Tidak Peduli

1662 Kata
3 tahun kemudian…. Seorang wanita cantik tengah memandang album foto anak-anaknya. Dikaruniai 3 anak selama pernikahannya dengan Samudera, meskipun salah satunya adalah anak kakaknya yang sudah meninggal dengan pria yang tidak bertanggung jawab. Sena, seorang Ibu tiga anak itu tengah mengenang masa mudanya. Dulu dia diperlakukan dengan buruk oleh kedua orangtuanya hanya karena dia lahir dari Rahim wanita bayaran. Dulu dia juga memiliki seorang Kakak yang sangat cantik, namanya Tiara. Seharusnya Tiara yang menerima perjodohan dengan Samudera, tapi karena Tiara kabur, maka Sena menggantikannya. Menikah dengan Samudera membawa Sena pada kebahagiaan sesungguhnya. Meskipun setelahnya Tiara selalu berusaha menghancurkan Sena sampai Tiara merugikan dirinya sendiri: dia dihamili seorang pria yang tidak bertanggung jawab dan Tiara meninggal saat melahirkan. Hari kelahiran Bintang; anak Tiara, sama dengan hari Kelahiran Angkasa; anak Sena. Atas izin keluarga Surawisesa, Sena mengadopsi Bintang dan menjadikan anak itu sebagai kembaran Angkasa. Sena dan Samudera menutup rapat rahasia ini. Karena Sena tahu bagaimana rasanya diperlakukan berbeda. Makannya dia tidak mau Bintang merasakan hal yang sama. “Sayang, gak kedengeran Mas pulang?” tanya Samudera memijat bahu sang istri. “Kemana si bungsu?” “Diajak abangnya main basket. Mas mau makan apa hari ini?” “Kenapa kamu keliatan lesu hmmm?” “Kangen sama Bintang, Mas. Aku mau anak itu pulang ke Indonesia. Ini udah 3 tahun, aku gak mau biarin dia terus gak nyaman dengan rumahnya sendiri.” Samudera duduk di samping sang istri. “Nanti Mas ngomong sama Mawar ya, supaya bisa bujuk Bintang.” “Yang aku llihat, hubungannya sama Angkasa juga belum membaik?” “Enggak, pas Bintang pulang terus mau beli jajan juga dianter sama Angkasa. Anak sulung kita sibuk jadi Ketua BEM, jadi kita gak lihat mereka telponan.” “Aku mau ngomong dulu sama Angkasa.” Kondisi Sena tidak terlalu sehat akhir-akhir ini, dan itu membuat Angkasa selalu berinisiatif membawakan makanan enak sepulang dari kampus. Untuk meningkatkan nafsu makan sang Mama. “Bang, Mama mau minta bantuan kamu,” ucap Sena ketika makan malam. “Bintang udah beres SMA, Mama mau dia kuliah di tempat yang sama dengan Abang.” Angkasa berhenti mengunyah. Menatap manik sang Mama yang tampak sayu. “Tentu.” “Hubungan kalian baik-baik aja ‘kan?” “Nanti Angkasa telpon Bintang biar dia mau pulang.” “Makasih, Abang.” “Yeayyy! Kakak pulang!” teriak si bungsu Jupiter yang tidak sabar bertemu Kakak perempuannya. Kecelakaan 3 tahun lalu membuat Bintang menarik diri dari keluarganya sendiri. Sena juga merasakan perbedaan itu. Dia ingin mengembalikan kedekatan anak kembarnya. Setelah makan malam, Sena menyiapkan camilan untuk menemani belajar Angkasa. “Sekarang di London jam 2 siang, Bang.” “Angkasa kerjain proposal dulu, Ma. Tidur aja, nanti Abang telpon kok.” “Rangkul lagi adik kamu ya. Kita harus tetap berjalan ke depan, dan bahagia.” Sepeninggalan Sena, manik hitam Angkasa menatap tajam pada ponselnya. Mencari nomor yang kontaknya bahkan tidak dia simpan. Terakhir menghubunginya adalah satu tahun yang lalu. “Hallo?” hanya dalam waktu lima detik, sosok itu sudah mengangkatnya. “Lanjutin kuliah di Indonesia.” “Permisi? Gak mau, udah betah juga di London.” “Mama yang minta. Kamu tahu kan cara berterima kasih sama orang yang udah mungut kamu?” Seketika Bintang terdiam. Keheningan melanda beberapa saat. “Apalagi yang Mama mau?” “Dia berharap kamu masuk Fakultas Hukum.” “Bareng sama situ? Biar apa? ada yang jagain aku? Mana mau situ jagain ‘kan?” “Ngomong sama Mama.” *** Tiga tahun setelah kejadian Bintang menyebabkan kematian sang Oma dan kenyataan bahwa dirinya bukan anak kandung Sena dan Samudera. “Bintang beneran anak Mama?” “Kamu kenapa nanya itu terus, Nak! Kamu itu anak Mama!” Bintang masih teringat bagaimana marahnya Sena saat dirinya menanyakan hal itu. Mereka menyayangi Bintang sepenuh hati, bahkan Samudera langsung memeluknya kala itu. “Kamu anak Papa sama Mama. apa yang bikin kamu ragu hmmm?” Mereka semua tidak tahu, bahwa Bintang sudah tahu kalau dirinya bukanlah anak kandung Sena dan Samudera. Kecuali Angkasa, kembarannya yang memberitahu hal ini. Bintang ingin mencari lebih dalam tentang siapa sebenarnya dia, tapi 3 tahun yang lalu dirinya diliputi rasa bersalah hingga memutuskan untuk pergi ke London. Menggenggam pilu hasil test DNA yang dia lakukan diam-diam, Bintang tersenyum miris. “Bie? Udah siap?” tanya Mawar masuk ke kamar Bintang. Mawar dan Melati adalah adik dari Papahnya; Samudera. Yang berarti mereka juga anak dari Oma Dara yang meninggal karena kebakaran. “Hei, kenapa muka kamu keliatan sedih?” “Tante, Bintang minta maaf.” Memeluk Mawar dengan erat. “Udah jangan mikirin yang udah berlalu. Itu kecelakaan.” Bintang tetap menangis. “Apa lagi yang Bintang takutin? Kalau Tante sama Tante Melati masih tetap di masa lalu, kita gak mungkin narik kamu dari asrama. Kita sayang kamu, Bintang. Udah jangan nangis.” Mawar bahkan memberikan kecupan di pipi keponakannya. “Ke rumah Tante Melati ya, sepupu kamu pada kumpul disana semua.” Meskipun memakai pesawat pribadi, Bintang tetap diantarkan sampai ke Indonesia oleh Mawar dan suaminya. Sena dan Samudera sudah menunggu di lounge. Tangan wanita cantik itu merentang saat melihat anak perempuan satu-satunya. “Anak Mama…. Kangen banget sama kamu.” “Padahal liburan kemaren, Bintang baru pulang.” “Kurang, makannya Mama mau kamu kuliah disini.” “Mama harus sembuh ya, kan ditemenin sama Bintang.” Bintang juga merasakan usapan di kepalanya dari sang Papa. Jangan lupakan Jupiter yang langsung memeluknya begitu ada kesempatan. “Abang gak ikut, dia ketua BEM jadi agak sibuk. Persiapan ospek, nanti kamu juga dibimbing sama dia pas Ospek.” “Mau masuk jurusan apa, Nak?” tanya Samudera. “Hukum aja, biar jadi pengacara terus lawan Papah di pengadilan.” Kalimatnya sontak membuat tawa kedua orangtuanya. Bintang dibawa pulang dengan mobil merah oleh keluarganya. Dia diperlakukan dengan sangat baik, bahkan kamarnya direnovasi untuk menyambut kedatangannya. “Ade, biarin Kakak istirahat dulu. Katanya mau mandiin sepedah. Papah mau cuci mobil tuh.” “Okeyy, Ade turun,” ucap Jupiter melepaskan pelukan manjanya pada sang Kakak. “Kakak istirahat dulu ya.” “Nanti Opa kesini ‘kan, Ma?” “Iya, sekarang kan lagi dijemput sama Tante Mawar.” Bintang ditinggalkan sendirian di kamar. Perempuan itu duduk di kursi balkon sambil menatap ke langit. Siapa sebenarnya aku? dimana orangtuaku? “Adeee jangan makan pudding! Itu buat Kakak kamu!” Tapi teriakan Mamanya selalu membuat Bintang menunduk. Apa yang harus dia cari disaat ada sosok yang menyayanginya dengan tulus. Sampai Angkasa pulang, pria itu keluar dari mobil. Menatap Bintang sesaat. Kembali memalingkan wajah. BRAK! Suara pintu kamarnya yang di banting terdengar jelas. Bintang menoleh ke balkon disampingnya, dia ingat dulu seringkali masuk lewat balkon dan memeluk kembarannya itu jika memiliki keegelisahan hati. Namun, semua itu tinggal cerita….. Angkasa membencinya, sampai mengatakan rahasia terbesar keluarga bahwa dirinya bukanlah bagian dari Surawisesa. *** Hari besar itu akhirnya tiba, Bintang akan melaksanakan ospek di Universitas Kalingga. Jurusan Hukum sama seperti Angkasa. “Abang, jaga Bintang ya. Awas kalau kamu bikin adik kamu nangis.” “Hmmm…” “Nanti kasih laporan juga ke Mama. Jangan mentang-mentang jadi ketua BEM, kamu seenaknya sama mahasiswa.” “Iya, Mama. abang berangkat dulu. Jangan khawatirin apapun.” “Bintang juga mau berangkat, Ma. Sayang Mama banyak-banyak.” Dipaksa satu mobil, keduanya langsung merubah raut wajah setelah hilang dari pandangan orangtua. Sama-sama menjaga perasaan sosok yang sudah membesarkan mereka. Karena nyatanya setelah cukup jauh dari rumah, Angkasa tiba-tiba menghentikan mobilnya. “Turun.” “Abang bercanda ‘kan? Ini masih jauh dari kampus.” “Mama sama Papa aku kasih uang kamu cukup ‘kan?” Bintang langsung paham. “Okey! Aku turun sekarang.” BRAK! Menutup pintunya kencang. Melihat kepergian mobil itu, hati Bintang teriris sakit hati. “Tahan, Bintang! Lu pasti bisa!” teriaknya pada diri sendiri. Bintang naik bus ke kampus, dia terlambat dan sudah diteriaki panitia. Karena terburu-buru, Bintang menabrak MaBa lainnya hingga tersungkur. “Ups, sorry!” bintang langsung membantunya berdiri. “Minggir lu!” teriaknya menepis tangan Bintang. Karena keterlambatannya, Bintang mendapatkan hukuman harus keliling lapangan tiga kali setelah hari pertama ospek selesai, bersama dengan perempuan yang tadi tidak sengaja ditabrak oleh Bintang. Sebagai Ketua BEM Universitas, Angkasa menyaksikan hukuman tersebut. “Mamaaa, capek banget Bintang,” ucap Bintang dengan napas tersenggal. “Yang rambut cokelat! Lariii! Atas nama Bintang! Lariiii!” “Kaki akohh pegel, cokkkk…” BRUk! Bintang langsung jatuh tengkurap. Berharap ada yang membantu, tapi tidak ada yang mempedulikannya. “Mamaaaaa.” Berusaha menghabiskan sisa tenaga dengan berlari mengelilingi lapangan. Tenggorokan terasa kering saat hukuman berakhir. Bintang melangkah gontai menuju ke kamar mandi. “Ini dia cewek yang bikin gue telat. Gara-gara dia dorong gue.” Bintang menoleh. “Gue udah minta maaf sama lu tadi.” “Emang gue udah maafin? Lu gak tahu kalau gue ini anak Dekan Fakultas Hukum hah?!” “Mau bapak lu siapa aja, itu gak menjamin lu sehebat dia. Berani kok backingan bapak.” Bintang menabrak bahu perempuan itu dan keluar dari kamar mandi. Tidak tahu kalau sekawanan perempuan jahat itu mengejar dan menarik rambut Bintang. “Yang sopan lu sama yang punya fakultas!” “Aaaa! Lepass!” Bintang sampai jatuh ke lantai, rambutnya ditarik dari arah belakang. “Tolongggg!” “Citra gue hancur gara-gara lu ya! Bawa lagi dia ke kamar mandi!” “Lepassss! Tolongg!” Bintang mencakar wajah perempuan yang menarik rambutnya. “Argghhh! Guyss dia cakar gue!” Plak! “Lu gak punya takut ya!” “Mel, Mel, ada Kak Angkasa,” ucap salah satunya menghentikan Melda; si anak Dekan, yang hendak menampar lagi. dia langsung berdiri tegak dan menatap Angkasa yang menatap ke arahnya. “Kak…. Angkasa?” Bintang tersenyum lega, dia merasa Angkasa akan menolongnya. Namun, pria itu malah mengangkat telpon dan melangkah pergi seolah tidak melihat apa-apa. air mata Bintang menetes. Bukan karena sakit akibat pukulan, tapi karena Angkasa yang tidak peduli padanya. Aku udah nyiapin diri dengan ketidakpeduliannya, tapi kenapa terasa sangat sakit?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN