Riana masih di dalam perpustakaan dengan buku yang bercecer di atas meja sebagai temannya, tugas yang diberikan Afrizan kepadanya sangat banyak, ternyata hukuman guru-guru di sekolah ini tega juga terhadap muridnya.
" Ya Allah, kapan ini selesai?"
Ia menidurkan kepalanya ke meja, menghembuskan nafasnya lelah, mengapa gadis pendiam selalu menjadi sasaran kejahilan, dan dianggap sebagai gadis culun? Padahal penampilannya tidak seculun yang terlihat, ia malah terlihat modis, hanya saja ia tidak bisa memberikan feedback terhadap lawan bicaranya, dan akan kebingungan ketika berada di tempat keramaian, sering kali ia akan salah tanggap terhadap obrolan seseorang dan berakhir dengan mempermalukan diri sendiri.
Ia menatap jam tangan yang menunjukkan pukul 5 sore, ia berharap ketika sampai rumah nanti, ada suara yang penuh kehangatan serta pelukan kerinduan yang menyambutnya pulang. Mungkin orang lain akan sangat itu dengan kehidupannya dengan harta yang terbilang banyak, akan tetapi di balik semua itu, ia harus mengorbankan kehangatan keluarga dan kasih sayang kedua orang tuanya.
Dengan langkah lesu, ia berjalan pulang ke rumah, dengan membawa serta buku dan tugas yang diberikan Afrizan, masih ada setengah lagi yang belum ia ringkas, mudah-mudah sebelum pukul 8 malam, semua telah selesai, agar ia bisa menikmati waktu dengan membaca novel-novel kesayangan nya.
Di sepanjang jalan, tatapan mata Riana menyasar pada beberapa orang yang ada di pinggir jalan, dengan ke adaan lusuh, Kumal dan sangat tidak terurus, di tambah dengan beberapa nak kecil yang sedang membawa gitar dan krincingan yang terbuat dari tutup botol, tampak menyanyi dengan penuh percaya diri, mereka tidak memperdulikan keringat dan terik matahari yang membakar tubuhnya, Riana menyadari, bahwa kehidupan dirinya mungkin lebih baik dari pada anak-anak yang harus membanting tulang demi keluarganya, apalagi anak-anak yang tidak memiliki keluarga, bagaimana mereka bisa hidup?
Tatapan mata Riana jatuh kepada sepasang anak kecil yang di mana terlihat sang kakak tengah mencoba mendiamkan adiknya yang masih terus menangis di bawah terik matahari, tepat di perempatan lampu merah. Hati Riana terasa sangat di remas denga kuat, apalagi melihat tatapan sang adik yang menjurus ke rumah makan sebrang jalan, Riana tau permasalahan anak kecil itu, lalu turun dan menyapa keduanya.
"Hey, kenapa?" Kedua anak itu tampak kaget dan menjauh secara perlahan. Riana tersenyum memaklumi, mungkin ia terkenal dengan pendiam, namun untuk saat ini, suara sangat dibutuhkan.
"Jangan takut, kalian lapar?" Kedua anak itu mengangguk, dan kemudian sangkakak menggeleng pelan. " Gak, Kak. Hanya haus," Riana tau anak ini sedang berbohong, maka dari itu ia langsung menggendong gadis kecil yang ia yakini sebagai adik dari anak laki-laki yang terlihat menunduk dan berjalan dengan ragu.
"Kak, kakak bukan mau jual kami untuk di ambil organnya, kan?" Riana langsung tertegun, mengapa anak sekecil ini bisa mengetahui perdagangan manusia?
"Kamu tau dari mana?" Anak laki-laki tampan gusar, lalu matanya menatap Riana dengan pandangan duka. "Adik aku ada yang dibawa, Kak. Dan belum kembali sampai saat ini." Mata Riana membelak kaget, ia pikir itu hanya akan terjadi bukan di sekitarnya, ternyata anak-anak ini telah merasakan itu.
"Nama kamu siapa? " Tanya Riana ketika mereka sampai di sebuah rumah makan.
"Aku Yusuf, Kak. Dan ini adik aku, namanya Rindu." Riana tersenyum pelan, lalu diam dan tidak ada obrolan sama sekali, Rian bingung harus memulai obrola seputar apalagi, jadi dari pada membuat suasana canggung lebih baik ia diam.
Tak lama pesanan mereka datang, kedua anak itu tampak makan dengan lahap, sampai-sampai Riana merasa kenyang duluan sebelum memakan nasinya. Berapa lama kedua anak ini tidak makan? Melihat cara mereka menyantap nasi itu, Riana tebak mereka bukan hanya dalam kondisi kehausan, akan tetapi juga dengan kelaparan.
"Makasih yah, Kak. Seneng banget bisa kenal orang sebaik kakak." Yusuf menatap mata Riana dengan binar penuh bahagia. Riana sendiri hanya mengangguk, dan memberikan uang sakunya kepada dua anak ini. Hingga ketika Yusuf dan Rindu hendak menyebrang jalan, kejadian nya begitu cepat di depan Riana, suara benturan keras mampu membuat tubuh Riana membeku seketika.
"Yusuf, Rindu, kalian baik-baik aja?" Kedua anak itu tampak mengangguk pelan, Riana tampak mengehla nafas lega, ia pun langsung membawa kedua anak itu menuju rumahnya, semoga saja kedua orang tuanya belum pulang dari laut negeri.
20 menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah luas dengan perkarangan yang sangat indah, bahkan mata tuduh dan Rindu merasa sangat terhipnotis.
"Ini rumah siapa, Kak?" Rindu menatap Yusuf yang bertanya antusias. "Rumah kakak," sahut Riana dengan nada getir di dalamnya, rumah yang tidak seperti rumah baginya.
"Ayo, masuk."
Tubuh Riana menegang, sebuah pelukan hangat ia terima dari seseorang yang sudah hampir 2 tahun tidak bertemu dengannya, di sana, berdiri ayah dan ibunya yang menatap dengan raut heran.
"Riana, kenapa? Dan mereka ini siapa?" Tanya sang ibu lembut, Riana tertegun, sejak kapan ibunya selembut ini? Apa ia sedang di alam mimpi?
"Riana,hey, kenapa sayang?" Mata Riana mengerjap pelan, lalu menggeleng. "Bukannya Bunda lagi di luar negeri?"
"Hah? Sejak kapan, Bunda di rumah terus, gak kemana-mana. Aneh kamu, " ucap sang bunda dengan wajah yang mengkerut heran.
"Eh, kemarin bunda pergi sama ayah, sudah 2 tahun gak pulang."
"Kamu sepertinya sakit, sayang. Coba istrirahat aja dulu, mungkin efek kelelahan jadi berhalusinasi." Riana menggeleng cepat, bukan, dia tidak berhalusinasi, dirinya yakin kemarin sang bunda sedang berada di luar negeri.
"Lebih baik, Riana istrirahat saja, Ayah sama bunda juga mau pergi nemui kolega bisnis, gak papa kan, Riana ditinggal? Sebentar aja kok."
Riana hanya mengangguk kaku, tubuhnya kian kaku ketika ayahnya mencium keningnya sayang, astaga! Sebenarnya ada apa ini, dan sejak kapan kedua orang tuanya kalau mau pergi pamit semanis ini, Riana bahkan sampai lupa dengan dua anak kecil yang masih terhipnotis denga rumah nya.
Riana langsung tersadar, ia mengusap pelan kening yang bekas di kecup oleh ayahnya, sangat manis, dan hatinya terasa hangat, rasanya ia ingin menangis histeris sekarang, semua yang ia mimpikan ternyata menjadi kenyataan. Riana menatap dua anak yang menurutnya membawa hoki itu.
"Yusuf, Rindu, ayo ke atas, kamar kakak ada di sana, nanti kalian mandi duluan yah."
Lalu mereka bertiga memasuki sebuah kamar yang bernuansa putih dan ada dua pintu berwarna serupa di dalamnya.
"Kak, pintu ini berisi apa?" Rindu menunjuk pintu yang berada dekat dengan ranjang Riana, dengan tersenyum Riana membukakan pintu itu, dan betapa terkejutnya kedua anak itu ketika melihat apa yang berada di balik pintu, sebuah ruang baca lengkap dengan berbagai rak buku yang didominasi oleh novel, bahkan di tengah ruangan itu ada ranjang kecil yang mengahadap ke arah jendela luar.
"Woahhh... Bukunya banyak, ini perpustakaan yah kak?"
Riana mengangguk, ini merupakan ruangan khusus untuk dirinya, kesukaannya pada sebuah novel membuat ia memiliki niat membangung perpustakaan kecil, yang nyatanya berukuran sangat besar dan menampung ratusan novel yang telah ia beli dari dulu.
"Rindu, Yusuf. Kita mandi dulu yah, baru makan."
Kedua anak itu tampak mengangguk mengerti, keduanya berlari dengan riang menuju kamar mandi yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah lainnya.
15 menit kemudian, mereka telah menyelesaikan mandi dan kini Riana bingung harus memakaikan mereka baju yang mana? Sebab, Riana tidak memiliki baju dengan ukuran seperti Rindu dan Yusuf. Hingga sebuah ide tercetus di otaknya. Dengan cepat ia mengambil ponsel yang berada di atas nakasnya.
Belum sempat ia mengambil ponsel tersebut, mendadak tangannya berhenti ketika mengingat sesuatu. Sejak kapan ia memiliki ponsel selain dari telpon rumah? dan siapa yang akan ia hubungi?
"Kak, kenapa? " Riana menggeleng, ia mendadak merasa semua yang terjadi hari ini seperti pernah ia rasakan dan ia lihat. Tapi kapan? Dan di mana.
"Baju kami bagaimana, Kak?" Ah, Riana hampir lupa dengan keadaan Rindu dan Yusuf. Bagaimana ini, siapa yang akan ia hubungi? Akhirnya dengan rasa yang tidak menentu, Riana memutuskan menelpon salah satu orang yang terdaftar di paling atas riwayat panggilannya.
Anne...
Dering pertama, masih belum diangkat, Riana sendiri menggigit kukunya bingung, mengapa ia tidak memikirkan ini sebelum membawa kedua anak jalanan? Dan siapa itu Anne, mengapa dirinya seakan sangat dekat, hingga entah panggilan keberapa akhirnya sebuah suara terdengar dari sambungan, Riana melihat sebentar nama yang tertera di layar ponselnya.
"Halo, Ri. Kenapa?" Riana tampak tak tenang, ia bisa mendengar suara serak yang menandakan bahwa seseorang itu baru bangun tidur. "Halo, Ri, kenapa lu? Lu baik-baik, aja kan?"
"Nne, gue boleh minta tolong gak?" What the hell. Mengapa dirinya memakai Lo-gue?
"Apaan? Lu ganggu gue tidur, tau gak?"
"Eh, emm.. maaf. " Anne langsung tertawa keras, apa tadi? Sahabat oroknya ini mengucapkan maaf? Sejak kapan?
"Astaga.... Hahahahah... Sejak kapan elu kenal kata maaf? Orang nyungsep karna lu tabrak aja gak ada lu minta maaf, malah marah-marah." Mendengar ucapan Anne, Riana tertegun, kapan ia menabrak orang? Yang ada dirinya selalu yang ditendang.
"Anne, gue serius. " Anne langsung terdiam, ia sadar sahabatnya kini sedang serius dan mungkin ada yang penting.
"Kenapa? Lu baik-baik aja , Kan?"
"Lu dateng ke rumah gue, tapi sebelum itu lu beli dulu baju buat anak kecil perempuan sekitar umur 3 tahun, dan baju untuk anak laki-laki umru 5 tahun. "
"Anjir, Ri. Lu nyolong anak siapa?" Riana tidak menjawab, dan langsung mematikan panggilannya, ia kembali menatap dua anak kecil yang masih memakai handuk, tanpa memperdulikan dering ponselnya yang berbunyi secara beruntun. Lalu mengambil selimut dan melilitkannya ke tubuh ke dua bocah itu, namun lagi dan lagi pikirannya melayang pada kejadian yang ia alami hari ini, tentang bagaimana caranya kedua orangtuanya telah sampai di rumah? Dan ibunya mengaku tidak pernah pergi kemana pun? Lalu, siapa Anne dan mengapa ia merasa begitu dekat dengan wanita itu? Segala pertanyaan ini menghantui Riana.
Tok! Tok! Tok!
"Non, ini bibik. "
Riana tersentak kaget, bibik? Bibik siapa maksudnya? Bukannya ia tinggal hanya sendiri selain dari kedua orang tuanya?
"Siapa? " ucapnya setelah ia membukakan pintu, ia sedikit terkejut, apakah ini pekerja di rumahnya? Tapi sejak kapan?
"Emm.. ada apa yah, Bik?"
"Ini, tadi non Anne nitip ini, dia gak bisa masuk karna lagi buru-buru."
Riana mengangguk mengerti, lalu menerima paper bag yang diberikan bibik kepadanya.
"Makasih yah, Bik." Wanita paruh baya itu tampak terkejut dan mengangguk kaku. Namun Riana tidak terlalu memusingkan hal ini, ia menutup pintu dan menghampiri dua anak yang masih bergelung di bawah selimut, bahkan Rindu sudah terlelap.
" Rindu ketiduran? " tanyanya kepada Yusuf, bocah laki-laki yang tadinya sibuk menonton televisi itu pun tersadar jika sedari tadi sang adik sudah masuk ke alam mimpi.
"Yusuf aja baru tau, Kak." Riana tersenyum, laku menyerahkan paper bag yang berisi pakaian keduanya, dengan hati-hati, ia memakaikan baju kepada Rindu yang tampak tidak terganggu sama sekali, dengan gerakan yang Riana lakukan. Bahkan bocah cilik itu semakin merapatkan diri ke Riana mencari kehangatan.
"Yusuf, mau makan lagi gak?"
"Gak deh, Kak. Masih kenyang Yusuf, ngomong-ngomong Yusuf dan Rindu tidur di sini? "
"Iya, mau kan? " Yusuf mengangguk ragu. " Gak papa, Kak?"
"Gak lah, malah kakak senang, ada teman tidur."
Dengan gembira Yusuf menidurkan dirinya di sebelah sang adik, dengan sayang ia mengecup kening Rindu, lalu berbalik ke arah Riana.
"Terimakasih, Kak. Sudah mau membawa kami untuk malam ini di istana kakak." Riana sedikit terganggu dengan kata malam ini.
"Maksudnya malam ini apa? "
"Yah, malam ini, karna besok kak, Yusuf sama Rindu harus cari uang buat makan." Mendengar itu Riana langsung menggeleng tegas, apa-apaan anak ini? Ia pikir dirinya akan mudah membiarkannya bekerja mencari yang di usia yang masih semudah ini? Tidak akan. "Gak, Yusuf gak boleh lagi ke jalanan, Yusuf tinggal sama kakak aja, yah?"
Yusuf tampak berfikir dengan keras, keningnya sampai berkerut yang malah membuat Riana gemas. "Emm . Emang gak papa, Kak? Gak ngerepotin kakak?"
"Gak dong, pokoknya Yusuf dan Rindu tinggal sama kakak aja, yah? Sekaranh waktunya tidur."
Mereka bertiga telah hanyut ke dalam dunia mimpi, dengan posisi Yusuf yang berada di tengah, antara Rindu dan Riana. Dalam tidurnya, gadis itu tampak sedang berada di dunia yang asing, di mana ia melihat seorang gadis yang sangat mirip dengannya sedang tertidur juga dengan dua anak kecil yang sama persis dengan Yusuf dan Rindu. Mimpi yang membuat tubuh Riana bergetar dan kehilangan kendali.
Ia langsung membuka matanya dengan nafas yang memburu, bagaiman mimpi ini seakan menggambarkan dirinya sekali, dan hampir semua yang ia alami pernah ia alami, ia lihat dan ia baca. Hanya saja entah di mana.
Dengan lesu, ia mencepol asal rambutnya, lalu turun ke bawah dan melihat pemandangan yang tidak pernah lihat sekalipun, yaitu ibunya yang memasak, dan sang ayah yang sedang bersantai di ruang tamu.
"Eh, Riana sayang. Sudah bangun? " Riana mengangguk kaku, ada apa sebenarnya, ia seakan memiliki kehidupan yang sempurna, dan juga ia sudah mampu berkomunikasi dengan baik, tanpa embel-embel gugup dan terlihat bodoh seperti biasanya.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa aku seperti berada di dua dunia dengan kepribadian yang berbeda? "