BAB 3

1327 Kata
Naura kini sedang sedang menyapu lantai di teras depan. Sesekali bibir mungilnya bersenandung kecil, mengusir kesunyian. Naura menghentikan kegiatannya ketika melihat Aril keluar dari rumah. "Tuan, mau ke mana?" "Saya mau ke mana itu bukan urusan kamu. Gak usah kepo! Kerjakan saja urusan kamu dan jangan ikut campur urusan saya!" "Kamu memang istri saya, tetapi itu cuma istri di atas kertas, bukan istri yang sebenarnya. Bagi saya kamu tetap pembantu, jadi janganlah bersikap kalau kita ini pasangan suami istri yang bahagia. Karena sampai kapan pun saya tidak akan pernah mencintai kamu," tekan Aril lalu berjalan memasuki mobilnya. Kendaraan roda empat tersebut melaju meninggalkan perkarangan rumah. "Andai aku punya uang buat bayar utang, aku gak perlu nikah sama Tuan Aril. Sampai kapan Tuan Aril akan bersikap seperti ini sama aku?" guman Naura. *** Aril memarkirkan mobilnya di depan rumah mamanya. Pria dengan kulit putih itu berjalan memasuki rumah megah tersebut. "Mama!" panggil Aril mencari mamanya. "Aril!" Bu Sandra yang baru saja keluar kamar, wajahnya langsung tampak ceria melihat putranya. Padahal baru satu hari Aril tidak tinggal serumah dengannya, tetapi Bu Sandra merasa rindu. Wanita paruh baya itu langsung bergegas menghampiri putranya dan memeluknya. "Mama kangen sama kamu." "Baru aja satu hari kita pisah rumah, tetapi mama udah kangen. Bagaimana kalau berhari-hari?" Tujuan Aril datang ke sini adalah untuk melihat kondisi mamanya. Sebenarnya, ia juga agak berat tinggal terpisah dengan sang mama karena mamanya itu punya penyakit jantung, Aril cemas meninggalkan wanita paruh baya itu. "Mama akan kangen berat," jawab Bu Sandra sambil melepas pelukannya. "Kamu datang sendiri? Istri kamu mana?" Mendengar kata istri raut wajah Aril langsung berubah masam. Dulu saat Naura masih menjadi pembantunya, Aril tidak sebenci ini pada wanita itu. Ia masih bersikap baik, tetapi sikap baik itu sekarang berubah 180 derajat menjadi benci. Setiap melihat wajah Naura, hanya amarah yang ada pada diri Aril. Ia selalu mengingat kekasihnya yang saat ini kuliah di luar negeri. Aril merasa sudah menghianati kekasihnya itu. "Aril, kenapa diam? Kenapa kamu gak ngajak Naura ke sini?" "Naura bukan anak kecil, Mah. Dia gak perlu ngikut ke mana pun Aril pergi. Sudahlah, Aril laper." Pria itu lalu meninggalkan mamanya menuju meja makan. Sejak pagi Aril memang belum makan, dan sekarang adalah makan siangnya. Naura sudah memasak, tetapi Aril tidak mau menyentuh makanannya. Karena hari ini hari minggu, jadi pria itu tidak ke kantor. *** Selesai makan siang Aril lalu pergi ke kolam berenang. Pria itu merogoh HP dari saku celananya dan menghubungi nomor seseorang. Panggilan terhubung, membuat seulas senyum langsung terbit di wajah pria itu. "Hallo, Sayang," sapa seseorang di seberang sana. Nada suaranya terlihat gembira. Aril termenung. Mendengar nada suara itu, membuatnya kembali merasa bersalah dan sedih. "Sayang, kenapa diam?" "Aril. Kamu di sana?" "Eh, iya. Maaf. Kamu apa kabar?" tanya Aril. "Aku baik-baik aja. Kenapa akhir-akhir ini kamu jarang ngehubungin aku? Kamu ada masalah?" "Maaf, aku sibuk sama tugas kantor jadi lupa buat nelpon kamu. Lagian aku juga gak mau ganggu kamu, kamu pasti sibuk belajar," kilah Aril. Pria itu masih belum memberitahu Valerina—kekasihnya—kalau ia sudah menikah. Aril tidak tahu apa yang akan terjadi jika Verina mengetahui hal itu. Aril tidak mau kehilangan kekekasihnya. "Ohhh. Kamu yang semangat kerjanya dan jangan lupa jaga kesehatan." "Iya. Gimana kuliah kamu?" "Lancar, kok. Sayang, aku kangen." "Aku juga kangen sama kamu," balas Aril. "Kapan kita bisa ketemu?" Deg! Pertanyaan itu seketika membuat Aril takut. Bagaimana jika Valerina kembali dari luar negeri dan mengetahui hubungannya dengan Naura. "Sayang, teleponannya kita lanjut nanti, ya. Aku kuliah dulu. Dah, Sayang. I Love you." "Love you too." Sambungan telepon lalu terputus. "ARIL!" Aril terjingkat kaget dan langsung berbalik badan. Matanya sedikit terbelalak melihat mamanya. Gawat, apakah tadi mamanya itu mendengarnya teleponan dengan Valerina. "Apa kamu udah kasih tahu ke Valerina kalau kamu dan Naura sudah menikah?" tanya Bu Sandra. Aril malah menunduk diam. "Jawab, Aril!" teriak Bu Sandra. Aril menggeleng pelan, membuat Bu Sandra menghela gusar. "Kapan kamu mau kasih tahu dan putusin dia?" "Aril gak bisa, Mah!" bantah Aril. "Sadar, Aril. Kamu itu sudah punya istri, gak sepantasnya kamu menjalin hubungan dengan perempuan lain." "Velerina bukan perempuan lain, dia kekasih Aril dan Aril sangat mencintainya. Valerina lebih dulu kenal Aril dari pada Naura. Justru, Naura lah yang menjadi perusak hubungan Aril dan Valerina." "Jaga ucapan kamu Aril! Naura itu istri kamu, perkataan kamu ini bisa membuat hatinya sakit. Sekarang kamu memang belum mencintai dia, tetapi kamu harus belajar membuka hati kamu untuk Naura. Suatu saat kamu pasti akan mencintai dia." "Belajar mencintai? Lihat wajah Naura saja sekarang Aril jijik. Sampai kapan pun anak pembantu gak akan pantas bersanding dengan majikannya!" PLAK! Bu Sandra melayangkan tamparan keras ke wajah Aril. "Mama gak pernah ngajarin kamu bersikap seperti ini. Jika bukan karena ibunya Naura, mungkin mama udah nggak bersama kamu lagi sekarang. Mana rasa terima kasih kamu pada Bi Diar?" "Hanya karena Naura, mama tega nampar Aril. Aril tahu, Bi Diar udah berkorban demi keluarga kita. Akan tetapi, kenapa harus Aril yang membalas jasanya dengan menikahi Naura?" Aris menarik napas kasar lalu berjalan meninggalkan mamanya. Namun, baru dua langkah saja tiba-tiba pria itu berhenti ketika melihat Naura berdiri tidak jauh di hadapannya. Naura terdiam kaku dengan mata yang meneteskan buliran bening. Ia mendengar perkataan Aril dan Bu Sandra barusan. Jika ditanya kenapa ia bisa sampai di sini? Tadi Bu Sandra meneleponnya, memintanya untuk datang ke rumahnya karena Aril juga ada di sana. Aril mengabaikan Naura dan berjalan melewatinya begitu saja. Tidak ada tanda-tanda kepeduliannya pada istrinya itu sedikit pun. Pria itu keluar dari rumah dan pergi dengan mobilnya. "Naura, maafkan Aril, Nak," ucap Bu Sandra sambil memeluk Naura. Wanita paruh baya itu ikut menangis. Melihatnya mama mertuanya menangis, Naura segera menghapus air matanya. Bu Sandra punya penyakit jantung, Naura tidak mau mertuanya itu sedih dan stres karena itu bisa berakibat buruk bagi kesehatannya. "Mama jangan nangis. Naura gak papa, kok. Naura gak marah sama Mas Aril, yang dibilang Mas Aril itu benar. Naura berasal dari keluarga miskin, gak pantas menikah dengan Mas Aril." Walau sebenarnya hatinya sakit, tetapi Naura mencoba untuk kuat di depan mertuanya. "Kamu jangan ngomong kayak gitu. Kamu pantas buat Aril. Arik bersikap seperti tadi karena dia belum bisa menerima kenyataan, ia butuh penyesuaian. Suatu saat dia pasti bisa menerima dan mencintai kamu." "Mama mohon kamu bersabar dengan sikap Aril. Jangan pernah minta cerai. Berjanjilah, apa pun yang terjadi kamu jangan tinggalin Aril. Teruslah berada di sampingnya. Mama gak tahu sampai kapan mama bisa bernapas. Jika suatu saat mama udah nggak ada di dunia ini, Aril nggak akan kesepian karena ada kamu di sampingnya," tutur Bu Sandra. Naura terdiam menunduk. Ia tidak tahu apakah dirinya sanggup bertahan dengan Aril. Jika bukan karena hutang, ia juga tidak mau menikah. Gajinya sebagai pembantu tidak cukup melunasi hutang. Mencari pekerjaan lain pun Naura tidak tahu harus kerja apa, ijazahnya saja hanya sampai SMA. *** Naura sudah kembali dari rumah Bu Sandra. Sampai di rumah wanita itu tidak melihat Aril. Tiba-tiba perkataan Aril tadi, kembali teringat olehnya. Membuat dadanya kembali terasa sesak. "Cukup, Naura. Kamu nggak boleh sedih. Itu nggak akan menyelesaikan semuanya, justru hanya membuat kamu terlihat lemah," lirih Naura. Wanita itu lalu ke kamar untuk membersihkan diri. Waktu terus berjalan, pukul delapan malam terdengar suara mobil Aril di luar rumah. Naura bergegas untuk membukakan pintu. "Tuan, dari mana?" "Bukan urusan kamu. Udah berapa kali saya bilang jangan ikut campur sama hidup saya. Bukannya tadi siang kamu dengan perkataan saya, seharusnya sekarang kamu marah dan benci sama saya. Kenapa masih sok peduli?" balas Aril. "Saya bukan anda yang hobinya marah-marah. Kalau Tuan marah-marah terus, nanti Tuan bisa kena strok, tapi Tuan nggak usah khawatir. Nanti saya bakal rawat anda, kok." "Kamu nyumpahin saya?" Aril menatap Naura dengan mata melotot. Yang ditatap hanya menampilakan raut wajah datar. "Nggak. Saya udah siapin makan malam. Tuan mau makan?" "Saya nggak mau makan masakan kamu." "Terserah anda mau makan atau nggak, yang penting saya sudah melakukan kewajiban saya," ujar Naura lalu pergi meninggalkan Aril ke kamarnya. ~Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN