3. Ijinkan Aku

1107 Kata
Ibu masih berwajah cemas sampai malam menjelang. Dia bahkan tidak memasak makan malam untuk kami dan membiarkan para pelayan yang melakukannya. Padahal biasanya Ibu paling tidak suka jika urusan makanan kami dilakukan oleh orang lain. Aku menjadi tidak tega melihatnya, padahal seharusnya di sini aku yang menjadi korban, bukan Ibu. Apa mungkin Ibu sangat mengkhawatirkanku? “Apa Ibu akan duduk berdiam diri seperti itu terus?” tanyaku sambil mendekat ke arahnya. “Ibu sedang menunggu Ayah dan Kakak-kakakmu pulang,” sahutnya tanpa menoleh ke arahku. “Tapi Ibu melakukannya dari tadi siang,” kataku mengingatkan. “Apa Ibu mau aku ambilkan segelas teh hangat agar pikiran Ibu lebih tenang?” tanyaku. Ibu menggeleng sedetik kemudian aku mendengar isak tangisnya. Bagaimana ini? Aku tidak tahu caranya menenangkan orang yang sedang menangis. “Ibu, semuanya akan baik-baik saja,” bujukku. “Bagaimana kau bisa bilang semuanya akan baik-baik saja sementara kita seperti sedang berada di ujung tanduk,” ucapnya sambil terisak. Aku terdiam dan kehilangan kata untuk berbicara dengannya. “Ibu tidak mau kau menerima lamaran itu karena takut kau akan menderita hidup di kerajaan nanti. Tapi semua itu sama saja kita akan mengorbankan kehidupan keluarga kita ini. Ayahmu bahkan baru saja memulai peternakan dombanya. Jika semuanya terjadi, siapa yang akan menghidupi kita lagi sementara harta warisan kakekmu sudah mulai menipis,” kata Ibu panjang lebar. Aku terdiam dan dalam hati membenarkan apa yang diucapkan oleh Ibu. “Jika seperti itu, ijinkan aku menerima lamaran itu, Ibu,” kataku akhirnya. “Tidak! Kau tidak boleh melakukannya!” seru Ibu dengan wajah berang. “Kau tidak boleh mengantar nyawamu ke sana,” lanjutnya. “Tidak apa-apa, Ibu. Aku yakin, aku akan baik-baik saja,” ujarku. Tepat saat aku menyelesaikan kalimatku, suara langkah terdengar mendekat. Aku menoleh dan mendapatkan Ayah dan kedua Kakakku baru saja datang. Tangisan Ibu seperti membuat mereka terkejut. Ayah bergegas menghampiri kami dan menatapku dengan wajah marah. “Apa yang kau lakukan Ilona? Kenapa Ibumu menangis seperti ini?” tanya Ayah dan membuat keningku berkerut. Tapi setelah dipikir-pikir memang akulah yang membuat Ibu menangis. “LIhat ini, Suamiku,” kata Ibu masih sambil terisak. Dia menyerahkan gulungan surat dari kerjaan tadi pada Ayah. “Ada apa, Ilona?” tanya Leon padaku. Aku menggeleng karena bingung harus dari mana menjelaskan padanya. “Astaga!” seru Ayah sambil menahan dadanya. Gustav dan Leon segera menghampiri Ayah dan membantunya untuk duduk. Ayah sepertinya sangat terkejut sehingga merasa dadanya terasa sakit, itu hal yang sering dialaminya. “Suamiku!” Tangis Ibu semakin keras dan mereka berdua kemudian saling berpelukan. Di situasi seperti ini aku seharusnya ikut sedih, tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat kesal. Ayah dan Ibu sangat bersedih dengan apa yang terjadi seolah-olah hidup mereka akan berakhir, sementara di sini putri mereka hanya bisa menatap dengan bingung. “Ayah, Ibu,” kataku membuka pembicaraan setelah berdehem dengan keras agar bisa memancing perhatian mereka. “Apakah Ayah mendapat tagihan hutang lagi?” tanya Gustav mengacaukan konsentrasiku. “Ini bahkan lebih penting dari sekadar hutang,” sahutku kesal. Tidak sabar dengan Ayah dan Ibu yang masih menangis sambil saling berpelukan, Gustav kemudian mengambil gulungan surat tadi dari tangan Ayah dan membacanya dengan suara keras. “Apa ini serius?” tanyanya setelah membaca isi surat. “ini benar-benar surat dari kerajaan,” timpal Leon sambil meneliti gulungan surat itu dengan menerawangnmya. “Ayah tidak boleh menerima lamaran itu!” seru Gustav. “Memang itu yang akan Ayah lakukan,” jawab Ayah lemah. “Tapi pihak kerajaan pasti akan mengancam kehidupan kita selanjutnya. Bisa saja mereka akan menghambat usaha baru Ayah,” sambungku. “Apa itu benar, Ayah?” tanya Leon dan dijawab dengan anggukan dari Ayah. “Apa maksud mereka mengirimkan surat ini?” Leon kemudian melempar gulungan surat itu ke lantai. “Itu sama saja mereka seperti tidak memberi pilihan pada kita,” sambung Gustav. “Sudah banyak bangsawan lain yang menolak lamaran dari Kaisar untuk anak gadis mereka dan mengalami hal yang menyedihkan. Mereka hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki apa-apa,” kata Ibu saat tangisnya telah reda. Aku terdiam sambil berpikir, kali ini nasib keluarga berada di tanganku. Hanya aku yang bisa memutuskannya. “Ayah, Ibu, lamaran dari Kaisar ini tidak ada apa-apanya dibanding keluarga kita. Aku tidak mungkin membiarkan kalian hidup dalam kesengsaraan,” ujarku. Semua kontan terdiam sambil menatapku. “Di kerajaan nanti, aku yakin bisa hidup dengan baik. Tentu saja aku tidak akan membiarkan diriku disakiti dengan cara apa pun. Apa kalian lupa jika aku sangat ahli dalam bertarung, aku bisa melawan Kaisar dan para prajuritnya jika dia berlaku kejam padaku,” lanjutku lagi. “Tidak Ilona! Kau tidak boleh melakukan itu!” seru Ibu panik. “Dan kalian juga akan hidup dengan tenang di sini, menjalani kehidupan kalian seperti biasanya. Ayah juga akan bisa mengembangkan usaha peternakan domba kita.” “Apa pun yang kau katakan, Ayah tidak akan menerima lamaran itu!” ucap Ayah tegas. “Ayah, pikirkanlah sekali lagi. Ini bukan hanya tentangku, tapi tentang keluarga kita. Ayah tidak boleh egois dengan hanya ingin menyelamatkanku tapi membuat semua orang kesulitan,” potongku sebelum Ayah melanjutkan perkataannya. “Ayah bahkan tidak peduli itu, Ilona! Mana mungkin Ayah tega membiarkan kau berada sendirian di sana. Kerajaan memang terdengar menyenangkan, tapi tidak dengan Rhys Logan sebagai kaisarnya,” balas Ayah. Wajahnya menegang dan kali ini aku harus berbicara lebih lembut agar bisa menyadarkannya. “Dengar Ilona, aku belum tahu siapa itu Rhys Logan. Kau masih terlalu muda untuk paham jika dia sangat berbahaya bagi siapa pun, bahkan bagi kau yang kelak akan menjadi istrinya. Kami tidak ingin hal buruk terjadi padamu, Ilona,” ujar Gustav. Aku tersenyum senang karena baru kali ini keluargaku terlihat sangat perhatian padaku. Cukup, Ilona! Bukan waktunya untuk berpikir hal itu saat ini, berkonsentrasilah dan mulai merayu mereka lagi. “Aku sangat menyayangi kalian semua. Aku ingin kalian hidup dengan bahagia. Ini sungguh tidak adil jika aku mengorbankan kalian semua karena ulahku. Ayah, Ibu, aku sudah cukup dewasa untuk memutuskan suatu hal. Jadi aku mohon untuk kali ini saja, biarkan aku yang memutuskannya,” pintaku. “Kalian harus yakin jika aku bisa hidup dengan baik di kerajaan nanti. Aku akan berlaku sebaik mungkin agar tidak memicu kemarahan Kaisar. Dia tidak akan membunuh seserorang tanpa sebab apa pun, bukan?” Hening, tidak ada suara selama beberapa saat. Aku membuang napas panjang. Tampaknya ini akan menjadi hari terberat dalam hidupku. Ayah dan Ibu saling berpandangan tanpa bicara sepatah kata pun, sedangkan Gustav dan Leon duduk menyendiri dengan wajah tegang. Hanya gara-gara surat sialan itu membuat suasana malam ini terasa mencekam. “Ayah, Ibu, ijinkan aku menerima lamaran dari Kaisar,” ucapku yakin. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN