Arifah Dalillah

2043 Kata
Kehadiran Riana ternyata membuat seseorang yang tengah duduk di atas pembatas dinding tersenyum cerah, ia bahkan sudah melompat turun secara cepat, dan menghampiri Riana yang masih termenung bingung. "Wess... Ada Riana nih, apa kabar?" "Afrizan? Bukannya tadi kamu gak sekolah?" "Lah, stres ni anak, gua masuk tadi, pas istrirahat. Hahahaha...." Riana semakin mengerutkan dahinya, situasi macam apa ini? Kalau di dalam mimpi, tidak mungkin disini ada Afrizan juga? Ia mencubit tangannya dengan kuat, lalu meringis kesakitan, membuat Afrizan menatapnya heran. "Lu Napa sih, anak ayam? Kehilangan induk, lu?" Riana menggeleng lalu gantian dengan cepat ia mencubit lengan Afrizan dengan kuat, sampai membuat sang empu tangan berteriak melengking, hal itu membuat Riana sadar, bahwa semua ini nyata. "Anjir, sakit, astaga." Afrizan mengusap lengannya bekas cubitan Riana yang sedikit memerah keunguan. Riana meringis pelan melihatnya, ia jadi takut setelah ini Afrizan akan membullynya besar-besaran. "Maaf, sengaja," ucap Riana seolah tak merasa bersalah. Afrizan meradang seketika, ia paling benci melihat orang yang berbuat kesalahan akan tetapi tidak menyesalinya, sama seperti yang kedua orang tuanya lakukan kepadanya. "Semahal apa sih maaf lu?" Riana tertegun melihat tatapan dingin yang sama sekali belum pernah ia dapatkan dari seorang Afrizan raja tengil. Afrizan merogoh saku seragamnya dan melemparkan uang bernilai ratusan ribu itu ke arah Riana yang menatapnya dengan sorot marah. "Gua bisa aja kasih Lo uang sebanyak apapun, tapi maaf itu gak bisa di beli, dan gua rasa lu orang paling miskin di dunia, karna kata maaf itu lebih mahal dari apapun." Afrizan langsung berlalu dari hadapan gadis tengil itu, ia tidak menyangka gadis yang sering ia bully jadi seberani itu dalam sekejap, ada apa dengan Riana ? Apa tadi salah makan? Riana sendiri yang melihat uang Afrizan di lantai langsung memungutnya, tatapan seluruh siswa yang kebetulan berada di sekitar lorong kejadian menatapnya dengan pandangan penuh tanya. Hingga tepukan di bahunya membuat dia harus mendongak. "Riana, ini uang siapa? Dan kenapa anak-anak pada natap elu," "Ini uang Afrizan, katanya buat elu. " "Hah? Kok tumben Afrizan ngasih gue uang? Mimpi apa tuh anak tadi malam?" Riana sendiri memilih bungkam dan berlalu dari hadapan Anne yang tengah kegirangan menadapat uang dengan nilai yang banyak. Riana masih kepikiran ucapan dari Afrizan tadi, sungguh, Ini sangat menganggunya, ia merasa sangat bersalah tadi, dan benar kata Afrizan, di dunia ini ada dua hal yang mahal untuk di lakukan. Dan hanya orang tertentu yang bisa melakukannya. Maaf dan terimakasih. Dua kalimat yang sangat jarang diucapkan padahal sangat singkat. Anne yang melihat dirinya di tinggal kembali oleh Rania hanya bisa mengumpati sahabatnya itu. "Astagfirullah, untung temen lu, Ri. Kalau gak, udah gua bejek-bejek sampai jadi rempeyek remuk. " Siswa lain yang melihat tingkah Anne pun hanya bisa tertawa. ----*----- Abraham sendiri tengah berada di sudut perpustakaan, setelah Riana pergi meninggalkan dirinya begitu saja, dan juga Anne yang mengejar Riana, ia memutuskan untuk tetap tinggal di dalam perpustakaan. Ia memikirkan tingkah Riana yang mulai berbeda semenjak ia mengaku ada perasaan dengan Rifa, ia belum bisa menyimpulkan apa-apa secara jelas, tapi dugaan sementaranya adalah Riana yang menyukai dirinya, meski jika dilihat lagi itu tidak mungkin. Riana sendiri bukan sosok baperan, bahkan selama ini ia memberikan perhatian lebih saja Riana hanya menganggapnya itu wajar, namun seakan teringat bahwa Riana adalah seorang wanita, dan wanita sendiri memiliki perasaan yang lembut dan mudah tersentuh, apa benar Riana memiliki perasaan terhadapnya? Abraham menggeleng, pikirannya semakin melantur saja, bisa saja kan Riana sedang ada permasalahan yang tidak ingin ia ceritakan kepada siapapun. Ya, pasti itu penyebabnya. "Abraham... Kamu aku cariin di mana-mana, malah ketemunya disini." Abraham kenal suara itu, suara gadis yang sudah 2 bulan sedang dekat dengannya. Gadis manis dengan lesung pipi dan juga pipi chubby yang sangat menggemaskan. "Ada apa, Hem?" Tanya Abraham dengan mengusap pelan bulir keringat yang ada di dahi gadisnya, Arifa Dalilah. Rifa sendiri merasa hal ini sudah biasa, Abraham merupakan kekasih yang tidak pelit terhadap perhatian, dan ia yang bersifat manja ini merasa sangat di istimewa kan oleh perhatian Abraham. "Nanti bisa antar aku ke bimbel gak?" Abraham tampak berfikir sejenak, jujur saat ini ia ingin mengajak Riana pulang bersama, agar ia bisa bertanya kepada gadis itu apa yang terjadi. "Emm,... Gak bisa, nanti aku ada urusan." "Urusan? Urusan apa?" Abraham diam sejenak, ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia ingin pulang barengan dengan Riana, bisa perang ketiga entar. "Biasa, urusan laki-laki. Aku nanti mau cari barang." Rifa mengangguk pelan, mungkin Abraham memang lagi tidak bisa mengantarkan nya ke tempat bimbel, berarti nanti ia akan memesan kendaraan online saja, praktis. "Yaudah deh, kamu hati-hati yah." "Kamu juga hati-hati, nanti pulang aku jemput, oke?" "Oke, sayang." Rifa langsung pergi dari hadapan Abraham, dan sekarang Abraham tengah memikirkan bagaimana cara mengajak Riana untuk pulang bareng, pasalnya ia sudah lama sekali tidak melakukan hal berdua dengan Riana, mungkin sejak ia melakukan pendekatan terhadap Rifa. Dan sekarang ia bingung untuk mengajak Riana, sedangkan Riana sendiri tadi sudah begitu sinis kepadanya. Abraham langsung meninggalkan perpustakaan dan menuju kelas, karena bel sudah berbunyi, di sepanjang jalan ia memikirkan cara yang tepat untuk mengajak Riana pulang bersama, hingga ia melihat gadis tersebut tengah menatap lapangan yang mulai sepi karena jam pembelajaran sudah dimulai kembali, gadis tersebut tampak murung dan tengah memikirkan sesuatu. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Riana? Mengapa menjadi aneh seperti ini. Sepanjang pembelajaran, Abraham sama sekali tidak konsentrasi, perkataan Riana ketika di perpustakaan nyatanya mampu membuat ia gamang, ia seakan tidak rela jika Riana mengambil jarak dan langkah yang begitu jauh darinya. "Abraham." Panggil pak Broto yang saat ini tengah mengajarkan biologi. "Saya, Pak" "Apa yang di maksud dengan tumbuhan berumah dua?" Abraham agak gelagapan, ia sama sekali tidak mendengarkan penjelasan dari sang guru tadi, kali ini tamatlah riwayatnya. "Saya tau Pak, tumbuhan berumah dua itu, dia mempunya dua rumah, di tempat yang berbeda. Mungkin timbunannya sultan pak, jadi banyak rumah. " Seisi kelas langsung tertawa mendengar jawaban dari seorang murid yang duduk di bangku paling pojok, Afrizan. Yah, Afrizan juga berada di kelas yang sama dengan Abraham, dan Riana, namun Riana sedang membolos dengan berada di taman belakang, pak Broto hanya menghela nafas lelah, semua guru Sudah biasa dengan tingkah jahil pemuda satu itu, bahkan ada banyak guru wanita yang telah di buat menangis oleh murid badung itu. hanya bisa menggelengkan kepalanya takjub, terbuat dari apa otak anak didiknya ini? Sangat jenius, sampai hampir menuju i***t. "Afrizan, tumben kamu masuk?" "Lah, saya masuk salah, saya bolos salah, emang yah, pak. Yang benar itu cuma perempuan, wanita, gadis, perawan, janda. Kalo seperti saya mah, cuma gudang salah dan dosa, padahal setiap manusia kan memang tidak luput dari khilaf dan salah, duh... Jadi sedih saya, Pak." "Akh, sudah-sudah, kamu malah ceramah lagi, tinggal jawab saja harus sepanjang itu." Afrizan tersenyum puas, di mana ada Afrizan di situ ada kejahilan. Baginya, hidup itu untuk mencari kesenangan diri sendiri, ia tidak akan membebani dirinya untuk memikirkan kebahagiaan orang lain, karena belum tentu orang itu memikirkan dirinya juga. Dengan membuat orang kesal dan marah, rasa dendam dengan kedua orang tuanya tak akan terbayarkan, meski tidak sepenuhnya rasa sakit hatinya hilang. "Kamu tidak seistimewa itu, sampai saya rela meninggalkan tender bernilai fantastis untuk acaramu yang tidak berguna. Istimewa yah? Ia tidak pernah merasa begitu diistimewakan oleh siapapun, bahkan kedua orang tuanya. Afrizan menatap seluruh kawan sekelasnya, rata-rata dari mereka memiliki orang tua yang penyayang, terbukti dengan setiap liburan akan ada cerita kehangatan keluarga yang mereka bagikan, berbeda dengan dirinya yang hanya bisa menghabiskan waktu di rumah sendiri, sekedar nongkrong saja ia enggan, karena tidak ada orang yang benar-benar bisa menerimanya dengan tulus. "Afrizan! Kamu dengar saya tidak?" Suara melengking itu mengejutkan Afrizan, dengan cengiran polosnya, Afrizan menggeleng mantap. "Apa yang kamu pikirkan , Afrizan?" "Mikirin masa depan saya bersama Riana, Pak," ucapnya yang dengan kebetulan Riana masuk ke ruang kelas, dan berdiri kaku di depan pintu dengan wajah melongo kaget. Seisi kelas langsung bersorak riuh, pipi Riana bersemu merah, lalu tatapannya jatuh kepada pemuda yang melihatnya dengan intens, Abraham. Abraham sekelas dengannya? Sejak kapan? Riana terdiam dengan pandangan tertuju pada Abraham yang tengah tersenyum. "Afrizan, sepertinya masa depanmu menolak kamu, saya turut prihatin. " Sontak celetukan pak Broto membuat semua anggota kelas tertawa mengejek Afrizan, bahkan ada yang memberikannya tisu untuk mengelap air matanya. "Riana, kamu tega banget sama aku, " ucap Afrizan dengan nada merajuk, Riana sama sekali tidak menghiraukan Afrizan, ia hanya terfokus dengan Abraham yang ikut tertawa lebar, mengantarkan getaran aneh di dadanya. "Afrizan gila! " Ups! Dengan spontan Riana menutup mulutnya, ia menatap ke arah Afrizan takut-takut, namun di luar dugaannya, laki-laki itu malah terlihat tersenyum dan tertawa keras. "Nah, gini baru Riana, gadis tukang ngegas." Setelah mengucapkan itu, Afrizan langsung termenung, ia seakan teringat sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia melihat ke arah Riana, ingin mengucapkan sesuatu, malah bibirnya seperti terkunci rapat, ia bahkan malah asyik tertawa padahal itu bukan keinginannya, sedangkan Riana yang melihat Afrizan menyadari, jika pemuda itu juga merasakan hal yang sama seperti dirinya. Ia bahkan hanya mengangguk tanpa di perintah lalu menginjak keras kaki Afrizan. "Awws... Sakit banget, cewek bar-bar emang lu." Riana tidak peduli, ia langsung duduk tepat di sebelah Abraham, tanpa menghiraukan Abraham yang menatapnya penuh selidik. "Nana, jujur sama aku, kamu kenapa?" Riana menghadap Abraham sebentar, lalu fokus keoada penjelasan pak Broto yang seakan lupa menanyakan dari mana dia. "Riana, " panggil Abraham lagi. "Kenapa?" Riana menatap Abraham sinis. "Kenapa, Ab?" Abraham tertegun sejenak, panggilan itu, bukan panggilan Riana seperti biasanya. "Kamu yang kenapa, Na? Kenapa berbeda?" Riana menggeleng, laku tersenyum tulus yang Abraham tahu itu bukan senyuman yang biasa Riana perlihatkan kepadanya. "Gak akan ada yang kenapa-kenapa, selagi elu bisa batasi diri, Ab. Jadi stop peduliin gue." Abraham memilih diam, ia tahu kondisi hati Riana sedang tidak baik. Sedangkan Riana sendiri mulai berfikir untuk mencari tau semua hal ganjal ini, terlebih lagi ia seperti pernah membaca dan melihat adegan dan ucapan persis seperti yang sedang ia lakukan saat ini, hanya saja ia masih bingung harus memulai dari mana. Mungkin nanti ia bisa bertemu dengan Afrizan dan membicarakannya dengan laki-laki itu. Pembelajaran telah usai, Riana sendiri memilih langsung berkemas dan pulang tanpa kata pada Abraham, pemuda yang semula ingin mengajak Riana pulang bersama itu langsung mengejar dan menahan langkah Riana. "Riana, tunggu!" Riana berhenti dan menatap Abraham dengan raut penuh tanya. " Kita udah lama gak pulang bareng, ayo pulang." Abraham bergerak menggenggam tangan Riana, namun belum sempat menggapai tangan itu, panggilan seseorang menghentikan langkah mereka. "Abra! " Terlihat Rifa berlari dengan tergesa ke arah Abraham, ia bahkan sudah menggenggam tangan Abraham yang tadinya ingin menggenggam tangan Riana. "Abra, ayo antar aku ke tempat bimbel." "Bukannya kamu udah dari tadi berangkat? " Tanya Abraham heran, pasalnya ini sudah lama dari waktu Rifa pulang, dan sudah seharusnya gadis itu tengah berada di jalan tempat ia bimbel. "Gak, hp aku tiba-tiba mati, kehabisan baterai. Kamu antar aku, Yah?" Abraham tanpa menimang sejenak, ia menatap Riana yang terlihat acuh bahkan tidak peduli dengan tingkah Rifa, Abraham terlihat bingung, dengan menghela nafas ia melepaskan tangan Rifa, Riana yang melihat itu merasa hatinya lega seketika tanpa ia sadari kenapa. "Tunggu di motor aku," ucap Abraham yang membuat Rifa kegirangan dan tanpa sadar menambah luka baru bagi Riana, ia hanya bisa tersenyum sinis, semua akan berubah karena cinta kan? Baik itu persahabatan maupun hubungan lainnnya, akan rusak karena perasaan cinta? Riana tidak bisa menyalahkan Abraham untuk ini, karena ia sendiri juga bingung bagaimana bisa ia berada diantara kisah yang mengenaskan. Seperti dalam novel yang pernah ia baca saja. Kepada angin yang membawaku. Astaga! Ia baru tersadar akan sesuatu, mengapa kisahnya ini sangat mirip dengan novel tua itu? Bahkan beberapa adegan yang masih ia ingat di dalam buku itu, persis yang ia lalui dari kemarin, dan Anne, Abraham? Mereka adalah orang yang berperan, lalu Afrizan datang dari mana? Ia harus segera membuka novel yang ia temukan di perpustakaan itu, semoga itu bisa menjadi petunjuk untuk kejanggalan ini. "Riana, maaf. Hari ini aku mau antar Rifa, kamu bisa pulang sendiri?" Riana menatap mata itu dengan pandangan tenang. " Bukannya ini udah biasa, yah? Dan gue gak harus merasa terkejut sih. " Tubuh Abraham menegang, ucapan Riana menampar dirinya bahwa kejadian ini bukan lah yang pertama kali. Riana langsung pergi, ada hal lebih penting dari pada Abraham, masalah hatinya, biar ia saja yang tau, cukup mulai sekarang ia menjaga jarak dengan Abraham.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN