Bangun pagi adalah musuh terbesar Bhanu. Alhasil sampai usianya menginjak 16 tahun, dia selalu menghabiskan sarapannya di dalam mobil bersamaan dengan Ayah dan Ibu yang hendak pergi ke kantor. Hari ini, dia sengaja membawa 2 kotak makanan, satu untuk sarapan kalau yang satunya untuk di makan bersama Dharma dan Cecil sebelum mulai kelas.
Sesampainya di sekolah, Bhanu melangkah dengan ringan dan riang saat mendapati banyak wajah-wajah baru, siswa baru. Bhanu bukan tipikal siswa yang hendak mencari mangsa seperti yang teman seangkatan lainnya sedang lakukan saat ini. Menggoda beberapa siswa bahkan mencari gara-gara hanya untuk mendapatkan perhatian atau nomor handphone. Belum lagi teman-teman cewek seangkatan bahkan kakak tingkatnya yang tergolong cewek-cewek badai mulai tebar pesona sampai pandangan intimidasi seolah-olah bahwa lingkungan sekolah ini, Penguasanya adalah mereka, sedangkan siswa baru hanya rakyat jelata. Princess and Prince syndrome, batin Bhanu ketika ia melewati cewek-cewek yang pakaian seragam ketat dan rambutnya terurai ikal menggantung, riasan natural tapi tetap saja Bhanu bisa melihat kalau itu bukan warna asli bibir mereka.
Bhanu hanya senang adanya suasana baru pagi ini, meskipun hati kecilnya sedikit terusik ketika menyadari bahwa saat ini dia bukan lagi bocah kelas 1 SMA, melainkan kelas 2 dan yang artinya setelah ini pasti dia akan dipusingkan dengan kelanjutan pendidikannya. Ah, memikirkannya saja sudah membuatnya hilang selera untuk belajar untuk hari ini.
Dari kejauhan, Bhanu bisa melihat Cecil dan Dharma sedang berbincang di depan kelas IA4. Wajah Cecil nampak murung sedangkan Dharma hanya cengengesan, seperti biasa selalu menyebar senyum di saat lawan bicara merasa sedih atau senang. Katanya, menebar aura positif. Iya, terserah Dharma saja pokoknya, Bhanu sudah hapal soal itu.
“Cil, kenapa? Pagi-pagi kok udah sepet?” sapa Bhanu mendekati mereka lalu mengangkat kotak makanannya. Dharma menyambut rejeki dengan senang karena tahu kalau masakan Ibu Bhanu itu sangat cocok dengan lidahnya bahkan sekelas restoran.
“Pusing gue, sekelas pada ambis semua!” gadis itu memijat-mijat pelipisnya. Bergumam hingga menggerutu tidak jelas. “Gue kayaknya minta pindah deh.”
Bhanu dan Dharma terkesiap. “Lah, kenapa?” seru mereka bersamaan.
“Ya lo pikir deh, gue tuh otaknya pas-pasan terus slow abis eh sekarang malah ditaruh di kelas yang isinya anak paralel semua!”
Bhanu memutar matanya malas. “Gii tih itiknyi pis-pisin!” Bhanu mengunyah makanan berusaha menahan isinya tidak keluar. “Lo ngehina gue sama Dharma apa gimana?!”
“Tapi, gue maunya kelas 2 itu nyantai gitu, loh. Kelas 3 tuh mana bisa main sih?!” keluh Cecil.
“Bisa, siapa bilang nggak bisa?” masih fokus dengan nasi goreng yang tak ia bagi-bagi dengan yang lain. “Santai aja kali!”
“Lo nggak tau aja, kelas gue cowoknya cuma 5.” Ia menunjukkan kelima jarinya tepat di depan mata Dharma. “Nih, 5! 5 doang cowoknya.” Katanya. “Nanti kalo misal ada lomba kelas, ngecat kelas, angkut-angkut barang-barang, dies natalis, acara kartinian, terus pensi gimana?”
“Lah, cowoknya ada 6, kan lo cowok, Cil!” celetuk Bhanu.
“Ya kalo gue mah nggak apa-apa disuruh bantuin. Nah yang lain? Duh, mana gue paham banget track recordnya pada cewek manja dan cowok apatis gitu, lho. Too individual! Gue nggak sukanya anak terlalu pinter itu begitu kadang. Males gue.” Bhanu dan Dharma hanya mengangguk-angguk. Diam saja kalau Cecil sudah emosi seperti ini. “Mana udah pada ngomongin jurusan kuliah lagi. Ih, apaan sih? Kayak nggak bisa nikmatin hidup aja deh!” Bhanu dan Dharma hanya terkekeh. “Bantuin dong, pindah kelas!”
Bhanu mengerjap sesaat. “Ngarang lo. Nggak ada satupun orang di sini yang punya priviledge buat pindahin lo dari kelas itu!” katanya. “Lo kata bapak gue kepala sekolah atau penyumbang dana paling gede di sekolah kayak di drama-drama?”
“Ya bantu suara dong.” Sanggah Cecil.
“Nggak bisa, Cil. Lu yang bener aja.” Dharma selalu menanggapi Cecil yang meledak-ledak dengan nada halus dan menenangkan. “Pasti bakalan dapet berkah kok. Siapa tau dengan lo dikelilingi orang-orang pinter nanti lo makin pinter terus lo ngajarin kita-kita. Lo dapet pahala, gue sama Bhanu dapet berkah. Semua bahagia!”
“Tuh, dengerin ceramah pagi dari Biksu Dharma!” Kepala Bhanu langsung dipukul oleh Dharma. “Aw… sakit tau!” seru Bhanu. “Lagian lo kenapa sih sambat pagi-pagi? Emang udah ada tugas sampai ngatain mereka ambis?”
“Ya menurut lo aja, Nu!” Cecil merutuki kepolosan Bhanu. “Kemarin pertemuan pertama di pelajaran Bahasa Indonesia masa udah disuruh bikin esai. Ih, padahal kan kelas lain masih pada haha hihi nikmatin bocah-bocah baru, gue berasa didiskriminasi aja sih!”
“DUUUUHH, itu mah saking lo nya aja pas lagi males!” seru Bhanu kencang.
“Lo juga males kali kalo disuruh bikin esai.” Serang Dharma pada Bhanu.
“At least, I have you in the class, Dharma Siddarta! Kalo nggak ada elu, bisa dipastikan nilai bahasa gue bisa terjun payung mendekati 0.” Gaya bicara ngondeknya keluar. “Gini aja deh, gue kasih topik. Nah, elu tinggal nulis. Tapi pas gue ngomong jangan dipotong! Lo perhatikan baik-baik.”
“Topik apaan?” sahut Cecil.
“Young Woman Empowerment atau Consumer Society atau lebih keren lagi kalo lo bahas tentang hiperrealistis dan simulasi sosial.” Dharma dan Cecil bingung. Apa itu? mata pelajaran sains dan sosial? Yang bener aja, Bhanu! Gue anak IPA, batin Cecil. “Percaya sama gue, ini topiknya bakalan apik kalo lo yang ngerjain, Cil.”
“Gimana tuh? Cari materinya di mana?” Matanya menerawang keatas sambil menganga, isu macam apa yang dipikirkan Bhanu. “Oke, yang pertama gue ngerti, isu feminis. Kalo yang Consumer apaan? Lo kan tau sendiri, kelas 10 gue diusir pas pelajaran ekonomi, yang bener aja lah, Nu!” Kakinya menghentak-hentak sebal karena Bhanu membuatnya semakin pusing pagi-pagi.
Bhanu menjentikkan jarinya. “Untuk ukuran anak-anak IPA tuh pasti maunya bahas yang sains-sains deh, kayak daur ulang sampah, makanan sehat atau diversifikasi pangan, HIV/AIDS, kekurangan gizi, global warming, kemiskinan, … “
“Wow, lo kepikiran? Gue aja nggak!” celetuk Dharma. “Itu tuh isu apaan sih? Lo semalem nonton apaan di NatGeo?”
“Gue semalem nonton African bullfrog yang kalo musim panas malah tidur di dalem lumpur, dan bakalan bangun kalo ujan turun lagi…”
“Lah, nggak makan?” Cecil menyahuti topik mereka yang mulai ngawur.
Bhanu mengedikkan bahu, “Belum gue tanyain kodoknya.” Cecil dan Dharma mendengus kasar, menyesal menunggu sahutan Bhanu barusan. “Udahlah, lo percaya sama gue. Pakai topik itu aja. Juara kelas lo pasti!”
“Tuh kan, Dharma!” Gadis itu mengusap wajahnya kasar hingga gemas dan memeras. “Harusnya yang masuk kelas biadab itu Bhanu aja, bukan gue! Belum juga gue stress rasanya!” ia bersungut-sungut. Bhanu dengan santai tersenyum acuh melihat Cecil nampak menderita dengan keadaannya itu.
“Udah ya, Cil. Gue mau masuk dulu.” Bhanu menepuk tasnya yang ringan itu. Oh tentu, dia hanya membawa 1 buku tulis serba guna karena ini masih minggu awal-awal sekolah dan jelas belum ada pekerjaan rumah yang harus dibawa. “Dharma, hari ini mata pelajarannya apa?” Bhanu berasa bos, terlalu malas mengingat jadwal pelajaran yang baru.
“Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Agama, sama Biologi.” Bhanu memijat kening seketika.
“Oke, noted. I hate this day!” gerutunya dihiasi dengan tertawa meledek Dharma dan Cecil.
“Coba gue tanya, hari apa yang nggak lo benci? Paling kalo pas ada praktek doang lo suka!” cebik Dharma.
“Eh, lo lupa? Praktikum kimia tahun lalu dia hampir salah masukin bahan dan hampir bikin praktikum kelompoknya gagal gara-gara dia nggak baca prosedur?” kata Cecil, Bhanu cuma menggaruk tengkuknya.
“Hari membahagiakan buat gue kalo pulang pagi jadi gue bisa seharian main sama lo pada!”
“Mau apa lo?” curiga Dharma.
“Haha, tau aja! Bacain gue buku, kemarin gue dikasih tau abang gue tentang buku Champbel Ibu gue dong. Penasaran!” pinta Bhanu.
Cecil berdiri lalu kabur, bersamaan dengan Dharma berlari masuk ke kelas. “Gila lo, Champbel juga dibabat! Ngakunya benci Biologi!” Pekik Cecil menjauh. Liburannya baru selesai tapi Bhanu sudah kepo dengan buku aneh-aneh yang anak SMA saja hampir malas untuk membacanya.
“Heh, gue penasaran!”
“KAGAK!” Dharma dari jendela kelas. “Penasaran sama novel kek, malah Champbel, anjir. Yang bener aja lo!”
“Heh, gue ini berusaha buat mencerdaskan lo berdua! Heh, Cecooool!” serunya.
Cecil melambaikan tangan perpisahan pada sahabatnya itu.
…
Pagi yang cukup mengejutkan ketika Bhanu saat ini tengah duduk diam memperhatikan 2 orang yang masuk ke kelasnya. Madam Shanti dan satu seorang gadis, siswa baru. Ia menyikut-nyikut Dharma yang asik bermain hp. Dia terganggu karena tengah seru bermain Pou di sana. Cowok itu merengut hingga alisnya tertaun melirik tajam ke Bhanu karena sudah mengganggu keseruannya. “Paan sih?!” serunya, lalu mengikuti arah mata Bhanu. Dharma hampir terjengkang saat melihat Yura tengah berdiri di sebelah Madam Shanti, menebar senyum manis yang dihiasi 2 lesung pipit. Wajahnya berseri dan cantik karena mendapat sambutan hangat dari siswa-siswi yang lain.
“Temen SMP lo yang waktu itu bukan sih?” Dharma mengangguk dan masih melongo. Yura di kelasnya? Yura si aneh yang pernah satu sekolah dengan Dharma? Ia masih tak percaya jika bisa berjumpa dengan cewek itu lagi, walaupun dari dulu memang Dharma tidak pernah berinteraksi sama sekali dengan Yura. “Et, kok melongo? Naksir ya?” bisik Bhanu. Dharma hanya melengos kembali memainkan game di hpnya.
“Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kalian punya teman baru.” Madam Shanti mempersilahkan Yura untuk memperkenalkan diri. “Ayo, perkenalkan kamu ke yang lainnya.” Gadis itu mengangguk dengan lembut dan manis. Dia menatap ke seluruh kelas dan begitu menarik perhatian seisi kelas. Hening. Semua hening seolah-olah tak sabar ingin mendengarnya bersuara. Termasuk Bhanu, sorotnya masih fokus pada Yura, hingga akhirnya mata mereka bertemu untuk sepersekian detik. Mata Yura membola ketika melihat ke arah Bhanu, Ah, pasti lihat Dharma, ya? Batinnya. Ia mendadak terlihat kikuk dan malu. Padahal tadi dia terlihat sangat percaya diri.
“Halo semuanya, selamat pagi.” Awalannya. “Perkenalkan, nama saya Yura Chandrakirana. Salam kenal.” Semuanya langsung ricuh, terutama cowok-cowok. Jelas ini bagian dari hukum rimba. Murid pindahan itu salah satu sosok yang tidak bisa dilewatkan juga untuk mereka. Bhanu hanya menggeleng saja, sama halnya dengan Dharma. “Norak.” Gumamnya.
“Ada yang mau tanya-tanya soal Yura? Madam Shanti membuka forum ketika banyak siswa yang antusias dengan kehadiran Yura pagi ini.
“Yura, pindahan dari mana?” sahut Anton yang bersuara sangat kencang kalau ada cewek cantik di sekitarnya.
“Dari Yogyakarta.” Jawabnya melempar senyum. Semua siswa kemudian bergumam ‘Oh dari Jawa.’ “Jakarta juga jawa kok, kalo kalian masih inget peta.” Tambahnya.
“PPPPFFTTTT….hahaha!” Tawa Bhanu pecah sontak dihujani oleh tatapan seluruh penghuni kelas. Lantas dia melipat mulutnya dan mendapat makian Dharma, seolah tatapan aneh yang lain belum cukup dan membuat suasana kelas menjadi semakin canggung. Lagipula, Yura ada benarnya. Makanya Bhanu tertawa. Menarik, katanya dalam hati.
“Ya sudah, kamu duduk di bangku yang masih kosong ya. Dan, karena hari ini, saya harus menghadiri rapat guru jadi kelas kita selesai lebih awal, ya?” Semuanya bersorak gembira dalam hari, tetapi Madam Shanti melanjutkan kalimatnya. “Nah, sebagai gantinya, saya kasih kalian tugas bercerita tentang liburan kalian kemarin menggunakan bahasa Inggris, tentunya.”
Bhanu melirik ke samping. “I know.” Sahut Dharma sudah hapal. Tugasnya sebagai seorang proofreader untuk Bhanu. Cowok itu masih kalau diajak bicara bahasa inggris, tapi untuk menulis dan susunan rumus terkadang berantakan. Beberapa huruf saja masih ada salah dalam pengejaan. Bhanu betah dengah seringai karena kebaikan Dharma itu.
Di depan sampingnya, berjarak 2 baris deret bangku , tepat tempat duduk Yura. Cewek itu nampak masih tersenyum dan berinteraksi dengan siswa dan siswi lain. Mana anggapan yang menurut Dharma dan Cecil aneh itu? Cewek itu nampak biasa saja. Bahkan cantik dan menarik perhatian orang lain. Bhanu tidak melihat keanehan sedikitpun. Sama sekali tidak nyentrik, tapi pembawaannya masih penuh percaya diri. Kalau tidak percaya diri, cewek itu tidak mungkin melempar komentar pedas kepada orang baru, pikir Bhanu. Yang berpotensi dia akan seketika dijauhi dan dianggap cewek kasar, mungkin.
Pandangannya ke arah Yura itu dibuyarkan Dharma yang menyenggol lengannya. “Heh, buka bukunya.”
“Ah, lo aja.” Keluhnya. “Paling belajar structure lagi. Mending gue bikin ceritanya aja, jauh lebih susah!” Mengambil secarik kertas dan menyoret-nyoretnya. Membuat kerangka cerita sesuai imajinasinya, bukan pengalaman liburannya kemarin.
…
Bhanu berlarian menghampiri Cecil yang tengah duduk dengan teman-teman ekskulnya. Wajahnya sumringah membuat Cecil heran dan melempar ekspresi penuh tanya ke Dharma. “Kenapa nih?”
“Ada anak baru di kelas gue!”
“Tau kok, mana orangnya?” Cecil menyeruput es jeruknya.
“Yura.” Celetuk Dharma.
Cecil tersedak dibuatnya. “Yang bener aja lo!” serunya tak percaya.
Bhanu memutar matanya malas, lalu menepuk tangan beberapa kali. “Cerita sama gue, se aneh apa Yura?” Ia melipat tangan diatas meja, siap menerima semua informasi dari kedua sahabatnya itu. “Kata lo, dia aneh? Dan pernah dicancel sama anak-anak sekolah lo.” Lanjutnya. “Is she problematic person?”
“Big no.” sahut Dharma. “Dia bukan aneh yang problematic gitu. Cuman ya, aneh aja.”
Bhanu memutar-mutar tangannya di udara tak paham. “Ya aneh gimana? Definisinya yang jelas dong.”
“Kita tuh nggak deket-deket banget sih. Ngobrol aja nggak pernah. Kata temen-temen seangkatan dulu bilang dia aneh. Gue nggak tau pasti anehnya gimana.” Ucap Cecil.
“Ih parah lo, ngejudge duluan.” Bhanu merengut sambil menopang kepalanya. “Ikutan cancel dia cuma gara-gara omongan orang?”
“Ya nggak gitu juga, Nu. Kita berdua beberapa kali sih liat dia kayak kemana-mana sendirian. Kalo ada acara rame-rame pasti minggir. Cakep sih, tapi misterius gitu, loh.” Dharma menyendok kuah bakso Cecil, lalu meringis karena terasa asin. Maklum, Cecil itu salty enthusiast banget, sampai sifatnya ke ikut salty. “Asin banget, gila!” ucapnya tanpa jeda sedikit membanting sendok lalu mengelap bibirnya yang terasa asin. “Dia pindah pas kelas 2, dan kita nggak pernah sekelas juga. Gue sebenernya penasaran mau ngajakin ngobrol, tapi nggak sempet.” Bhanu mengangguk saja.
“Iya, pernah tuh sekali, dia ngambilin buku gue yang jatuh. Dia cuma lempar senyum terus pergi. Baik sih, apa gara-gara banyak yang ngatain dia makanya dia jadi baik banget sama orang lain? Nggak paham juga deh.” Cecil menggeleng perlahan.
“Kenapa sih, Nu, kok penasaran banget? Tumben?” kata Dharma. “Kepo?” Bhanu hanya mengangguk dan menggigit pisang goreng di piring Cecil.
“Buset, lo pada nggak bisa belanja sendiri apa?” Cecil mulai emosi ritual makannya diganggu. Dharma dan Bhanu langsung minggir memesan makanannya sendiri. Kalau Bhanu seperti biasa, bakso kuah sambal ditambah beberapa potongan cabe rawit untuk menghilangkan rasa pusingnya karena menulis cerita karangannya tadi. Dia juga berulang kali harus membenarkan pengejaan untuk kosa kata yang baru dia ketahui. Ah, melelahkan, batinnya.
Setelah memesan, dia kembali ke meja yang ditempati Cecil. Dia tengah duduk sendiri sambil memainkan hpnya. Beberapa siswa-siswi baru yang melewatinya sesekali menyapa. Cewek itu cukup popular. Populer dalam artian yang bagus, karena demo yang dia lakukan bersama teman-teman ekskul cheerleadernya itu berhasil memukau semua mata yang menontonnya. Wajahnya yang oriental, tinggi, dan cantik. Menarik untuk dilihat. Beda dengan Bhanu yang popular karena dianggap masih terbata-bata dalam membaca dan terkenal dengan anak paling merepotkan kalau ujian. Iya, dia selalu meminta ujian sendiri dan lisan di ruang guru ketimbang menulis. Sebagian siswa terkadang jengkel dengan ide Bhanu tersebut membuat guru-guru yang lain sesekali melakukan ujian lisan. Mampus, ini hampir sama buruknya dengan siswa yang selalu mengingatkan ada pr ketika satu kelas kompak untuk bungkam saat sang guru lupa. Jadi, wajar Bhanu ramai-ramai dicancel oleh beberapa orang bahkan seangkatan. Ah, tapi dia tidak masalah. Dia masih punya Cecil dan Dharma. Untung saja, mereka selalu belajar bersama. Mau ujian lisan, mereka berdua tidak keberatan. Yang nomal hanya Dharma, dia sosok baik hati dan lembut sampai orang lain mengumpat di depannya saja serasa hina. Baik banget, super baik.
“Cil, habis ini lo pelajaran apa?” tanya Dharma. Biasa, ini pasti dia mau cari teman soalnya habis ini pelajaran Agama.
“Ya itu, bahasa Indonesia!” serunya. “Ikutan cabut lah.”
“Eh, gue juga dong.” Dharma langsung menjitak kepala mereka berdua.
“Nggak ada. Gue tidur aja di UKS. Lo berdua belajar yang bener. Ketemu di kantin kelarnya.” Lagi-lagi ceramah. Dharma itu memang layaknya orang tua untuk Bhanu dan Cecil. Yang paling waras. Bhanu duduk nampak gusar, melihat sekeliling. Mencari keberadaan Yura. Hampir semua siswa pasti akan ke kantin. Kenapa dia masih tak kunjung menampakkan batang hidungnya? Bhanu lagi-lagi penasaran. Namun, menit berikutnya Yura dan beberapa teman sekelas Bhanu datang memasuki area kantin. Gadis itu nampak biasa saja bahkan tertawa dengan yang lain. Meskipun setelahnya, ia memasang wajah datar ketika yang lain tak membuang muka. Bhanu terkesiap.
“Eh, Yura tuh.” Kata Bhanu. Memberikan kode kepada Cecil menyapanya lebih dulu. Cecil menangkap sosok itu langsung tersenyum dan melambaikan tangan. Yura kaget saat melihat Cecil.
“Hai.” Sapanya.
“Wow, nggak expect lho kita bakalan satu sekolah lagi, Ra.” Yup, Cecil, ujung tombak geng ini dalam hal interaksi dengan orang lain. “Lo kemana aja?” Bhanu menyenggol kaki Cecil sambil memainkan matanya seakan menyuruhnya duduk. Cecil paham langsung menepuk bangku kosong di sebelahnya. Yura pun menuruti Cecil dan meninggalkan gerombolan awalnya.
“Iya, Cil. Gue pindahan ke Yogyakarta. Masih main sama Dharma ya lo, betah banget.” Ia tersenyum pada Dharma dan cowok itu hanya meringis. “Kalian pacaran?” eh buset, belum-belum udah sadis amat ini cewek, batin Bhanu geli menyenggol Dharma yang bengong atas tuduhan barusan.
“Enggak lah, Ra. Temenan doang kok.” Cecil emang paling santai pokoknya.
Yura melempar senyum dan mengangguk. “Eh, gue ke temen-temen yang tadi ya, nggak enak kalo mencar sama mereka.” Yura pergi setelah melempar senyum pada Dharma dan Cecil. Hanya pada Dharma dan Cecil. Perlu diulang lagi dalam batin Bhanu, cuma ke Dharma sama Cecil? Lah, emang gue setan? Kok nggak disapa juga? Kan, gue temen sekelasnya!, pekik Bhanu dalam hati.
“Buset, berani amat tuh anak.” Dharma bersuara lebih dulu ketika Yura sudah benar-benar agak jauh.
Bhanu menggebrak meja pelan. “Nggak, gue nggak terima!”
Membuat kedua sahabatnya kaget. “Dih, kenapa lo?” seru Dharma kaget mengusap dadanya. “Cil, salty lo nular nih!”
“Eh, lo nggak liat dia nggak nyapa gue barusan?” Cecil dan Dharma lantas membuang tatapan malas. Drama king. “Gue nggak dikasih senyum dong.”
“Apaan sih, Nu. Emang kenapa? Kali aja dia malu nyapa.” Cecil setengah tertawa, terkesan sarkas dengan lirikan-lirikan meledek. “Gitu doang, loh. Kayak anak kecil nggak kejatah permen aja!”
“Gue berasa kayak setan, tak kasatmata! Badan gue kurang gede? muka gue kurang ganteng apa?” Bhanu celingukan melihat Yura yang lagi tertawa dengan anak-anak cewek lainnya. “Ya ampun, ini lebih sakit dicancel anak-anak sekelas.”
“Hhhh kumat, lebaynya.” Cebik Dharma.
Bhanu berdecak sebal, dia juga mau berkenalan dan berteman dengan Yura yang kata Dharma dan Cecil aneh itu. Dia mau tahu, seaneh apa Yura sampai satu sekolah menjauhi gadis itu. Pembawaannya padahal normal-normal saja. Tapi, apa pemikirannya yang tidak normal? Padahal Bhanu sudah menganggap pikirannya kadang juga aneh, Dharma dan Cecil mengakui itu. Lagipula, siapa yang bisa menandingi teori khayalan Bhanu kalau kelak manusia akan menemukan mesin waktu untuk pergi ke era manusia purba bahkan manusia pertama untuk mengajarkan berkembang biak dan membentuk komunitas. Pikirannya tiba-tiba melayang di tengah-tengah suap demi suap bakso di mangkok, manusia purba dulu tahu cara berkembang biak liat dari mana ya? Contoh hewan, kah? Hasrat, kah? Tapi, kok bisa tahu ya perutnya besar itu bukan karena penyakit tapi malah mengandung anak? Kan, gue jadi mikirin ini lagi, batin Bhanu di tengah riuhnya siswa-siswi yang menikmati jam istirahat.