Bab 05

1448 Kata
"Ibuk, ayah, Naura kesepian. Naura nggak kuat hidup tanpa kalian berdua. Naura nggak punya temen untuk cerita isi hati Naura. Biasanya kalian yang selalu dengerin keluh kesah Naura dan beri Naura nasehat," isak Naura di samping makam ayah dan ibunya. Setiap kali mengingat orang tuanya, Naura selalu merasakan sesak. Jujur, dirinya masih belum kuat untuk ditinggal kedua orang tuanya. "Sekarang Naura sendirian, ayah, ibuk. Naura punya suami, tetapi dia nggak pernah nganggap Naura istrinya. Rasanya Naura pengen nyusul kalian aja. Naura nggak sanggup menjalani semuanya sendiri." Tangis Naura makin deras. Wanita itu lalu memeluk nisan ibunya. Sungguh berat rasanya hidup tanpa orang tua. Dulu saat ia menangis, ada ayah dan ibu yang mengahapus air matanya. Saat ia dibuli dan dihina orang lain, ada ayah yang memasang badan melindungi dirinya. Saat ia sakit, ada ibu yang rela tidak tidur semalam demi menjaga dirinya. Namun sekarang, saat harga dirinya di hina dan diinjak-injak oleh orang, bahkan suaminya sendiri. Tidak ada lagi tempat baginya untuk berpulang dan mengadu. Ia hanya bisa curhat pada Allah, betapa sedihnya ia saat ini. Naura yakin Allah mendengar doanya dan suatu saat memberinya kebahagiaan. Jduar! "Astagfirullah." Naura langsung beristigfar ketika mendengar bunyi petir yang menggelegar. Wanita itu menghapus air matanya dan memutuskan untuk pulang. *** Hujan turun sangat lebat. Membuat Naura yang masih di perjalanan pulang jadi basah kuyup. Hari mulai gelap, sehingga membuat wanita itu tidak mau berteduh. Ingin menaiki kendaraan umum, tetapi tidak ada satu pun yang lewat. Naura juga tidak bisa memesan ojek online karena handphone-nya ketinggalan di rumah. Sepasang kaki itu terus berjalan di aspal. Naura memeluk badannya yang mulai menggigil kedinginan. Sedangkan di lain sisi, Aril baru saja pulang dari kantor. Pria itu memelankan laju mobil saat melihat Naura berjalan kaki di depan. Aril menghentikan mobilnya di dekat Naura. Pria itu hendak memberikan tumpangan, tetapi mengingat kejadian semalam membuatnya emosi dan urung melakukan niatnya. "Dibaikin malah bikin dia tambah songong, bahkan berani nyindir aku. Semalam dia bilang bisa jaga dirinya sendiri, kan? Ya udah, biar dia buktikan omongan dia," guman Aril dan melajukan mobilnya kembali, tanpa menyapa atau menawari Naura tumpangan. Pria itu seperti tidak peduli jika istrinya kedinginan saat ini. Naura menatap mobil Aril sendu. "Dia mana peduli sama aku. Di dalam hatinya cuma ada kebencian buat aku," lirih Naura lalu melanjutkan berjalan. *** Seorang pria kini tengah fokus berkendara. Dia adalah Gavin. Pria itu baru saja kembali dari kantornya dan hendak pulang ke rumah. Mamanya pasti juga sudah menunggunya sekarang. Gavin menajamankan pengelihatannya saat melihat seseorang berjalan menembus hujan yang deras. "Kasihan perempuan itu. Badannya udah basah kuyup, pasti dia kedinginan," ucap Gavin prihatin. Gavin memelankan laju mobilnya dan berhenti di samping orang itu. Pria itu membuka kaca mobilnya. "Mau saya beri tumpangan, Mbak?" ucap Gavin. "Terima kasih, tetapi nggak usah, Mas," jawab perempuan itu yang tidak lain adalah Naura. Ia tidak mengenal siapa pria itu, bisa saja dia punya niat jahat. Naura harus berjaga-jaga. "Hujannya deras banget, nanti Mbak makin kedinginan kalau jalan kali. Mbak nggak usah khawatir, saya nggak punya niat jahat, kok," ujar Gavin jujur. "Nggak usah, Mas. Saya nggak mau ngerepotin. Lagian rumah saya udah deket, kok," balas Naura. Gavin terdiam. Perempuan itu tidak mau menerima tawarannya, Gavin tak mungkin memaksanya. Namun, Gavin kasihan melihatnya kehujanan dan kedinginan. "Ya sudah, kalau Mbak nggak mau. Tapi mohon diterima payung ini, Mbak. Biar nggak kehujanan lagi," pinta Gavin. Naura mengambilnya. "Terima kasih, Mas. Saya janji jika kita bertemu lagi, saya akan balas kebaikan Mas," ucap Naura. Sepertinya pria di dalam mobil itu benar-benar baik. "Sama-sama. Nggak usah dibalas, saya ikhlas, kok. Kalau gitu saya permisi dulu." Gavin lalu melajukan mobilnya kembali. Naura menatap mobil itu hingga menjauh. "Andai Tuan Aril juga baik seperti orang itu," lirih Naura. *** Sesampainya di rumah Naura langsung mengganti bajunya dan merebahkan badannya di ranjang. Wanita itu menarik selimut hingga menutupi seluruh badan. Tubuh wanita itu menggigil kedinginan. Wanita itu mengambil foto orang tuanya di nakas samping ranjang lalu memeluknya. Tadi saat sampai di rumah, Naura berpapasan dengan Aril yang baru saja menuruni tangga, pria itu hendak ke dapur. Akan tetapi, Naura tidak menyapanya. Wanita itu hanya memasang wajah datar dan meneruskan langkah ke kamar. "Ibu, Ayah, jemput Naura. Naura udah nggak kuat hidup kesepian. Naura ingin bersama kalian," ucap Naura dengan bibir bergetar. Kristal bening perlahan luruh dari pelupuk matanya. *** Malam menyelimuti kota Jakarta. Di luar hujan kini masih turun deras. Aril pergi ke dapur untuk meletakkan gelas bekas kopinya. "Duh, laper. Mendingan aku pesan makanan." Aril mendudukkan b****g di kursi meja makan lalu mengeluarkan handphone dari saku celananya. Tiba-tiba saja ia tersadar, kalau di meja makan saat ini tidak ada makanan. Lagi, hari ini Naura tidak menyuruhnya makan. "Dari sore tadi kayaknya Naura nggak keluar dari kamarnya. Dia, kan, habis hujan-hujanan. Jangan-jangan ...." Aril tidak melanjutkan perkataannya. Pria itu malah menuju ke kamar Naura. "Naura!" panggil Aril sambil mengetuk pintu kamar wanita itu, tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Karena pintunya tidak dikunci, Aril pun akhirnya membuka pintu itu. Kedua bola mata itu menatap sepenuhnya pada Naura yang kini menggigil di ranjang dengan badan terbungkus selimut tebal. Mata wanita itu juga terpejam. "Naura!" Aril menepuk pelan pundak wanita itu. "Ayah, Ibu, jemput Naura," racau Naura dengan mata masih terpejam. Aril menyentuh kening wanita itu. "Panas banget," ucap Aril dan seketika panik. Sepertinya Naura demam tinggi. "Naura, bangun. Hey!" Aril menepuk pipi Naura, tetapi wanita itu tidak kunjung membuka mata. Pria itu lalu berlari ke kamarnya untuk mengambil jaketnya dan kunci mobil. Ia lalu kembali lagi ke kamar Naura dan langsung menggendong wanita itu ala bridal style menuju mobil. Aril akan membawa Naura ke rumah sakit. *** "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Aril pada Dokter yang baru saja memeriksa Naura. "Demamnya cukup tinggi. Saya akan berikan resep obat supaya demannya cepat turun, silahkan nanti ditebus di apotik," ucap dokter tersebut lalu menuliskan resep obat di kertas dan memberikannya pada Aril. Aril lalu menghampiri Naura yang berbaring di brankar rumah sakit. "Ayo pulang!" Naura mengangguk lemah lalu turun dari brankar. Hampir saja wanita itu terjatuh, jika saja Aril tidak menahan tubuhnya. "Hati-hati," ucap pria itu dengan nada sedikit ketus. Naura berjalan lebih dulu, sedangkan Aril berada di belakangnya. Mata Aril tidak pernah lepas dari wanita itu, berjaga-jaga agar Naura tidak terjatuh. Selesai menebus obat dan membayarnya, Aril dan Naura lalu pulang. Saat diperjalanan Aril menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Pria itu lalu keluar dan meninggalkan Naura sendiri di dalam mobil yang kini tertidur. Tidak lama kemudian pria itu kembali lagi sambil membawa dua kotak makanan. Aril menoleh ke samping, menatap Naura yang menggigil kedinginan. Pria itu berdecak lalu melepas jaketnya dan menyelimuti Naura. *** "Naura, bangun! Kita udah sampai rumah." Naura melenguh, perlahan matanya terbuka. Wanita itu meringis dan memegang kepalanya yang sangat pusing. Tatapannya lalu terjatuh pada jaket yang menutupi tubuhnya. "Nggak usah geer dulu. Saya pinjamin kamu jaket karena kasihan, bukan peduli," ketus Aril lalu mengambil kembali jaketnya. Naura hanya memasang wajah datar dan tidak menanggapi perkataan Aril. Wanita itu lalu keluar dari mobil. Aril menyusulnya dan berjalan di belakang wanita itu. "Eh!" Aril reflek mehanan tubuh Naura yang hampir saja terjatuh. Wanita itu terlihat sempoyongan. Melihat tangan Aril di pundaknya, Naura lalu bergeser, menjaga jarak dari pria itu. "Sengaja? Pengan cari perhatiaan saya?" ketus Aril. "Saya yang cari perhatian atau anda yang mau modus?" balas Naura. "Modus? Sama kamu? Jangan kepedean!" "Cari perhatian? Sama Tuan? Nggak usah geer! Bukannya romantis, telinga saya justru panas dengerin Tuan nanti ngomel. Hobi anda, 'kan, marah-marah," balas Naura lalu melanjutkan langkah ke kamarnya. Aril menatap wanita itu sambil menggeram kesal. Untung saja Naura itu perempuan. Aril pergi ke dapur. Ia menyalin makanan yang di belinya ke piring lalu pergi ke kamar Naura. Lama-lama wanita itu membuatnya seperti pembantu. "Nih, makan. Jangan sampai nanti kamu mati karena nggak makan dan bikin mama saya sedih." Aril meletakkan makanan dan obat Naura di nakas. "Bagus kalau saya mati. Saya nggak kesepian lagi karena bisa ketemu ayah dan ibu," balas Naura, mendadak saja matanya terasa panas. Wanita itu mencoba bertahan untuk tidak menangis di depan Aril. Aril terdiam membisu sambil menatap Naura. Tidak lama kemudian pria itu kembali membuka suara. "Di makan, tuh, makanan. Atau tunggu saya suapin? Jangan berharap, deh. Saya bukan babu kamu." "Padahal pikiran saya nggak nyampe ke sana, atau Tuan yang berharap saya minta disuapin? Bukannya selera, nafsu makan saya malah hilang." "Cih, buang-buang waktu saya berharap kayak gitu. Lagian saya juga nggak niat nyuapin kamu." Setelah mengatakan itu, Aril lalu keluar dari kamar Naura. Setelah kepergian Aril, Naura pun langsung menangis. Mengeluarkan air mata yang sejak tadi ditahannya. "Sampai kapan hubungan aku dan Tuan Aril kayak gini? Aku bingung sama status aku sekarang. Kapan sih, Tuan, kamu bisa baik sama aku?" ~Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN