PROLOG

1685 Kata
“Abang….,” panggil Bintang dengan manja, perempuan berusia 17 tahun itu tidur disamping kembarannya yang sedang melakukan diskusi dalam panggilan video. “Diem, Bie…” Remaja itu terpaksa me-mute suara dulu. “Jangan sampe kamu nongol di layar.” “Enggak, ini Bintang ngumpet. Lagi butuh energy dari kembaran aja,” ucapnya menjadikan paha Angkasa sebagai bantalan. Remaja laki-laki itu membiarkan sang adik melakukan apa yang dia mau, sesekali tangannya mengusap rambut Bintang yang tiduran dengan nyaman. Menginjak kelas XII membuat Angkasa lebih sibuk dari kembarannya. “Bangun, udah beres diskusinya.” “Jadi ketua Osis serumit itu ya? Capek banget kan?” “Tapi bikin kamu nyaman pas Ospek ‘kan?” “Iya banget, gak ada yang berani gangguin Bintang,” ucapnya bangkit dan memeluk Kakak beda 10 menitnya. Bintang memang telat masuk sekolah dua tahun karena dia sempat sakit parah ketika berumur 6 tahun. Ditambah Angkasa memang pandai hingga dia sudah kelas 3 SMA saat ini. “Katanya mau ke rumah Oma, Bintang mau ikut. Gak mau dirumah sendiri.” Berhubung orangtua mereka sedang dalam perjalanan dinas keluar kota bersama si bungsu. “Kamu gak jadi main sama temen?”” “Gak jadi, dia harus pergi sama pacarnya. Bintang belum punya pacar, jadi sama Abang aja dulu.” “Pacar apaan. Fokus sama pendidikan dulu, otak kamu tulalit,” ucap Angkasa menggendong sang adik di punggungnya. Membuat perempuan itu terkikik dan menciumi pipinya beberapa kali. Karena rumah Oma dan Opa mereka jauh, harus berkendara sekitar 30 menit. Sebelum sampai di tempat, Bintang merengek ingin membeli kue cokelat dulu. “Sekalian buat Oma ya, Bang? Tapi Abang yang bayar.” “Boleh.” “Asyikk!” pekikan Bintang itu membuat pelanggan lain menoleh. Salah satunya teman sekelas Bintang, dia datang menyapa. “Hei, Bintang?” “Eh, Aldo?” Dia segera melepaskan pelukannya pada Angkasa. “Minggu kemaren lu gak masuk kelas karena ke Bandung ‘kan? Mana oleh-oleh buat gue?” “Besok deh, sekalian sama anak-anak kelas juga. Btw…. Lu sama Ketua Osis?” “Hah? Enggak, gu─” “Dia sama gue lagi jalan, permisi dulu,” ucap Angkasa merangkul Bintang lagi dan membawanya melangkah pergi. “Siapa dia?” “Calon crush aku, Abang apain sih. Jadikan dia minggat tuh. Ah males ah.” “Udah dibilangin focus belajar. Lagian kalau gak gini, nanti banyak cowok yang berani deketin kamu terus mainin kamu. Abang itu tahu apa yang ada dipikiran mereka.” “Nyee Nyee Nyeee.” Ledekan Bintang itu membuat Angkasa kesal dan menggelitik perut adiknya ketika di dalam mobil. “Hahahahaha! Udah ahhhh! Ayok berangkat! Nanti Oma nunggu di rumah!” Melanjutkan perjalanan, Oma Dara jatuh sakit. Dan selama dua tahun terakhir, dia menghabiskan banyak waktunya di rumah. Opa Ajun seringkali pergi keluar kota bahkan Negara untuk mengurus cabang klinik mereka diluar sana. Jadi terkadang Oma Dara sendirian di rumah, anak kembarnya; Mawar dan Melati juga mengurus cabang rumah sakit keluarga yang ada di luar Negara. “Omaaaaaa!” Tangan Bintang merentang ketika melihat wanita paruh baya yang duduk di kursi roda. “Kangennn bangetttt!” “Kangen sama Oma? Yakin? Biasanya nempel ke Opa mulu.” “Ih Oma jangan gitu, Bintang bawain makanan enak loh buat Oma. Ayok masuk ke dalam, Bintang yang dorong kursi rodanya ya.” “Pipi kamu kenapa merah, Nak?” “Dicubit Abang tuh.” Oma Dara menoleh. “Mana cucu kesayangannya Oma? Abang Angkasa?” “Disini,” jawab pria itu memberikan makanan pada pelayan sebelum datang pada Omanya dan memeluk erat. Membuat Bintang memutar bola matanya malas. “Gak sabar nunggu Opa pulang, pengen minta jajan.” “Halah! Sini kamu, Oma juga punya duit ini!” Seringkali bercanda tentang cucu kesayangan, tapi Oma Dara menyayangi keduanya. Senang ketika mereka berdua berkunjung, apalagi saat melihat cucu kembarnya begitu rukun. “Nginep disini ya, besok kan libur. Lagian orangtua kalian baru pulang hari senin.” “Niatnya emang gitu, Oma. Tapi Abang harus pergi dulu, ada kumpulan mendadak. Ada masalah sama keuangan.” Angkasa berdiri dengan tatapannya masih terpaku pada ponsel. “Jangan ngebut, Bang.” “Iya, Oma.” Menunduk dulu memberikan ciuman di pipi sang Oma. “Bintang mau! Bintang mau!” CUP. Sebuah kecupan diberikan Angkasa di pipi kembarannya. “Jangan nakal, jangan pecicilan. Jaga Oma.” **** Menunggu Angkasa, Bintang melakukan video call bersama orangtuanya yang dinas diluar kota. Si bungsu Jupiter juga ikut, adik bungsunya yang baru berusia 12 tahun itu sedang manja-manjanya. “Kakak Bintang gak diajakkk! Kakak bukan anak Mama sama Papa! wleeee!” teriak sang adik menjulurkan lidah. “Adek jangan gitu. Mama sembur nih pake marjan! Diem gak?!” “Duduk, Jupiter. Papa pusing liat kamu lompat-lompat,” ucap Papanya ikut kesal. “Ma, apa jangan-jangan aku bukan anak kalian? Mata aku warna biru sendiri.” “Heh! Ngomong lagi kayak gitu, gak bawain Mama oleh-oleh!” “Ihhh jangannnn! Kan Bintang Cuma nanyaa!” “Lagian nanya nya aneh, gitu mulu.” “Adee nih masalahnya, Papa jitak kamu,” ucap Samudera sambil tertawa. “Kamu anak Papa sama Mama. Stop mikir kayak gitu.” “Mama….” “Mama badmood ah. Nanti lagi nelponnya. Bye!” Bintang menatap layar ponselnya kaget. “Oma…,” rengeknya lagi pada Oma Dara yang sedari tadi menatapnya itu hanya menghela napas. “Lagian kamu nanya gitu mulu, udah tahu kalau Mama kamu gak suka. Kamu itu anak mereka, mata kamu emang punya kelainan. Oma sama Opa itu dokter, gak percaya?” Bintang beringsut mendekat, dia membaringkan tubuhnya di sofa dan menjadikan paha Oma Dara sebagai bantalan. “Bukan gitu, Cuma aneh aja mata Bintang itu beda warna sendiri. Kadang mikir Abang Angkasa gak mau kasih tahu orang kalau kita kembar ya emang karena kita gak mirip.” “Mau tetep overthinking setelah semua anggota keluarga sayang sama kamu?” Bintang menggelengkan kepalanya. “Oma suka sup jamur ‘kan? Bintang mau bikin buat makan siang sekarang.” “Bibinya lagi keluar, Kak.” “Bintang bisa kok, udah belajar kapan hari.” “Oma mau tidur siang, anterin Oma dulu ke kamar ya.” Dengan senang hati Bintang melakukannya, dia akan memberikan kejutan bagi sang Oma ketika bangun tidur nanti. Dengan semua ilmu yang didapatkan dari internet, Bintang mulai memasak. Mendidihkan air terlebih dahulu dan memasukan bahan yang keras. Sambil menunggu lunak, Bintang tiduran terlebih dahulu. Angin semilir dari pintu yang terbuka itu membuat Bintang memejamkan matanya perlahan. Dia mengantuk dan terlelap begitu mudah. Tidak begitu nyenyak, karena dalam tidurnya Bintang, dia kesulitan bernapas. Matanya perih begitu terbuka. Tunggu, apa ini? “Kebakarann! Kebakarannn!” teriakan itu memenuhi pendengarannya. Bintang merasakan tubuhnya diangkat oleh seorang petugas pemadam kebakaran. Petugas medis yang sudah siaga langsung memberikan bantuan pernafasan pada Bintan. Ini bukan mimpi… Menoleh pada rumah besar yang kini dilahap api. Bintang tidak bisa menggerakan tubuhnya, bernafas saja kesulitan. “Tenang, kamu aman sekarang,” ucap sang suster. “Oma…. Oma…,” ucap Bintang dengan air mata menetes. Telinganya dengan jelas mendengar kalimat, “Satu orang lansia meninggal.” *** “Yang sabar ya, dia bersama Tuhan sekarang.” “Jangan nyalahin diri, Nak. Itu semua kecelakaan.” Apapun yang mereka katakan, tidak membuat Bintang merasa lebih baik. Apalagi ketika saudara kembarnya tidak lagi menatapnya hangat. Sejak kebakaran terjadi, Angkasa menghindari Bintang. Matanya jelas memperlihatkan amarah dan kesedihan. Sepanjang pemakaman berlangsung, Bintang dan Angkasa berjauhan. Dulu mereka selengket lem, kini sejauh mata memandang. Kini, Bintang hanya bisa memandang Angkasa dari kejauhan tanpa berani mendekat. “Bintang, makan dulu ayok, Nak. Mama udah siapin persayaratan kamu buat ke sekolah besok. Biar lukisan kamu tambah bagus, Mama beli cat kerang.” Sena masuk ke kamar sang anak dan memeluknya. “Hmmmm?” “Nanti Bintang nyusul ke bawah, Ma. Mau beresin tugas biologi dulu.” “Lima menit gak turun ke bawah, Mama susul kamu kesini lagi.” Sena memberikan ruang untuk sang anak. Namun begitu dia berhadapan dengan sang suami, wajahnya langsung memperlihatkan kesedihan. “Ini udah seminggu, Angkasa masih gak mau deket sama Bintang. Dan Bintang masih nyalahin dirinya sendiri.” “Semuanya butuh waktu,” ucap Samudera memeluk pujaan hatinya. “Biarkan mereka kayak gitu dulu.” “Aku minta maaf, Mas.” “Hei, kenapa kamu minta maaf. Ini udah takdir Tuhan, Sayang. Kita sama-sama butuh waktu. Harus Mas yang bujuk dia buat turun?” “No, biarin dia sendirian dulu.” Dalam kesendirian, Bintang selalu menangis. Merasa bersalah pada semua orang. Tidak ada lagi Bintang yang ceria dan selalu mengoceh di meja makan. Dia menunduk dalam diam. “Abang mau ke toko buku dulu.” “Bintang ikut,” ucapnya langsung. Yang paling menyakitkan bagi Bintang adalah Angkasa yang menjauhinya. Setidaknya jika Angkasa memberikannya kekuatan dan maaf, dia bisa menghadapi semuanya. “Bintang juga harus beli sesuatu." “Papa titip kue cokelat langganan, beli yang banyak.” Sena tersenyum, tahu maksud sang suami yaitu untuk menghentikan perang dingin diantara mereka. “Angkasa gak akan lakuin hal buruk ‘kan?” “Angkasa hanya sedih dengan Oma-nya, bukan jadi jahat.” Samudera mencoba menenangkan sang istri. Bintang sendiri merasakan ketegangan di dalam mobil itu. Dia belum bicara dengan Angkasa. Setiap kali mendekat, Angkasa akan pergi menghindar. “Abang….. Bintang mau minta maaf…. Salah Bintang Nenek nggak ada. Bintang minta maaf.” “Diem, Bintang,” ucapnya terfokus ke jalanan. “Tapi Bintang gak bisa diem selamanya, Bintang mau memperbaiki semuanya termasuk sama Abang. Bintang salah, tapi tolong jangan jauhin Bintang, Bang....” “Diem. Kamu denger gak?” “Bintang tahu Abang marah…. Lampiaskan itu, kalau Abang perlu pukul Bintang, habisin semua amarah Abang. Berhenti jauhin Bintang… Bintang kangen Abang…” “Diem.” “Bintang salah, tolong maafin Bintang… hiks…” Mobil menepi tiba-tiba hingga Bintang hampir terpentuk. “Kamu yang bikin Oma meninggal, itu emang semua salah kamu. Dan dengan mudahnya kamu bilang minta maaf?” Angkasa tertawa hambar. “Darah emang lebih kental daripada air. Kamu pembawa sial.” “Maksud…. Abang…” Tubuhnya bergetar dengan air mata yang menetes. “Apa kurang jelas kenyataan kalau kamu memang bukan bagian dari Surawisesa? Kamu. Si pembunuh.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN