka menenggelamkan botol bekas air mineral. Dengan botol itu mereka mengisi lubang pelampung. “Kita balik dulu. Untuk memberi mereka minum. Jika memungkinkan, kita bisa balik lagi ke sini.” Doni mengusulkan. Alang dan Endi setuju. Ada delapan kantung pelampung dan tiga botol air mineral penuh berisi air. Masing-masing tiga kantung dibawa Doni dan Endi. Alang membawa dua kantung dan tiga botol plastik. Ditambah bundelan pelampung yang rusak. Ketiga orang itu bergerak meninggalkan tebing batu. Semakin menjauhi sungai, perjalanan makin menanjak. Jadi terasa lebih berat. Saat melintasi pohon rindang, mereka beristirahat. “Ngeri juga kalau sampai jatuh!” ujar Endi sambil mengipasi wajah dengan tangan. Doni mengangguk. “Mana batunya licin!” timpal Doni. “Jangankan menyusurinya. Berlama-lama di sana itu juga riskan, Bang,” ujar Alang. “Maksudmu—dikhawatirkan jatuh terpeleset?” tanya Doni memastikan. “Itu jelas. Maksudku—alasan selain itu,” jelas Alang. “Kenapa? Angker?” Suara Endi begitu perlahan. Alang menggeleng. “Risiko banjir bandang,” jelas Alang serius. “Bandang?” ulang Doni dengan dahi berkerut. “Bukankah sungainya kering?!” tanya Endi bingung. Alang mengangguk. “Air bahnya dari mana?” tanya Doni penasaran. “Banyaknya longsoran, bebatuan, juga sampah alam yang berserak di lintasan sungai, akan bertumpuk membentuk bendungan. Saat hujan—bendungan itu akan mengumpulkan air. Jika volume air melimpah, bendungan akan jebol. Air akan meluruk turun. Menyatukan genangan-genangan air. Makin lama makin banyak. Menjelma jadi air bah yang dahsyat!” Alang menjelaskan. “Masuk akal juga.” Doni mencoba membayangkannya. “Lebih bahaya, kalau hujannya di puncak. Orang-orang di lembah, nggak akan menyadari ada air bah sedang menuju ke arahnya,” terang Alang lagi. “Seram juga.” Endi bergidik. Alang mengangguk. “Meski nggak selalu ada—tapi kita wajib waspada.” “Kau pernah mengalaminya?” tanya Endi penasaran. Alang mengangguk lagi. Lalu berkisah ketika ia dan rekan-rekannya terjebak banjir bandang di kawasan Gunung Pangrango. “Meski tergolong ringan, tapi cukup merepotkan,” cerita Alang. “Oh, ya?” Dahi Endi berkerut. Alang mengangguk. “Yang menakutkan—kalau air bah itu membawa material alam. Entah lumpur, bebatuan, pasir, batang atau balok-balok pohon. Seperti yang terjadi di Sungai Bohorok, di Bukit Lawang itu,” cerita Alang. “Ya, ya. Daerah wisata itu porak-poranda.” timpal Doni. Alang mengangguk. Tiba-tiba Alang memandangi pergelangan tangannya. Mata Doni dan Endi mengikutinya. Ada mahkluk hitam kecoklatan berjingkat pelan. Memanjangmendekkan tubuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN