BAB 2

1324 Kata
Naura berdiri di depan pintu kamar. Wanita itu ragu untuk masuk, di dalam pasti ada Aril. Bu Sandra bilang, mulai hari ini ia harus tidur bersama Aril. Perlahan tangan wanita itu mulai meraih gagang pintu dan memutarnya. Pintu terbuka, tetapi Naura masih berdiri di ambang pintu, memperhatikan Aril yang tengah memindahkan bantal dari ranjang ke sofa panjang yang ada di kamar tersebut. Naura menutup pintu dan berjalan mendekati Aril. "Tuan, mau tidur di sofa?" Walau mereka sudah berstatus suami istri, tetapi Naura masih belum berani memanggil Aril dengan sebutan 'Mas' atau lainnya. "Kamu kalau mau bertanya mikir dulu! Ini rumah saya, ngapain tidur di sofa. Kamu yang akan tidur di sini!" bentak Aril. Naura terdiam kaku. "Dan ingat, jangan ngadu ke mama," tegas Aril. Aril mendengus kesal lalu berjalan menuju ranjang dan merebahkan badannya di sana. Pria menutup mata dan tidur memunggungi Naura. Naura menatap punggung Aril sendu. Dulu saat masih jadi pembantu sikap Aril tidak seperti ini padanya, masih ada sedikit kelembutan di dalam diri pria itu. Berbeda dengan sekarang, pria itu selalu mengeluarkan kata-kata pedas yang menghina dirinya. *** Pagi ini Aril dan Naura akan pindah ke rumah baru mereka. Pasutri yang baru saja menikah itu menarik koper mereka keluar rumah. "Kamu jaga Naura baik-baik. Sekarang dia itu menjadi tanggung jawab kamu karena kamu suaminya" tutur Bu Sandra yang mengantar putra dan menantunya sampai ke teras. "Iya, Mah." Aril menjawab singkat, raut wajahnya terlihat datar. "Naura pamit, ya, Nya—" "Mama!" sentak Bu Sandra. Baru saja kemarin ia mengingatkan Naura untuk memanggilnya mama, tetapi menantunya itu lupa lagi. "Eh, maaf, Mah. Mama jaga diri baik-baik, ya," pesan Naura. "Iya. Jangan lupa kamu sering-sering ajak Aril buat kunjung ke sini. Aril kalau udah sibuk bekerja, jadi lupa segalanya," kekeh Bu Sandra. Naura hanya tersenyum kaku. "Ya udah, Aril berangkat dulu. Titip mama, ya, Bik. Kalau terjadi masalah di rumah segera telepon saya," ujar Aril pada Bi Nur—pembantunya. "Iya, Tuan," balas Bi Nur. Pasutri tersebut lalu berangkat menuju rumah baru mereka. Lima belas menit menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah minimalis didominasi dengan cat berwarna putih tulang. Walau rumahnya tidak sebesar rumah Bu Sandra, tetapi tetap terlihat megah. Di depan rumah itu banyak terdapat tanaman bunga. Rumah itu dibeli dengan uang Aril sendiri. "Kamu keluarin koper dan bawa ke dalam!" perintah Aril pada Naura lalu berjalan lebih dulu memasuki rumah. Seharusnya dialah yang melakukan itu, tetapi malah menyuruh istrinya. Naura mengeluarkan satu koper berukuran besar milik Aril dan koper berukuran sedang miliknya dari bagasi mobil. Sedikit kesusahan karena koper itu terlalu berat. Naura lebih dulu membawa koper besar tersebut ke dalam rumah. Di dalam rumah tersebut sudah terdapat perabotan dan juga sudah dibersihkan. "Ini koper milik Tuan," ujar Naura pada Aril yang sedang bermain ponsel di sofa. "Lalu? Kamu bawa, dong, ke kamar saya. Itu, kan, tugas kamu!" bentak pria yang kini berumur 26 tahun itu. Umur Aril enam tahun lebih tua dari Naura. "Kamar yang mana, Tuan?" Aril menghela gusar. "Kamar di lantai atas. Setelah dari tangga kamu belok kanan. Di sana nanti ada dua kamar. Kamu pilih mana kamar paling gede. Nah, itu kamar saya." Naura mengangguk paham lalu menuju lantai atas. Wanita itu terlihat kesusahan menaiki tangga. Aril melihatnya, tetapi tidak mau membantu istrinya itu. Pria itu malah melanjutkan bermain ponsel. Setelah meletakan koper Aril ke kamarnya. Naura lalu mengambil kopernya di luar rumah dan menghampiri Aril kembali. "Kamar saya di mana, Tuan?" tanya Naura. Ia tahu Aril tidak akan sudi tidur sekamar dengannya. Walau sudah menikah, tetapi Naura merasa statusnya tidak berubah. Ia masih diperlakukan seperti pembantu oleh Aril. "Di belakang, kamar pembantu." Aril lalu berdiri dan menatap Naura sengit. "Walau sudah menikah, jangan harap kamu akan saya perlakukan sebagai istri. Bagi saya, kamu itu tetap pembantu. Derajat kita itu berbeda, kamu tidak pantas menjadi istri saya," tegas Aril lalu meninggalkan Naura menuju ke kamarnya. Naura menarik napas pelan dan mengusap dadanya. Ia tidak ingin mengambil hati akan perkataan Aril yang pedas. Menghadapi pria itu harus ekstra sabar. Lagipula Naura sadar yang dikatan Aril tadi memang benar, anak pembantu sepertinya memang tidak cocok bersanding dengan Aril yang merupakan seorang pengusaha. *** Naura menyusun barang-barang belanjaannya di dapur dan memasukannya ke dalam kulkas. Wanita itu tadi ke supermarket untuk membeli kebutuhan dapur. Naura berbelanja dengan uangnya sendiri, ia masih mempunyai sedikit simpanan. Naura tidak akan meminta uang pada Aril, kecuali pria itu sendiri yang memberikannya. Selesai menyusun belanjaan, Naura memutuskan untuk memasak makan siang. Ia memasak ayam goreng dan sup sayur. Wanita itu lalu memanggil Aril ke kamarnya untuk makan siang. "Tuan!" panggil Naura sambil mengetuk pintu kamar Aril. Ceklek! "Ada apa?" tanya Aril ketus yang kini berdiri di ambang pintu. "Saya udah masak makan siang, ayo makan!" "Saya gak sudi makan masakan kamu. Pergi!" usir Aril lalu menutup pintu kamarnya kasar. Membuat Naura sedikit terjingkat kaget. "Paling nanti dia juga laper dan makan sendiri," guman Naura. Baru kali ini pria itu bilang tidak sudi, biasanya Aril juga memakan masakannya saat di rumah Bu Sandra. *** Aril kini berdiri di balkon kamarnya. Tangan pria itu mengepal erat dan urat wajah ikut menegang. Tidak disangka statusnya kini sudah berganti sebagai suami. Hal itu membuat Aril ingin marah karena bukan menjadi suami dari gadis yang dicintainya. "Ini semua gara-gara Naura. Pokoknya Valerina gak boleh tahu kalau aku udah nikah. Bagaimana pun caranya, aku harus menyembunyikan pernikahan aku dari orang-orang." Itulah alasan Aril mengapa ingin pernikahannya dan Naura dilakukan secara tertutup. Dan alasannya pindah rumah adalah supaya tidak perlu bersandiwara di depan mamanya untuk memperlakuan Naura seperti seorang istri. Aril tidak bisa menganggap Naura istrinya karena ia tidak mencintai wanita itu. Valerina adalah kekasih Aril sejak SMA. Mereka juga sahabatan sejak kecil. Kini kekasihnya itu sedang melanjutkan S-2 nya di luar negeri. Orang tua Valerina pun juga ikut tinggal di sana. *** Ding! Dong! Bunyi bel rumah membuat kegiatan Naura yang saat ini sedang beres-beres terhenti. Wanita itu bergegas untuk membukakan pintu. "Permisi, Mbak. Saya mau ngantar pesanan," ucap seorang pria dengan memakai jaket berwarna hijau-hitam. Kening Naura berkerut menatap makanan yang dibawa pria tersebut. "Maaf, Mas. Tapi saya gak pesen makanan." "Saya yang pesan!" teriak Aril dan berjalan menuju pintu. Ia mengambil pesanannya dan membayarnya. "Terima kasih, Mas. Saya permisi." Orang yang mengantarkan pesanan Aril tersebut lalu pergi. Aril menatap Naura sengit lalu berjalan menuju ke meja makan. Naura mengikuti suaminya itu. "Tuan, kenapa pesan makan di luar? Kan, saya udah masak. Lagipula makanan di luar itu belum tentu sehat." "Terserah saya. Makanan ini saya beli pake uang saya, bukan uang kamu. Jadi, gak usah cerewet. Lagian saya gak nyuruh kamu buat masak," cerca Aril. "Kenapa Tuan malah marah-marah? Niat saya baik buat ngingetin Tuan." "Saya gak butuh niat baik kamu. Pergi, saya gak bisa makan kalau kamu tetap di sini!" Naura buru-buru pergi meninggalkan Aril ke kamarnya. Kali ini air matanya tidak terbendung. Kenapa Aril jadi bersikap seperti ini padanya? Apa salahnya? Naura tahu dirinya ini miskin dan tak pantas untuk Aril, tetapi tidak bisakah Aril menghargainya sedikit saja, ia juga punya hati yang dapat rapuh kapan saja. "Ibu, kenapa ibu juga harus pergi tinggalin Naura? Sekarang Naura benar-benar kesepian, Bu. Biasanya kalau Naura sedih, ibu yang bakal hibur Naura dan bikin Naura senyum kembali," lirih Naura yang teringat dengan almarhum ibunya. *** Malam mulai larut, Naura kini sudah bersiap untuk tidur. Baru saja memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu kamarnya diketuk. Naura segera bangkit dari ranjang dan membuka pintu. "Tuan, ada apa?" "Nih." Aril berdiri di hadapan Naura sambil menyodorkan sebuah amplop coklat. "Itu apa, Tuan?" tanya Naura yang masih belum mengambil amplop tersebut. "Tinggal ambil aja apa susahnya, sih? Gak usah banyak tanya. Ini uang bulanan. Jangan sampai kamu ngadu ke mama kalau saya gak ngasih duit bulanan buat kamu," cerocos Aril. Berbicara dengan Naura benar-benar membuatnya emosi. "Ambil!" sentak Aril karena Naura masih diam. Naura menerima amplop tersebut. "Makasih, Tuan." Bukannya menjawab ucapan terima kasih Naura, Aril malah pergi begitu saja. ~Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN