"Mohon ampun atas kelancangan hamba, Yang Mulia. Hamba sama sekali tidak bermaksud apa pun selain hanya rasa penasaran. Maafkan hamba, Yang Mulia," ucapku menahan rasa takut yang membuatku tidak berani mengangkat wajahku. Pertemuan pertamaku dengan Kaisar sepertinya tidak berjalan baik. Apa para calon Ratu yang lain juga pernah mengalami hal yang sama sepertiku? Oh! Aku lupa, bukankah baru aku saja yang menerima lamaran dari Kaisar dan diberi kesempatan untuk bertemu dengannya? Tidak mungkin yang lainnya pernah mengalami seperti yang aku alami saat ini.
"Siapa kau?" tanyanya lagi sementara pedangnya masih menempel di leherku. Sedikit saja aku bergerak, pedang itu sudah dipastikan akan menggores leherku. Aku memiliki kemampuan untuk menghindari pedangnya, tapi tidak keberanian untuk melakukannya. Tinggal menunduk dan menyerang kakinya. Tentu saja tidak berani kulakukan, siapa yang berani melawan seorang Kaisar yang sedang menghunuskan pedangnya? Yang paling aman hanya pasrah. Kecuali dia adalah seorang pemberontak.
"Hamba Ilona Montgomery, Yang Mulia," ucapku terbata. Dadaku terasa sesak karena menahan napas selama sekian detik. Lain kali aku tidak akan sembarangan menyentuh barang-barang yang berada di istana lagi. Itu pun jika sosok yang menghunuskan pedang padaku ini memberikan ampun padaku. Bisa saja dia malah akan menghabiskan nyawaku di tempat ini.
Perlahan pedang yang menempel di leherku tertarik dan masuk kembali ke sarungnya. Dengan ragu aku mengangkat kepalaku dan berharap jika dia benar-benar sudah menyimpan pedangnya.
"Ma...maafkan hamba, Yang Mulia," ucapku lagi.
"Bangunlah." Suara beratnya membuatku tak bisa berpikir dengan benar. Tanganku kemudian mengambil busur dan anak panah yang telah kubuang di lantai tadi dan berusaha untuk mengembalikan ke tempatnya semula.
"Biarkan saja seperi itu, para pelayan yang akan membereskannya nanti," lanjutnya. Aku bangkit dengan tubuh bergetar. Salahkan saja gaun ini yang membuatku tidak bisa menopang tubuhku dengan benar, aku hampir saja terjatuh karenanya.
"Hati-hati," ucapnya sambil menahan tubuhku yang hampir jatuh. Sesaat mata kami saling bertatapan dan membuatku sangat ketakutan karenanya. Sorot matanya begitu tajam dan menyeramkan. Benar yang dikatakan Ibu, jika Kaisar Rhys Logan terlihat sangat kejam, aura membunuhnya begitu terasa dan aku benar-benar ketakutan. Rasa takutnya melebihi segala hal yang aku takuti.
"Ampun, Yang Mulia," ucapku tanpa sadar dan segera menggeser posisiku sehingga bisa berdiri dengan benar.
"Kenapa? Apa kau takut aku akan membunuhmu?" tanyanya tanpa basa-basi. Dia kemudian terbahak dengan kerasnya.
"Ilona Montgomery." Dia mengeja namaku sementara aku masih menunduk menghindari tatapan matanya. Aku merasa tidak waras karena hal ini. Tidak kusangka Kaisar Rhys Logan ternyata berwajah antara iblis dan malaikat. Bagaimana bisa dia memiliki gabungan dua sosok yang saling berlawanan itu di wajahnya?
Dia sangat tampan sekaligus menyeramkan. Ah! Aku tidak pernah memuji lelaki dengan kalimat yang aneh seperti ini. Kurasa kali ini aku tidak tulus memujinya.
Seluruh tubuhku terasa merinding saat dia mengulang menyebut namaku untuk yang kedua kalinya. Ada apa dengan lelaki ini? Tidak ada yang istimewa dengan namaku, tapi kenapa saat disebutkan olehnya, seluruh tubuhku terasa kedinginan?
"Katakan, kenapa kau bersedia untuk menjadi Ratu kerajaan Northfourt?" tanyanya tiba-tiba. Jika boleh memilih, tentu saja aku tidak ingin menjadi ratu. Bagaimana cara menjelaskannya jika sebenarnya aku tidak memiliki pilihan.
"Karena ini adalah perintah dari kerajaan, dan hamba tidak bisa menolaknya," jawabku jujur.
"Angkat kepalamu, kau seperti anak kecil yang ketakutan," ucapnya. Justru karena dia berkata seperti itu, aku semakin bertambah takut. Ah Ayah, Ibu, apa yang sebenarnya ditakdirkan padaku? Haruskah aku menjadi pendamping seumur hidup lelaki dengan aura yang sangat menyeramkan ini?
Tiba-tiba saja tangannya terulur dan menahan daguku. Seketika aku ingin berlutut kembali di hadapannya karena interaksi yang terasa aneh ini. Matanya bersorot tajam dan seperti akan menembus wajahku.
"Kau calon Ratu, tidak pantas melakukan hal ini," ucapnya sambil menahan tubuhku agar tidak berlutut lagi di hadapannya.
"Duduklah," ucapnya sambil menunjuk sebuah kursi yang tak jauh dariku.
"Apa yang kau sukai?" tanyanya sambil matanya mengarah padaku. Kenapa dia tiba-tiba bertanya apa hal yang kusukai? Apa ini termasuk salah satu syarat sebelum aku resmi menjadi Ratu?
"Aku akan meminta pada pelayan istana menyediakannya saat kau sudah tinggal di sini," lanjutnya. Apa kali ini aku harus berbohong dengan mengatakan aku sangat menyukai memasak, menyulam, dan menanam bunga? Padahal semuanya tidak benar.
Mataku kemudian mengarah pada senjata-senjata tajam yang tergantung di dindingnya. Aku menyukai berburu dan bermain pedang, itu jawaban sebenarnya.
"Hamba menyukai semua hal, Yang Mulia," sahutku akhirnya.
"Baiklah. Kau boleh keluar dari ruangan ini sekarang. Katakan pada pengawal untuk mengantarmu pulang," ucapnya dan seketika membuatku bernapas lega.
"Kita mungkin tidak akan bertemu lagi hingga acara pernikahan. Jadi, persiapkan dirimu sebaik mungkin sampai hari pernikahan kita," ucapnya. Aku menundukkan kepalaku dan tanpa menunggu lagi segera mundur dan beranjak dari ruangannya. Beberapa menit saja bersama seorang Rhys Logan membuatku tidak bisa berpikir dengan benar. Dia benar-benar menyeramkan. Aku tidak habis pikir bagaimana nasibku setelah menjadi istrinya nanti. Apa dia akan menyiksaku setiap malam hingga aku akan kehilangan nyawa, seperti yang diramalkan jika Ratu akan terbunuh di tangan Kaisar. Wajar saja Ratu akan cepat tak bernyawa, jika sosok Kaisarnya seperti ini.
Ah! Kenapa aku berpikir sejauh ini? Bukankah aku sudah berjanji tidak akan peduli dengan hal apa pun yang menakutkan buatku, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan keluargaku.
***
Wajah Ayah dan Ibu terlihat lega saat aku baru saja turun kereta kuda. Ibu berlari menyambutku, seolah aku adalah putrinya yang sudah lama tidak bertemu dengannya.
"Kau baik-baik saja, bukan?" tanyanya sambil memperhatikan wajahku. Ibu pasti akan panik jika aku menceritakan Kaisar menghunuskan pedangnya ke leherku karena kecerobohanku. Biarlah rahasia itu hanya aku yang tahu.
"Seperti yang Ibu lihat," sahutku sambil tersenyum. Ayah kemudian mendekat dan sama seperti yang dilakukan Ibu, terus memperhatikan wajahku dalam-dalam.
"Kalian melihatku seolah aku adalah tahanan yang baru saja pulang," ucapku dengan wajah cemberut.
"Ayah dan Ibu tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," ucapku sambil berlalu dari keduanya dan menaiki tangga menuju kamarku.
Saat telah berada di kamar, aku melepaskan gaunku dengan cepat dan menggantinya dengan pakaianku yang biasa kugunakan, sepasang pakaian berwarna gelap yang biasa kugunakan untuk berburu bersama Gustav dan Leon. Pakaian gelap akan menyamarkanku saat berada di hutan. Tapi saat ini keduanya sedang tidak berada di rumah, aku akan berburu seorang diri.
Setelah bertemu dengan Kaisar yang membuat pikiranku menjadi tidak tenang, ada hal menyenangkan yang bisa kulakukan sekarang, yaitu berburu di hutan yang terdapat di seberang sungai menuju istana.
Aku harus menyenangkan diriku sendiri sebelum akhirnya akan menjadi penghuni istana. Rhys Logan yang menyeramkan itu pasti tidak mau memiliki istri yang pandai memanah sepertiku. Kurasa dia lebih memilih wanita yang pandai membuatkan sarapan pagi untuknya daripada yang bisa menarik busur panah sepertiku.
Tapi bagaimana jika saat aku telah menjadi penghuni istana dan aku ingin melakukan hal yang kusukai ini? Apa aku bisa diam-diam kabur sejenak?
Ah! Sudahlah, lebih baik kupikirkan hal itu nanti.
Setelah mengambil busur dan anak panah yang kusembunyikan di belakang lemariku, aku membuka jendela kamarku lebar-lebar dan turun dari jendela dengan melompat dari balkon menuju pohon besar. Dari pohon itu, aku baru bisa melompat turun menapaki tanah. Ayah maupun Ibu tidak akan suka dengan kesukaanku berburu ini. Sebenarnya Ayah tidak terlalu mempermasalahkannya, hanya kadang-kadang Ibu yang membuatnya jadi rumit. Katanya anak gadis harus anggun dan tidak boleh memegang senjata. Karena itu setiap kali aku akan berburu, aku selalu berpura-pura seperti ini. Sebelum matahari tenggelam, aku harus kembali ke kamarku sebelum keduanya sadar jika aku hanya pura-pura tidur.
Di punggungku sudah tersampir beberapa anak panah. Ada dua senjata yang kusukai untuk berburu, yaitu tombak dan panah seperti yang kugunakan saat ini. Kali ini aku ingin merasakan sensasi berburu dengan busur dan anak panah, sepertinya semua ini karena aku baru saja melihat senjata Kaisar tadi. Aku iri dengan busur dan anak panah yang dimilikinya. Sayang, aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya di hadapan Kaisar tadi, padahal dia telah bertanya apa saja yang kusukai.
Aku melangkah cepat dan kadang setengah berlari saat mendengar suara-suara binatang hutan. Berburu harus mengandalkan insting karena tidak semua binatang hutan akan muncul dengan mudahnya. Aku berharap peruntunganku hari ini bagus, paling tidak bisa memanah seekor rusa sudah cukup membuatku senang.
Aku mengikuti aliran sungai yang tidak terlalu deras sambil mataku sesekali mengedar ke sekelilingku. Banyak sekali ikan di aliran sungai ini, aku menyesal karena tidak membawa tombak. Jika tadi kubawa, mungkin beberapa ekor ikan besar ini akan menjadi santapan makan malam.
Mataku memicing saat mendengar suara yang mencurigakan mendekat. Dengan cepat aku menaiki pohon yang tidak terlalu tinggi. Dari atas pohon seperti ini, akan mudah melihat buruan.
Karena tergesa-gesa, aku sampai lupa mengikat rambutku yang terasa mengganggu saat berada di atas pohon ini. Aku mengikat rambutku dengan cepat, asal tidak mengganggu penglihatanku saja sudah cukup.
Suara yang cukup keras membuatku siaga. Buruan kali ini sepertinya lumayan besar. Aku tidak boleh tergesa-gesa karena biasanya pendengaran binatang buas sangat sensitif.
Di saat aku tidak sabar menunggu kemunculan binatang buruanku itu, entah kenapa aku malah membayangkan apa para penasihat kerajaan masih menginginkanku menjadi Ratu Northfourt jika mereka tahu calon ratunya seperti ini. Salah sendiri mereka memilihku, aku bahkan tidak pernah bermimpi bisa masuk ke istana yang terasa sangat tidak mungkin bagi rakyat biasa sepertiku ini.
Suara semak-semak yang diinjak membuatku semakin siaga. Aku menarik busur dan siap melepas anak panahku.
Bayangan hitam semakin terlihat jelas dan anak panahku ini terasa tidak sabar untuk dilepas. Napasku tertahan dan aku berharap saat aku kembali menarik napas, buruanku dibawah sana telah meregang nyawa karena anak panahku.
Anak panahku terlepas dan melesat dengan cepat ke bawah sana. Aku tidak sabar ingin melihat ke bawah sana. Sebelum aku sempat turun ke bawah, sesuatu melesat ke arahku dan menggores lenganku. Tubuhku limbung dan pijakanku di ranting pohon terasa tidak sempurna lagi. Aku berusaha menahan tubuhku dengan menggapai ranting-ranting di sekelilingku, tapi rasa sakit di lengan membuatku tidak bisa meraih dan berpegangan pada ranting dengan benar. Tubuhku melesat ke bawah, jatuh tanpa bisa kutahan lagi. (*)