Riana turun dan menghampiri sang ayah dengan sendirinya, bahkan Riana kebingungan melihat tubuhnya yang bergerak dengan sendiri tanpa ia perintah.
Cup!
Ia terbelak kaget, mencium pipi kanan dan kiri sang ayah, lalu merangkul lengan ayahnya dengan santai tanpa harus mendengar caci maki dan tatapan tajam dari ayahnya. Rasanya ini sangat nyaman dan membingungkan, sejak kapan ia bertingkah sangat menja seperti ini?
"Ayah, Riana boleh kan bawa Yusuf dan Rindu tinggal di sini ?"
"Boleh, kenapa gak? Biar putri ayah ini ada yang nemanin."
Keduanya tampak asik mengobrol dengan santai, bahkan hal ini sama sekali tidak pernah terjadi di hidup Riana selama 17 tahun hidup sebagai manusia. Hingga sekarang, ia sudah bisa merasakan bagaimana kehangatan keluarga itu, semoga bukan hanya sementara atau hanya sekedar mimpi saja.
"Sayang, ayo makan malam dulu, sekalian kamu bangunin itu Yusuf dan siapa tadi? Rindu yah? " Teriakan dari dapur berasal dari ibunya yang sedang menatap ke arah mereka dengan senyuman yang sangat lembut. Riana bergegas naik ke lantai dua, tempat kedua bocah menggemaskan itu tertidur.
"Yusuf, Rindu, bangun dulu, sayang. Makan yuk!" Riana menggoyangkan tubuh kecil mereka dengan pelan dan penuh kelembutan.
"Eunghh... Kak Riana, udah malam yah?" Riana mengangguk dan membenahi rambut Yusuf yang berantakan sehabis bangun tidur.
"ayo, kakak bangunin Rindu dulu, Yusuf cuci muka sana." Dengan patuh Yusuf mencuci wajahnya dan kembali ke tempat Riana yang sudah menggendong adiknya, Rindu.
"Ayo! Makan, di sana ada opa sana Oma."
Mendengar kata opa dan Oma, tubuh Yusuf meringsut takut, ia takut jika kehadirannya dengan Rindu membuat orang lain terganggu. Riana yang sadar akan ketakutan Yusuf mencoba menenangkan nya dengan menggandeng tangan mungil itu.
Sampai di meja makan, ketiganya disambut dengan hangat, bahkan ibu Riana dengan telaten menyuapi Rindu yang masih sedikit takut.
30 menit waktu sudah berjalan, mereka telah selesai makan dan memutuskan bersantai di ruang keluarga, dengan Yusuf dan Rindu yang menjadi pemeran utama dalam setiap cerita, kedua bocah itu tampak asik cerita tentang pengalaman mereka hidup di jalanan. Beberapa kali ibunya mengusap air mata dan ayahnya terlihat memeluk erat Rindu.
Riana tertegun, mengapa kedua orang tuanya berubah menjadi melonkolis seperti ini? Hampir dua jam mereka asyik bercerita, akhirnya memilih tidur dan kembali ke kamarnya masing-masing, Riana sendiri sudah mengganti baju Rindu dan Yusuf, dengan piyama yang tadi dibelikan oleh Anne.
"Sekarang kita tidur, " seru Rindu senang. Riana langsung terkekeh melihat tingkah lucu Rindu, lalu ketiganya masuk ke dalam mimpi masing-masing.
Sinar matahari mengusik Riana dari tidurnya, ia melihat ke sebelahnya, Yusuf dan Rindu masih asyik bergelung di bawah selimut.
Segera ia membersihkan diri untuk berangkat ke sekolah, hari yang baru, semoga saja ini menjadi gerbang awal kebahagiaan nya. 15 menit ia telah selesai bersiap, dan menuju meja makan yang sudah ada ayah dan ibunya.
"Pagi, Bun, Yah, " ucap Riana dengan mencium pipi kedua orang tuanya. Ia langsung mengambil roti yang telah diolesi selai oleh sang bunda. 15 menit cukup baginya untuk sarapan, ia segera berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda yang biasa ia pakai.
"Yah, Bun. Riana pergi dulu, nanti kalau Yusuf dan Rindu bangun, bilang aja Riana udah berangkat ke sekolah."
"Iya, sayang. Hati-hati berangkatnya, yah."
Riana langsung berangkat, ia mengayuh sepedanya dengan wajah yang berseri bahagia, namun ingatannya kembali lagi pada hari-hari sebelumnya, ia akan menjadi korban kejahilan sekelompok siswa yang memang senang membully siswa pendiam seperti dirinya. Ia hanya menghela nafas lelah, hari beratnya baru akan dimulai. Dan semoga ia masih sanggup menghadapi hari itu.
Sampai di gerbang sekolah, ia bisa melihat beberapa murid yang berpenampilan culun lah yang datang duluan, biasanya para berandalan akan menjadi murid penghias gerbang sekolah. Tapi tidak teruntuk Afrizan, entah apa yang membuat pemuda tengil itu bisa masuk ke dalam kelas tanpa ketahuan oleh guru piket, walau terkadang tetap saja ia mendapatkan hukuman.
Riana memarkirkan sepedanya di parkiran khusus sepeda, ia menuju kelasnya yang berada di lantai dua, sepanjang ia melewati koridor, ada banyak pasang mata yang menatapnya ngeri. Riana bingung, ia memang terbiasa di tatap aneh, namun sekarang ia sangat tidak paham, kenapa ia menerima tatapan seperti dirinya adalah hal yang menakutkan.
Riana masuk ke dalam kelasnya, dan disambut dengan senyuman, namun bukannya ia membalas senyum itu, Riana malah melengos dan duduk, sangat berbeda sekali dengan Riana yang biasanya akan terdiam dan tak lama kemudian akan membalas tersenyum.
Riana langsung berdiri kembali ketika duduk, ia melihat kursinya yang basah dan ada cairan berlendir di sana, apa ini? Ia pun mencolek cairan itu lalu menciumnya, akh! Ini cairan apa sih? Kenapa sangat bau?
Riana mengedarkan matanya ke seluruh ruangan, namun yang ia cari tampak tak ada, dengan penuh kekesalan ia mengelap kursinya sampai bersih. Lalu duduk kembali, ia sedang berfikir bagaimana dengan roknya yang kotor ini? Ia tidak memiliki rok lain di lokernya.
"Riana, tumben cepet?" Riana menatap gadis yang menyapanya dengan heran, siapa gadis ini?
"Riana, woy! Astaga, punya kawan melihara jin Tomang yah gini, ada kurang-kurang nya. "
Riana langsung tersadar, mungkinkah ini Anne? Yang mengaku sahabatnya kemarin.
"Riana, woy! Astaga, ngenes amat gue dicuekin." Rania langsung tersadar.
"Anne? " Tanya nya dengan nada kurang yakin, Anne menatap Riana dengan penuh selidik, sepertinya Riana terkena sawan kemarin, lihat saja tingkah nya sangat aneh. Belum sempat Anne memprotes tingkah Riana, seorang guru telah masuk ke dalam kelas, dan memulai pembelajaran.
Sepanjang pembelajaran, Riana menatap sekelilingnya mencari orang yang menjadi tersangka utama dari kejadian rok nya pagi ini, namun yang dicari sama sekali tidak ada batang hidungnya, malah kursi itu terlihat kosong melompong, apa pemuda itu terlambat lagi? Tapi seterlambat-lambatnya Afrizan, ia akan selalu bisa masuk ke dalam kelas. Lalu mengapa sekarang tidak.
"Riana, maju ke depan, jelaskan apa yang baru saja bapak terangkan." Perintah itu lantas membuat tubuh Riana membeku, sedari tadi ia sama sekali tidak fokus terhadap materi Y x X= Z. Dari mana asalnya Z? Dan apa itu Y dan X saja ia tidak tahu. Dengan langkah pelan, ia maju ke depan seakan memasrahkan diri untuk ditertawakan, namun yang terjadi selanjutnya membuat Riana menganga seketika.
Dengan cepat dan tepat, jaringa mencoret papan tulis putih dengan spidol, menjadi sebuah jawaban utuh, Riana tertegun sejenak, sejak kapan ia pandai dalam pelajaran menghitung? Ia bahkan terkejut melihat papan tulis yang semula tampak bersih, sekarang penuh dengan angka yang ia tulis tanpa ia sadari. Ia menatap takut ke arah guru yang menatap jawabannya dalam diam, di dalam hatinya, ia berdoa agar guru itu tidak meledak seperti pak Munar kemarin, karna kalau Sampai itu terjadi, ia akan memutuskan berhenti sekolah saja.
"Bagus, jawaban kamu benar semua, buat anak-anak yang lain, contoh Riana. Jangan asyik main saja tau nya." Seluruh murid tampak berseru iya, Riana yang masih berada di awang-awang, seketika tersadar ketika pundaknya ditepuk pelan.
"Riana, silahkan duduk."
Riana kembali ke kursinya dengan pandangan kosong, ia bahkan tidak menghiraukan Anne yang memberikannya senyuman bangga. Hingga bel istirahat berbunyi, Riana segera berkemas menuju perpustakaan tempat yang membuatnya nyaman.
"Riana..." Teriak seseorang yang mengejutkan ia yang tengah melamun, Riana melihat ke arah orang yang memanggilnya tadi, dan saat itu tubuhnya terlihat gelisah. Tapi secara spontan ia tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Anne, dari mana aja Lo?" Riana terbelak kaget, sejak kapan ia menggunakan bahasa elo-gue? Dan siapa gadis di hadapannya ini, ia seperti pernah mengenal nama Anne, tapi kapan?
"Gue dari kantin, elu kok mau ke perpus gak bilang ke gue?"
"Sorry, tadi gue buru-buru." Gadis bernama Anne tampak mengangguk dan mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan perpustakaan. Riana sendiri tengah berfikir keras, ada apa dengan dirinya? Apa yang terjadi? Dan siapa Anne ini? Kenapa ia bisa secara spontan menjawab dan mengucapkan semua kalimat itu? Riana menjadi pusing sendiri melihatnya.
"Woy, Riana! Lu kenapa sih? Aneh banget tau gak?"
"Gue gak kenapa-kenapa, cuma ada sedikit ganjil sih," ucap Riana ragu.
"Ragu gimana?"
"Emm... Anne, lu kenal gua?"
Seketika tawa Anne memenuhi ruang baca perpustakaan, membuat beberapa siswa yang kebetulan berada di sana menatapnya dengan tatapan tidak suka dan menyuruhnya diam. Anne sendiri langsung tersadar dan memelankan suara nya, sedangkan Riana malah menggetok kepala Anne dengan buku kimia yang ia pegang. Nah! Bukan nya tadi ia memegang novel yah?
"Ya, sorry, habisnya lu lucu, pertanyaan yang gak masuk logika tau gak, jelas gua kenal elu, kamvret. Gua ini temen dari orok lu, sejak lu masih dalam bentuk s****a aja, gua udah jadi temen elu."
Ada gitu persahabatan dari s****a? Riana hanya menggeleng pelan lalu menatap sekeliling ruang perpustakaan, semua orang tengah menatapnya, terkhususnya laki-laki, tapi bukan jenis tatapan yang sering ia terima, kali ini tatapan penuh pemujaan, dan juga senyum manis, ada apa dengan semua orang? Ia bahkan sama sekali tidak mengenal mereka semua. Atau hanya ia saja yang sudah amnesia?
"Riana, Riana...!" Panggil Anne dengan suara kecil, Riana langsung menoleh ke arahnya dan menatap anne penuh tanya.
"Itu di belakang ada Abraham, gak mau nyamperin?"
Alis Riana mengkerut, ia sama sekali tidak kenal yang mana Abraham, dan kenapa harus ia menghampiri pemuda yang bahkan bentuk wajahnya saja ia tidak tau. Tapi entah mengapa, secara spontan ia menolehkan wajahnya ke arah yang di tunjuk oleh Anne. Jantungnya tiba-tiba berdetak dengan cepat, ia bahkan merasa harus memegang erat jantungnya agar tidak terjatuh. Siapa pemuda itu? Dan apa hubungannya dengan dia?
Anne yang melihat Riana kembali melamun pun, dengan keras memanggil Abraham.
"Abra kadabra..." Panggil Anne dengan memplesetkan nama pemuda yang Riana lihat tengah menatapnya dengan senyum. Langsung saja Riana membuang muka, dan hal itu membuat pemuda bernama Abraham mengernyitkan dahi penuh tanya.
"Riana, kenapa?"
Riana langsung mendongak, dan lagi, ia tersenyum secara spontan dengan degup jantung yang tidak normal.
"Gak ada apa-apa, Ab."
Pemuda itu tampak memandangnya dengan intens sebelum tangan kirinya mendarat dengan sempurna ke kepalanya dan mengusap lembut disana.
"Kamu aneh hari ini, kebanyakan melamun, lagi mikirin apa?"
"Ah, gak. Kamu udah makan?"
"Udah tadi, bareng sama Rifa."
Senyum di wajah Riana langsung hilang seketika, dadanya tiba-tiba merasakan sakit yang amat sangat, bahkan ia sampai meringis sangking sakitnya, Anne yang melihat itu hanya bisa tersenyum lirih, gadis di hadapannya akan merasakan sakit jika pemuda yang bernama Abraham ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Rifa. Yang sayangnya adalah gadis yang menajdi tambatan hati Abraham sendiri.
Riana berusaha menghilangkan rasa sakit itu dengan menekan kuat dan memeras seragam nya. Hal itu tak luput dari pandangan Abraham, ia tampak khawatir dan panik.
"Nana, kamu kenapa? Apa yang sakit?"
Namun tidak ada jawaban dari Riana, gadis itu masih sibuk menenangkan dadanya, kenapa rasa sakit ini bisa muncul tiba-tiba? Dan mengapa sangat menyakitkan, bahkan sampai membuat ia menitipkan air mata seperti ini?
"Aku gak papa, it's okay. And please enough, I don't need your care feeling." Abraham tampak tertegun mendengar ucapan Riana, ia tidak menyangka gadis yang sangat ramah ini, melontarkan kalimat dengan suara yang dingin dan juga terlihat seperti muak.
"What's wrong, Riana? ada apa dengan kamu?" Riana menggeleng, lalu memutuskan keluar dari area perpustakaan, tentu, Abraham yang melihat itu merasa sangat heran, ada apa dengan gadis yang sudah menjadi temannya itu.
Riana sendiri semakin bertanya-tanya, kenapa ia bisa melakukan dan mengucapkan yang bahkan ia tidak ingin melakukannya? seperti ada penggerak. Dan mengapa saat ini rasanya ia ingin menangis dengan keras, padahal ia sama sekali tidak mengenal Abraham?
"Ini aku kenapa sih, ya Tuhan, kenapa pada aneh begini?"