6. Takdir

1623 Kata
Mana yang kupilih, mati di tangan Kaisar atau mati saat berburu seperti ini? Tentu saja tidak keduanya, aku masih ingin hidup dan melakukan banyak hal. Aku tidak akan mati hanya karena terjatuh dari pohon seperti ini. Yang paling parah mungkin hanya patah tulang. Aku membuka mataku saat tidak terasa terpaan angin yang menimpa wajahku lagi. Apa aku sudah terjatuh dengan sempurna ke tanah, tapi kenapa tidak sakit? Atau...jangan-jangan aku sudah tidak bernyawa lagi sampai tidak bisa merasakan sakit lagi. "Kenapa kau sangat ingin membunuhku?" tanya suara yang terdengar berat di telingaku. Tidak mungkin. Aku masih ingat dengan jelas suara ini. Suara yang baru saja kudengar beberapa saat yang lalu. Bagaimana mungkin ada kebetulan yang aneh seperti ini? "Yang Mulia?" Bukannya memberi hormat padanya, aku malah berwajah bingung sambil menatapnya. Saat menyadari jika saat ini aku selamat karena berada di pelukannya, kontan membuatku melompat dari tubuhnya. Aku berlutut dan tidak berani mengangkat wajah. Apa mungkin ramalan itu sebenarnya salah, jika Ratulah yang akan membunuh Kaisar? "Ampun, Yang Mulia. Hamba kira Yang Mulia adalah binatang buruan. Sungguh, hamba sama sekali tidak tahu jika ternyata itu adalah Yang Mulia," ucapku penuh rasa penyesalan. "Aku tidak menyangkan kita akan bertemu lagi secepat ini, padahal baru saja tadi berkata kita tidak akan bertemu lagi dalam waktu yang lama," katanya. "Apa yang kau lakukan d hutan seperti ini? Seorang wanita seorang diri, bahkan kau adalah calon Ratu Northfourt," sambungnya dan kontan membuatku kebingungan menjawab pertanyaannya. "Hamba...hamba sedang berburu," sahutku terbata. Hening setelah itu dan tidak ada lagi yang berbicara. Aku berharap jika semua ini membuat Kaisar berpikir dua kali untuk menjadikanku calon Ratunya. Seumur hidup, mungkin tidak akan ada Ratu yang sepertiku. Aku yakin, dia diam karena sedang memikirkan hal itu. "Kebetulan, aku juga suka berburu seorang diri. Melihat buruan meregang nyawa karena senjataku sudah seperti kesenangan sendiri. Sama halnya saat aku sedang membunuh musuhku," ujarnya dan membuat mataku membesar. Aku dan dia sama sekali berbeda, alasannya suka berburu terdengar menyeramkan. Dia suka berburu karena suka membunuh, itu yang kutangkap dari perkataannya. Aku masih terduduk di tempatku semula dengan posisi berlutut. Aku baru sadar jika rasa sakit di lenganku tadi karena anak panah Kaisar yang memang sengaja diarahkannya padaku. Mungkin dia mengira jika aku adalah mata-mata pemberontak yang sedang menguntitnya. Beruntung anak panah itu meleset dan hanya melukai kulitku. Dia mendekat ke arahku dan aku benar-benar tidak suka karena rasa takut perlahan menyergap dan membuatku ingin kabur saja. Apa ini takdir atau malah kebodohanku hingga di hari yang sama bisa dua kali bertemu dengannya. "Pantas saja kau terlihat sangat mengagumi senjata-senjataku tadi," ucapnya sambil mengulurkan lengannya. Mataku mengerjap, tidak mengerti dengan uluran tangannya. "Bangunlah," ucapnya sementara tangannya masih terulur padaku. Dengan ragu aku menerima uluran tangannya dan berdiri tepat di hadapannya. Matanya kemudian mengarah pada lengan kiriku, bukan luka yang perlu dikhawatirkan, hanya goresan anak panah. Tiba-tiba saja dia merobek pakaian yang menutup lenganku yang terluka. Aku tidak bisa bicara karena terlalu terkejut dengan perbuatannya. "Tidak ada satu pun anak panahku yang tidak beracun," ucapnya dan membuat wajahku memucat. Dia kemudian mengikat lenganku dengan robekan pakaianku tadi. Rasa sakit akibat ikatan kain itu tidak seberapa dengan bayangan akan apa yang terjadi padaku selanjutnya. Sebentar lagi racun itu akan menjalar ke seluruh tubuhku. Dan melihat kesenangannya membunuh orang, racun yang terdapat di anak panahnya ini pasti sangat berbahaya. Mataku membesar, kalau saja bisa mungkin akan melompat dari tempatnya saat dia menundukkan wajahnya dan menghisap luka di lenganku dan menghisap darahnya, dia kemudian membuang darah bercampur racun yang berhasil dihisapnya. "Jangan, Yang Mulia," tolakku penuh kekhawatiran. Bagaimana jika racun itu tertelan olehnya? Bukankah sama saja aku berencana membunuhnya kembali. "Diamlah!" ucapnya mirip sebuah bentakan. Aku mengikuti perintahnya dengan patuh. Bagaimana ini? Belum resmi menjadi Ratu saja, aku sudah sangat merepotkannya. "Sepertinya sudah aman," ucapnya sambil menyela mulutnya. Mimpi apakah aku semalam sampai seorang Kaisar hadir di hadapanku sedekat ini, bahkan melakukan hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukannya. Dia bisa saja meninggalkanku seorang diri di hutan ini dan tidak perlu memedulikan luka di lenganku ini. "Maafkan Hamba, Yang Mulia," ucapku sungguh-sungguh. "Jangan ucapkan maaf jika tidak ada kesalahan yang kau lakukan," sahutnya. Aku terdiam sambil memikirkan ucapannya. "Setelah ini aku harap tidak akan pernah bertemu denganmu seorang diri di hutan ini lagi," ucapnya. Jika sudah seperti ini, artinya dia tidak menyukai aku berburu. Wajar saja, seorang Ratu harus bersikap anggun dan serba tertata. "Tunggulah hingga kau tinggal di istana, kau bisa berburu denganku nanti," sambungnya. Apa dia tidak sedang bercanda? "Yang Mulia tidak sedang bercanda, bukan?" tanyaku tidak yakin. "Aku adalah orang yang paling berterus terang di Northfourt," jawabnya dan membuat senyumku terkembang. Itu artinya jika sudah berada istana nanti pun, aku masih bisa melakukan hal yang aku senangi. "Bagaimana lenganmu sekarang?" tanyanya kemudian. "Sama sekali tidak terasa sakit, Yang Mulia," sahutku jujur. Aku mengira dia akan memintaku untuk segera pulang tapi ucapan yang keluar dari mulutnya membuatku terpana. "Sebagai permulaan, aku akan menemanimu berburu. Kebetulan hari ini perasaanku sedang baik," ucapnya. "Ayo, cepat!" ajaknya tanpa menungguku untuk bersiap-siap terlebih dahulu. Aku mengejar langkahnya yang cepat. "Apa kau pernah melewati tempat ini?" tanyanya sambil menoleh ke arahku. Aku menggeleng karena hutan yang sedang kami masuki ini adalah milik istana, tentu saja aku tidak mungkin sembarangan memasukinya "Kau akan banyak menemukan binatang buruan di sini. Kesukaanku adalah beruang hitam," ujarnya. "Serius?" tanyaku dengan mata berbinar. Dia mengangguk dan membuatku semakin bersemangat. "Kau bisa memiliki busur dan anak panah milikku ini jika berhasil melumpuhkan seekor buruan di tempat ini," ujarnya dan membuat mataku membesar. *** Aku tersenyum lebar sambil meraba busur milik Kaisar yang kali ini telah resmi menjadi milikku. Ini hal yang sangat membahagiakan bagiku, bahkan melebihi rasa bahagia dari apa pun. Kaisar Rhys Logan tidak tahu dia sedang berhadapan dengan siapa, atau mungkin tadi dia hanya ingin mengujiku dan tidak serius dengan tawarannya. Dan lihatlah apa yang kudapatkan, dia bahkan mengakui kemampuan dengan memberikan busur miliknya ini. Seorang lelaki sejati harus menepati janjinya, sama seperti yang dilakukan olehnya. "Ilona...." Suara ketukan pintu kamar membuatku bergegas menyembunyikan busurku dan mencari pakaian lengan panjang untuk menutupi luka di lenganku. "Sebentar, Ibu," sahutku sambil mengenakan pakaian. "Utusan dari kerajaan baru saja menitipkan pesan untukmu," ucap Ibu saat aku membuka pintu kamarku. "Apa isi pesannya, Ibu?" tanyaku penasaran. "Kaisar Rhys Logan meminta pernikahan dipercepat, paling lambat minggu depan," ucap Ibu dengan wajah tegang. Yang benar saja? Kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri, bukankah tadi kami baru saja bertemu? "Atas dasar apa, Ibu?" "Karena Yang Mulia akan berangkat ke medan perang, dan diperkirakan baru akan kembali dalam waktu beberapa bulan yang akan datang," jawab Ibu. "Ibu semakin tidak tenang memikirkan ini semua," ucapnya lagi. "Harusnya pernikahan ini dilaksanakan setelah Yang Mulia pulang, bukan malah sebelum dia pergi seperti ini. Artinya dia akan meninggalkanmu seorang diri di istana." Wajah Ibu terlihat sedih. Aku tidak tahu harus berbicara apa untuk menenangkannya. "Apa Ayah sudah tahu?" tanyaku. "Sudah, tadi Ayah yang menerima kedatangan utusan dari kerajaan itu," jawab Ibu. "Semakin cepat kau ke istana, Ibu semakin tidak tenang," ucapnya. "Tidak ada yang perlu Ibu khawatirkan, istana tidak seburuk yang Ibu kira," ucapku. Walaupun sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu bagaimana keadaan di istana yang sebenarnya. Aku hanya berusaha menenangkan Ibu agar dia tidak merasa terlalu khawatir. Masalah bagaimana keadaan di istana nanti, akan kuatasi sendiri. Ayah dan Ibu tidak perlu memikirkan sejauh itu. "Jadi kapan aku akan dijemput ke istana?" tanyaku. "Kenapa sepertinya kau yang begitu bersemangat ingin ke sana secepatnya?" tanya Ibu curiga. Aku tertawa dalam hati, tidak mungkin aku bersemangat untuk bertemu dengan Kaisar yang menyeramkan itu. "Aku hanya ingin semuanya cepat selesai, Ibu. Terlalu lama dibiarkan seperti ini membuatku berdebar," sahutku. "Bukan hanya kau yang berdebar, tapi Ibu lebih lagi," ucapnya. "Beberapa hari lagi utusan istana akan menjemputmu untuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Kaisar. Andaikan Ibu bisa memberikan jalan keluar untuk semua ini, dan tidak perlu mengorbankan kau seperti ini," katanya lagi. "Aku benar-benar tidak apa-apa, Ibu. Jangan khawatirkan aku," ucapku sambil tersenyum lebar. Tak lama setelah aku dan Ibu selesai a berbicara, Gustav terlihat menaiki tangga dan menuju ke arahku dan Ibu. "Aku yang akan menemanimu ke istana nanti," ucap Gustav dengan wajah menegang. Sejujurnya aku sendiri juga merasakan hal yang sama sampai tidak tega membaginya pada yang lain. "Ternyata Kakak sangat perhatian padaku sa.pai membuatku terharu," ucapku sambil mengulum senyum. "Itu karena kau menikah dengan Kaisar, jika.kau menikah dengan orang-orang biasa, aku akan membiarkanmu begitu saja," sahut Gustav dan membuat Ibu tertawa kecil. "Aku tidak rela jika sebentar lagi harus memanggilmu Yang Mulia Ratu, kedengarannya sangat menggelikan," ucap Gustav. "Sudahlah, ayo temani Ibu memasak untuk nanti malam, kita akan memasak semua makanan kesukaanmu," ujar Ibu sambil membimbingku menuruni tangga. Aku dan Ibu memang sering bertengkar karena hal-hal sepele, dan juga cepat berbaikan kembali. Membayangkan saat aku berada di istana nanti, mendadak membuatku sedih. Siapa lagi yang akan perhatian padaku nanti. Selanjutnya aku akan menjadi milik istana, rasanya seperti tidak percaya jika aku akan menjadi Ratu Kerajaan Northfourt. "Ayah tidak menyangka jika mereka akan memintamu secepat itu, padahal mereka baru saja mengirimkan surat pada kita," ujar Ayah. "Apa yang kita takutkan, Ayah? Kenapa tidak kita tolak saja permintaan Kerajaan itu? Kita sudah rela memberikan Ilona pada mereka, harusnya mereka bisa menunggu, tidak terburu-buru seperti ini," ucap Gustav. "Benar yang dikatakan Gustav, kita tidak bisa tergesa-gesa memberikan Ilona seperti ini. Kalau memang Kaisar akan ke medan perang, yang pergi saja. Setelah pulang, baru melangsungkan acara pernikahannya. Bukan dengan tergesa-gesa seperti ini," sambung Leon. "Bagaimana Ilona?" Ayah menanyakan pendapatku dan tentu saja aku kebingungan karena tidak tahu apa yang harus kulakukan. "Ayah, aku tidak masalah jika pihak istana memintaku segera ke sana. Bukankah mau bagaimana pun, semua ini harus kita lewati. Mau sekarang atau pun menunggu Kaisar pulang dari medan perang, itu tidak akan mengubah takdirku menjadi Ratu Northfourt. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN