Aril dengan wajah kusutnya keluar dari ruangan rapat, diikuti oleh sekretarisnya. Pria itu merasa kesal karena kalah tender. Tender proyek yang digadang-gadang akan menghasilkan keuntungan satu miliar rupiah dimenangkan oleh rivalnya.
"Gimana rasanya kalah sama gue?"
Mendengar suara itu, Aril menghentikan langkah dan berbalik badan. Rival yang dulu pernah menjadi sahabatnya kini berdiri di hadapannya. Gavin tersenyum sombong dan menatap remeh pada Aril.
"Nggak usah sombong. Lagian juga baru kali ini lo berhasil ngalahin gue. Mungkin ini cuma memang lagi keberuntungan lo aja," jawab Aril sambil tersenyum remeh.
Gavin terdiam, tidak punya kata-kata lagi untuk menjawab. Tangan pria itu terkepal kuat dan menatap Aril nyalang. Isi hatinya kini dipenuhi oleh dendam.
Tidak disangka, dua pria yang dulunya adalah sahabat akrab sejak kecil dan saling menjaga. Kini bersaing dan saling menjatuhkan. Hanya karena satu permasalahan membuat mereka jadi bermusuhan.
"Ayo pergi!" perintah Aril pada pria di sampingnya yang tak lain adalah sekretarisnya.
***
Aril sampai di rumahnya sore hari. Pria itu meletakkan tas kerjanya di meja ruang tengah dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Tangannya memijit pelipis, kepalanya terasa sedikit pusing. Akhir-akhir ini Aril memang banyak pikiran.
Naura baru saja dari teras samping menata tanaman, ia tidak sengaja melihat Aril di ruang tengah. "Tuan, anda sakit?" tanya Naura, pria yang berbaring di sofa itu terlihat lemas.
"Jangan ganggu saya, pergi!" usir Aril dengan mata terpejam. Namun, tidak ditanggapi oleh Naura.
"Kalau sakit mendengar tidur di kamar aja, Tuan. Jangan di sini. Tuan mau saya bikinin bubur?"
Aril hanya diam. Pria itu memejamkan mata sembari memijit pelipisnya.
"Tuan, kepala anda pusing? Mau saya beliin obat? Tuan!" panggil Naura mengeraskan volume suaranya karena Aril tak kunjung menyahut pertanyaannya.
"Kamu bisa diam nggak sih!" bentak Aril dan bangkit dari rebahannya. "Saya udah pusing mikirin pernikahan sialan ini, bagaimana jika nanti kekasih saya tahu? Dan ocehan kamu itu bikin kepala saya tambah pusing. Semenjak ada kamu hidup saya jadi berantakan!"
"Niat saya baik, tetapi kenapa anda malah marah-marah," balas Naura.
"Saya nggak butuh niat baik kamu!" teriak Aril. Membuat Naura sedikit terperanjat.
"Saya salah apa Tuan sehingga anda benci banget sama saya? Saya tahu saya miskin. Saya juga sadar kalau saya nggak pantas untuk anda, tetapi saya juga manusia, Tuan. Saya punya hati.. Saya nggak peduli jika anda tidak akan pernah mencintai saya dan menganggap saya sebagai istri, tetapi apakah anda tidak bisa bersikap baik dan nggak marah-marah sama saya? Saya nggak butuh banyak, kok. Saya hanya butuh dihargai," tutur Naura lalu pergi meninggalkan Aril ke kamarnya. Sedangkan Aril kini mematung menatap kepergian Naura.
***
Malam hari Naura keluar dari kamarnya. Waktu makan malam sudah lewat, tetapi Naura melihat makanan di meja makan masih utuh, seperti tak tersentuh sedikitpun.
Naura hendak memanggil Aril ke kamarnya untuk menyuruh pria itu makan. Namun, saat tiba di anak tangga pertama, wanita itu mengurungkan niatnya saat tiba-tiba teringat kejadian tadi siang di mana dirinya ribut dengan Aril.
"Percuma nyuruh dia makan, dia nggak bakal mau," guman Naura lalu pergi menuju dapur untuk mengambil kotak makan. Ia memasukkan semua makanan di meja makan ke kotak tersebut. Setelah selesai, Naura lalu ke kamar mengambil handphone dan jaketnya. Wanita itu lalu keluar dari rumah sambil membawa kotak makanan tersebut.
Naura memasangkan headset ke telinganya. Gadis itu berjalan menyusuri trotoar sambil mendengarkan lagu dari Arsy Widianto dan Tiara Andini yang berjudul Bahaya. Tidak terasa setitik air matanya jatuh. Rasanya ia ingin pergi dari kehidupan Aril. Namun, ia sudah terikat janji dengan Bu Sandra untuk selalu bersama Aril apa pun yang terjadi. Selama ini Bu Sandra juga sudah sangat baik pada Naura dan almarhum ibunya. Naura tidak tahu harus dengan cara apa membalas kebaikan Bu Sandra selain menuruti keinginannya.
Naura menghapus air matanya saat melihat seorang wanita paruh baya duduk di depan ruko dengan beralaskan kardu sembari mengusap kepala anaknya yang tertidur di pangkuannya. Naura berjalan mendekati mereka
"Permisi, Buk. Ini saya punya sedikit rezeki untuk ibuk dan adek, kebetulan hari ini saya masak banyak," tutur Naura sambil menyerahkan kotak makanan yang ia bawa ke ibu tersebut.
"Alhamdulillah .... Terima kasih, Mbak. Semoga allah membalas kebaikan mbak." Air mata wanita paruh baya itu langsung menetes. Sudah dari pagi ia dan anaknya tidak makan. Akhirnya sekarang Allah mendengar doanya sehingga hari ini ia dan anaknya tidak jadi kelaparan. Ibu tersebut lalu membangunkan anaknya.
Mata Naura berkaca-kaca. Padahal itu hanya sekotak makanan, tetapi ibu tersebut terlihat sangat bahagia sekali menerimanya. Jelas sekali jika ibu dan anak itu belum makan. Naura merasa bahagia bisa membantu mereka. Ia juga bersyukur masih diberi tempat tinggal yang layak dan makan tiga kali sehari.
***
Aril keluar dari ruang kerjanya dan menuju dapur untuk membuat kopi. Saat tiba di meja makan, pria itu merasa ada yang janggal. Di sana banyak piring kotor yang belum di cuci dan tumben sekali Naura tidak menyuruhnya makan.
Aril menuju kamar Naura dan mengetuk pintu kamarnya. "Naura!" panggil Aril, tetapi tidak ada jawaban.
"Naura! Itu meja makan kenapa nggak kamu beresin!" teriak Aril lagi. Karena tidak kunjung mendapat jawaban, pria itu lalu membuka pintu kamar Naura.
"Kok, nggak ada. Dia ke mana?" pikir Aril yang tidak melihat Naura ada di kamar. Aril bergegas ke ruang kerjanya untuk mengambil handphone dan menghubungi Naura. Nomornya berdering, tetapi Naura malah menolak teleponnya. Membuat Aril menggeram kesal.
"Mulai berani dia sama aku. Awas aja kalau nanti ketemu." Aril buru-buru mengambil kunci mobilnya dan keluar dari rumah, ia hendak mencari Naura.
***
Naura berdiri mematung, menatap layar handphone-nya. Ia baru saja menolak telepon dari Aril, entah mendapat keberanian dari mana sehingga ia berani melakukan itu? Naura sudah bisa menebak Aril pasti akan memarahinya karena keluar rumah malam-malam tanpa izin. Perkataan Aril tadi sore masih membekas diingatannya, Naura tidak mau lagi mendengar ocehan pria itu yang menyakiti hatinya.
Wanita itu memasukkan handphone-nya ke dalam saku jaket lalu melanjutkan berjalan kaki. Ia tidak mau menaiki kendaraan umum karena itu membuatnya lebih cepat sampai di rumah. Naura masih ingin berlama-lama di luar untuk menenangkan hatinya.
Tiba-tiba saja mata Naura membola saat melihat mobil Aril berhenti di dekatnya. Jantungnya pun deg-degan, apakah Aril sedang mencarinya dan akan memarahinya.
"Siapa yang ngizinin kamu keluyuran!" bentak Aril.
"Apakah mau keluar rumah harus minta izin ke Tuan? Saya punya hak untuk melakukan apa pun yang saya mau. Tuan nganggap saya cuma pembantu, jadi anda nggak punya hak ngatur-ngatur saya. Lagipula pekerjaan rumah saya udah selesai!" balas Naura dengan raut wajah datar.
Aril hanya bisa menghembuskan napas kasar dan menahan emosinya. "Masuk mobil!"
"Nggak! Saya bisa pulang sendiri!" Naura hendak pergi, tetapi baru satu langkah berjalan, Aril mencengkram lengannya kuat, membuat wanita itu meringis pelan karena kesakitan.
"Pulang sama saya. Ini udah malam, kalau nanti kamu digangguin sama penjahat saya jadinya yang repot!"
Naura menepis tangan Aril kuat. "Biarin aja, saya nggak takut. Lagian Tuan nggak usah sok peduli sama saya!" Kata yang pernah diucapkan Aril, kini Naura ucapkan kembali untuk pria itu.
Aril tersenyum kecut. "Nggak usah geer kamu. Saya nggak peduli sama kamu. Saya lakuin ini karena mama. Kalau sampai kamu kenapa-napa, mama akan marah ke saya."
"Terserah. Saya bisa jaga diri sendiri, nggak butuh perlindungan anda. Balik aja sana sendiri!"
"OKE! Saya juga males maksa kamu, buang-buang waktu. Jangan salahin saya jika nanti kamu digangguin preman atau diperkosa sekalian, atau mau dibunuh pun saya nggak peduli," ketus pria itu lalu memasuki mobilnya. Mendadak saja nyali Naura sedikit menciut, tetapi ia tetap tidak ingin pulang bersama Aril. Wanita itu menatap mobil Aril yang mulai melaju. Namun, baru beberapa meter mobil pria itu malah mundur kembali.
Aril keluar dari mobil dan berjalan mendekati Naura.
"Kenapa Tuan balik lagi? Pulang aja sana, saya nggak bu—Aaa!" Naura terperanjat saat tiba-tiba Aril menggendongnya ala karung beras.
"Tuan, turunin saya!" bentak Naura sambil memukul-mukul punggung Aril. Namun, Aril tidak memedulikannya. Ia membuka pintu mobil samping kemudi dan mendudukkan Naura di jok depan.
"Saya nggak mau pulang sama anda!" Naura hendak keluar lagi.
"Diam!" bentak Aril. "Jangan coba-coba keluar kamu!"
Aril bergegas memasuki mobilnya dan melajukannya pulang.
***
"Dasar pemaksaan! Tadinya bilang nggak peduli jika saya digangguin, diperkosa, atau dibunuh sama penjahat," sindir Naura ketika mobil Aril baru saja berhenti di garasi rumah.
"Saya tahu kamu itu orangnya sok. Mana mampu kamu lawan penjahat dan ngelindungin diri kamu!"
"Apa peduli anda? Bukannya saya ini cuma pembantu? Anda nggak punya hak maksa-maksa saya. Biarin aja saya dibunuh sama penjahat!" bentak Naura, membuat emosi Aril pun ikut meledak.
"Bukannya pembantu harus nurut sama majikannya! Jadi, saya punya hak untuk mengatur kamu!" teriak Aril emosi. Membuat Naura terdiam membeku dengan mata berkaca-kaca. Pandangannya lalu terjatuh pada jari manis Aril, pria itu tidak mamakai cincin pernikahan mereka, membuat hati Naura terasa pilu. Sepertinya Aril sengaja melepas cincin pernikahannya agar orang-orang berpikir kalau pria itu belum menikah. Apakah Naura memang tidak punya harapan untuk dianggap sebagai istri oleh pria itu?
Aril pun juga ikut terdiam dan mengalihkan pandangannya ke depan. "Turun," perintah pria itu tanpa menoleh pada Naura.
Naura bergegas turun dari mobil Aril dan berlari ke kamarnya. Wanita itu mengunci pintu kamar lalu menghempaskan badannya di ranjang. Kapan Aril bisa menghargainya? Apa orang miskin sepertinya memang tidak pantas untuk dihargai?
Jika bukan karena Bu Sandra, mungkin Naura memilih bercerai saja dengan Aril. Akan tetapi, ia tidak melakukan itu mengingat Bu Sandra yang memiliki penyakit jantung.
Bu Sandra pasti akan sangat terkejut mendengar keputusannya, ia pasti akan sedih dan itu bisa berpengaruh pada kesehatannya. Selama ini Bu Sandra selalu memohon agar Naura mau bertahan dengan Aril, ia percaya Naura bisa menemani Aril disaat ia sudah tidak ada lagi di dunia, sehingga Aril tidak akan merasa kesepian.
Bersambung