Chapter 1
Alan Nestakansavy bukanlah orang yang mudah mengeluh. Lelaki dengan rambut gondrong yang agak bergelombang itu menahan dirinya untuk tidak berdiri dan kabur dari situasi yang saat ini ia hadapi. Bertatapan muka lebih dari satu jam dengan ketua jurusan yang terkenal dengan t**i lalah di bibirnya itu membuat pantatnya protes bukan main. Ah, tidak. Tak hanya pantatnya, melainkan juga telinganya yang sudah berdenging sedari tadi.
“Kalau bukan karena Ayah kamu yang menitipkan secara langsung, saya pasti sudah mendepakmu!” gerutu Pak Yayan yang membuat Alan mendadak kicep. “Jangan diam saja!” bentak lelaki paruh baya berambut hitam ala pewarna itu.
Alan mendesah dalam hati, menunduk untuk mengungkapkan sopan santun dan berujar pelan. “Maaf Pak…” ujarnya.
“Maaf-maaf tapi nggak pernah berubah!” sembur Pak Yayan lagi. Tuh kan, salah lagi, batinnya kesal. “Kamu kenapa nggak pernah masuk pelajarannya Pak Sukur?”
Lelaki itu kini bisa membayangkan wajah Pak Sukur yang selalu melotot itu. “Saya diusir dari kelas Pak, nama saya juga sudah di coret dari absensi. Saya bisa apa Pak?” jawab Alan bingung merujuk pada pasrah.
Pak Yayan merenung sejenak, lelaki itu nampak memikirkan jalan keluar untuk mahasiswanya yang terkenal super bandel itu. “Memangnya kamu salah apa?”
“Saya cuma telat waktu pertemuan pertama Pak,” jawab Alan.
“Memangnya telat berapa menit? Lebih dari lima belas menit ya?” tanya Pak Yayan lagi.
Alan mengangguk, “Iya Pak…”
“Tapi masa sampai di coret dari absensi? Berapa menit sih?” ucap Pak Yayan kebingungan. Lelaki itu lalu menatap Alan setengah tidak percaya, menyangsikan penuturan mahasiswanya.
Alan menampilkan cengirannya, lelaki itu menggaruk lehernya yang terasa gata. “Saya datangnya waktu Pak Sukur mau mengucapkan salam Pak…” ujarnya cengengesan.
Pak Yayan semakin mengerutkan keningnya, dalam hati lelaki paruh baya berpikir mungkin Pak Sukur yang merupakan rekan dosennya itu sedang tidak mood saat Alan terlambat. “Salam membuka pelajaran? Bukan telat dong!”
“Bukan Pak, tapi salam menutup pelajaran,” ujar Alan dengan senyum malunya. Pak Yayan terdiam, mendesah keras sembari menyandarkan tubuh tuanya di kursi dengan lelah. Ia menggeleng-geleng antara prihatin dan kesal.
“Kok bisa ya Ayahmu punya anak kaya kamu…” ucapnya tanda menyerah.
***
Kiara Andzikriadi menatap lelaki gondrong dihadapannya dengan wajah kesal bukan main. Rasa ketidaksukaannya sama sekali tidak ia sembunyikan, terbukti dari tatapan sinis yang memang sengaja ia tujukan pada lelaki dengan celana sobek parah itu. Ingin sekali ia mengibaskan tangannya dan mengusir lelaki urakan itu pergi. Namun ia teringat dengan ucapan Ayahnya beberapa saat yang lalu.
“Kiara, mulai sekarang kamu Ayah tugaskan untuk mendisiplinkan anak ini. Kamu sebagai mahasiswa berprestasi harus memberi contoh yang baik padanya.”
Kiara bisa saja menolak, namun melihat wajah Ayahnya yang nampak menyerah sekaligus memohon pertolongan padanya itu membuatnya tak kuasa melakukan hal itu. Ia sangat tau kalau jabatan sebagai Ketua Jurusan membuat Ayahnya sibuk setengah mati. Dan dengan kurang ajarnya lelaki bernama Alan ini menambah kesibukan Ayahnya dengan tingkah urakan yang lelaki itu lakukan. Kiara tidak terima!
“Jangan mengobarkan permusuhan di pertemuan pertama kayak gini dong…” desah Alan yang mulai risih mendapatkan tatapan sinis dari Kiara. Sesungguhnya matanya agak gatal melihat penampilan kiara yang terlampau rapi dengan balutan baju batik itu.
“Lo! Pembuat masalah!” ujar Kiara dengan sadisnya.
Alan meringis, “Ternyata lo beneran anaknya Pak Yayan,” ujarnya yang teringat dengan bentakan Pak Yayan saat pertama kali ia memasuki raungan Kajur.
Kiara berdecak, mengeluarakan catatan kecilnya dan mulai bertanya dengan wajah kesal. “Kenapa lo bisa jadi kayak gini?”
“Kayak gini apanya?” tanya Alan bingung. Sesekali ia melirik isi dari catatan kecil Kiara dengan terkagum-kagum saat melihat tulisan rapi gadis itu.
“Tentu aja kayak sekarang, jarang masuk kuliah dan bikin banyak masalah!”
Alan terdiam, ia memikirkan alasan-alasan yang membuatnya seperti ini. Alasan utamanya adalah karena ia jauh dari rumah, atau bisa dibilang karena ia jauh dari Ibunya. Tetapi tentu saja ia tidak mungkin mengatakan hal ini pada gadis judes super jahat dihadapannya.
“Manajemen waktu,” ujar Alan pelan dengan kurang yakin dan lumayan bangga dengan jawabannya yang lumayan keren itu. Dalam pikirannya sudah terbayang aktivitas di rumahnya yang sangat jauh dengan kehidupan di perantaunnya. Biasanya tiap pagi ia selalu dibangunkan Mamanya dengan lembut, dan ia masih belum bisa lepas dari kebiasaan itu. Salah satu hal yang membuatnya selalu telat di pagi hari.
Kiara mengangguk-angguk kecil, “Gue denger kemarin lo berantem sama mahasiswa kampus sebelah, bener?” tanya Kiara dengan sebelah alis yang terangkat. “Kenapa?” lanjutnya.
Alan menggeleng kecil, nampak bingung mendengar pertanyaan Kiara kali ini. “Kapan? Gue nggak pernah berantem tuh!” ujarnya dengan nada polos namun mendapat picingan tajam dari gadis itu.
“Gausah bohong deh! Kata Ayah lo berantem, dan itu alasan lo bisa berakhir di ruangan Ketua Jurusan selama berjam-jam,” Kiara mendengus melihat Alan yang menggelengkan kepalanya cepat.
“Gue nggak berantem Ra! Sumpah deh!” seru Alan mulai tidak terima dituduh seperti itu.
“Lalu, coba kasih alasan kenapa Ayah gue dapat laporan kayak gitu!” tegas Kiara yang tidak langsung percaya pada penuturan Alan.
Alan mengangkat bahunya acuh, “Bisa aja Ayah lo dapat informasi yang salah.”
“Nggak mungkin!” balas Kiara cepat.
Alan mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat kejadian apa yang membuatnya dituduh melakukan perkelahian. Mereka terdiam sebentar, Kiara juga tidak mengintrupsi karena tau bahwa Alan sedang mencoba memutar otaknya yang ia yakini lemot itu.
“Ah! Gue tau!” manik mata Alan berbinar cerah, seolah sangat senang karena ia bisa mengingat kejadian tempo hari yang menyebabkan ia dituduh seperti itu. “Sebenarnya, malah gue yang misahin temen gue waktu berantem,” terang Alan begitu mengingat kejadian yang mengharuskan ia mendapatkan satu tonjokan di pipinya. “Hei! Tapi bukan gue yang berantem, dan kenapa malah gue yang dipanggil sama Ketua Jurusan?” bingung Alan tidak terima. Ia masih ingat kalau temannya yang bernama Roy-lah yang sudah baku hantam dengan mahasiswa kampus sebelah, kalau tidak salah namanya Adam. Terus kenapa malah ia yang tadi kena sembur berjam-jam, beda topik pula.
“Mana gue tau,” jawab Kiara cuek bebek. “Ah, mungkin gue tau satu alasan,” imbuh Kiara yang membuat Alan menunggu-nunggu gadis itu untuk kembali berucap.
“Reputasi lo jelek!” tutur Kiara yang membuat Alan meringis antara kagum dengan mulut Kiara yang pedas dan merutuki dirinya yang di cap buruk tanpa alasan.
“Oh, terima kasih pujiannya,” jawab Alan kecut. Tidak perlu dijelaskanpun lelaki itu tahu kalau dirinya memang seringkali di cap berandalan hanya karena rambut panjang dan celananya yang tidak pernah utuh. Padahalkan dia tidak berandalan, dia hanya suka bangun siang dan jarang masuk kuliah tepat waktu.
Kiara mendengus geli, lalu mengamati lelaki gondrong itu dari atas hingga bawah. Sebenarnya, lelaki itu termasuk jajaran lelaki tampan, tentu saja jika wajahnya sering di cuci dan rambutnya dipotong lebih rapi. Namun, Alan yang seperti ini tidak terlalu buruk. Kiara yakin meskipun Alan berpenampilan seperti gembel sekalipun, lelaki itu bisa mendapatkan beberapa wanita. Dasar wajah tampan sialan, makinya dalam hati.
“Kenapa? ada sesuatu di wajah gue?” tanya Alan sembari meraba-raba wajahnya. Melihat Kiara yang menatapnya seperti itu cukup membuatnya kebingungan.
Kiara mengangkat sudut bibirnya, “Pipi lo,” ujarnya singkat namun langsung membuat Alan mengusap-usap pipinya brutal. Lelaki itu cemas, jangan-jangan ada noda putih jelmaan dari air liur saat tidur. Dia tadikan tidak sempat cuci muka. Kiara lantas tersenyum kecil, “Gue bilang pipi, bukan sudut bibir. Lo keliatan kayak orang baru bangun tidur, di pipi lo ada bekas lipatan,” terang Kiara dengan pandangan mata aneh.
Alan mengusap pipinya pelan, lelaki itu tahu kalau lipatan pipi hanya dapat hilang dengan sendirinya. “Gue emang baru bangun tidur,” terangnya santai yang membuat Kiara mengerjap kaget.
“Bangun tidur? Jam dua siang?” tanya Kiara memastikan.
Alan menatap gadis itu protes, tidak terima dengan pernyataan Kiara. “Enggaklah! Gila apa! Gue bangun jam satu siang!” ucapnya dengan menggebu-gebu.
“Hell!” pekik Kiara kesal. Sedangkan Alan menatap gadis rapi itu dengan kaget, Alan pikir Kiara adalah tipe orang yang akan berucap puji-pujian jika sedang kesal. Alan masih mengamati segala perubahan ekspresi Kiara, gadis itu nampak berang sekaligus frustasi. “Siniin jadwal dan ponsel lo!” seru Kiara kesal dan langsung dilakukan oleh Alan tanpa protes.
Kiara memegang ponsel Alan, lalu menatap lelaki itu dengan pandangan menunggu. “Ini cuma ponsel, mana jadwalnya?” tanyanya tidak sabar.
“Jadwal gue ada di dalam ponsel Ra, di galeri,” terangnya yang membuat Kiara langsung mengutak atik ponsel Alan. Setelahnya, Kiara mulai sibuk mencatat jadwal Alan.
“Gue bakalan masang alarm jam lima pagi, dan lo harus bangun!” titahnya yang dibalas anggukan tidak yakin oleh Alan. “Gue juga bakal masang alarm sesuai jadwal lo, lima belas menit sebelum kelas di mulai,” terang Kiara lagi. Kali ini sambil menatap wajah Alan yang nampak pasrah dan terlihat tidak yakin caranya akan berhasil.
Kiara menggebrak meja, tidak terlalu keras namun membuat Alan terlonjak kaget. “Gue serius, lo bisa apa enggak?” tanya Kiara dengan tatapan tajamnya.
Alan menghela napas, “Sebenarnya, gue udah pernah buat alarm kayak gitu. Tapi nggak berhasil Ra,” jawab Alan terlihat putus asa.
Kiara menyandarkan tubuhnya pada kursi, menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Astaga, sebenarnya berapa umur lelaki dihadapannya ini, kedisiplinannya bahkan lebih buruk dari balita. “Lo punya pacar gak?” tanyanya tiba-tiba, membuat Alan sedikit kegeeran.
Alan mengangguk tidak yakin, membuat Kiara menegakkan tubuhnya dan berucap dengan cepat. “Kalau gitu minta bangunin pacar lo sana! Siapa namanya?”
“A—liana Niakansavy?” jawab Alan yang membuat Kiara menatap lelaki itu bingung.
“Sebenernya dia beneran pacar lo atau bukan? Kenapa wajah lo gak yakin kayak gitu?” cecar Kiara yang mulai kesal melihat wajah plin-plan Alan. Tunggu dulu, Aliana Niakansavy bukankah mirip dengan Alan Nestakansavy? Kiara mendengus dengan melemparkan bungkus roti kearah Alan. “Dia adik lo b**o! Kalau bohong yang cerdas dong!” semburnya.
Alan tersenyum kecut, berhadapan dengan Kiara membuatnya terlihat seperti orang bodoh yang terhina, atau memang seperti itu? “Gue gak punya…” desahnya dengan malu.
“Terus kenapa bohong?” tanya Kiara bagaikan seroang ibu yang tengah mengintrogasi anaknya yang bandel.
“Gengsi,” jawab Alan singkat.
“Makan tuh gengsi!” cerca Kiara jahat, membuat Alan geleng-geleng kecil dengan kebengisan gadis di hadapannya.
Mereka terdiam beberapa saat, Kiara nampak berpikir bagaimana caranya membuat jadwal Alan menjadi teratur. Sedangkan, Alan hanya menyangga kepalanya dan sesekali menyeruput teh hangat yang ada di depannya.
“Kenapa lo gak tinggal sama adik lo? Biar ada yang ngurusin gitu!” tanya Kiara.
Alan menggeleng, “Nggak boleh sama Mama, katanya biar mandiri.”
“Makan tuh mandiri!” cercanya Kiara lagi. Sepertinya gadis itu sedang lapar, dari tadi omongannya makan mulu, pikir Alan dengan kesal. “Ahh, gue malas ngurusin bayi…” desah Kiara yang membuat Alan menatapnya penasaran.
“Lo kerja sambilan Ra?” tanya Alan.
“Ha?” bingung Kiara.
“Kerja sambilan, ngurus bayi?”
Kiara mengangguk-anguk, namun wajahnya terlihat kesal. “Ya! Sebentar lagi gue bakalan ngurus bayi, bayi besar!!!” pekiknya seolah mengejek jalan pikiran super lemot dari lelaki di hadapannya. Apanya yang berandalan? Yang ada Alan malah kelihatan seperti lelaki b**o yang tersesat di kota orang.
Alan mengangguk paham, lalu mengepalkan tangan kanannya. “Semangat ya!” ucapnya yang mebuat Kiara mendadak kesal. Ini cowok sepertinya otaknya sudah jatuh di dengkul.
“Lo tau siapa bayi besar itu?”
“Enggaklah. Kan lo belum bilang,” jawab Alan sembari memainkan plastik roti yang tadi sempat dimainkan Kiara.
Kiara tersenyum manis, lalu menunjuk Alan. “Elo b**o! Elo bayi besar itu! Mulai sekarang, gue bakalan jadi alarm lo!” ultimatum Kiara yang membuat Alan yakin kalau hidupnya tidak akan tenang setelah ini.