Istirahat kedua, Bhanu biasanya akan menunaikan shalat di masjid sekolah. Supaya pas sampai rumah, dia bisa langsung bersantai atau mungkin melipir main entah kemana sehingga tidak diburu-buru waktu shalat dhuhurnya habis. Bhanu bertemu beberapa siswa yang juga menunaikan ibadah shalat. Tapi, rata-rata anak rohis, beberapa dia kenali karena sempat berteman dulu. Hanya saling sapa, lalu sudah selesai. Bhanu langsung pergi setelah shalat. Ingin segera menemui Cecil dan Dharma yang sudah pasti menunggunya di kantin, sesuai janji mereka tadi.
Namun, ketika dia sibuk mengikat tali sepatunya, cowok itu melihat Yura tengah duduk di taman depan masjid. Duduk sendiri dengan memegang sebuah catatan kecil, yang bisa Bhanu liat itu bersampul kulit entah hitam atau coklat. Ia tak yakin. Gadis itu nampak mengamati orang-orang yang berlalu lalang melewatinya. Sesekali melempar senyum ketika ada yang memberinya senyum. Lalu menulis lagi. “Kayak orang lagi sensus.” gumam Bhanu. Mengambil satu langkah ringan menjauhi Yura. Langkah berikutnya ia dihantui rasa penasaran. Hingga langkah ke tiga hingga tujuh,Bhanu lantas berbalik cepat. Duduk tepat di sebelah Yura yang tengah menulis kemudian buru-buru menutup bukunya. Menatap balik ke arah Bhanu yang penuh dengan tatapan polos. “Kok sendirian?” tanyanya.
Yura melirik ke sana sini memastikan bahwa lawan bicaranya ini memang sedang bertanya padanya. Memang tidak ada siapa-siapa lagi selain Yura yang ditatap oleh Bhanu. “Looking people around is your hobby?” tebak Bhanu, Yura sedikit menggeleng kemudian mengangguk. Ujung alisnya terangkat keheranan karena Bhanu yang mengajaknya berbincang saat ini.
“Sama!” Bhanu tersenyum lebar melihat respon Yura. “Lucu ya ngeliatin mereka jalan kelar ngelakuin sesuatu sama mau pergi ke tempat lain.” Lanjutnya. “Bhanu.” Uluran tangannya lebih dulu mencapai Yura.
“Yura.” Ia menyambut tangan Bhanu sekilas. Matanya menjelajah dari atas sampai bawah. Hingga Bhanu mengerutkan dahinya karena yang dilakukan Yura itu agak kurang sopan untuk pertemuan pertama. “Temennya Dharma sama Cecil ya?”
Oh, dia inget, batin Bhanu. “Iya, kenapa masih tanya? Tadi di kantin emangnya gue nggak keliatan banget?” mata Bhanu bertanya polos menuntut seperti anak kecil.
Yura tertawa. “Sorry, gue susah ngenalin muka orang.” Mengusap wajahnya yang cantik itu kemudian menggaruk alisnya. “Oh dear, kayaknya aku harus berhenti ngeliatin orang lalu lalang, deh.”
“Lho, kenapa?”
“Pernah nggak sih, Nu, ngeliat orang kayak familiar tapi ternyata bukan itu orangnya? Aku sering, loh, salah panggil gara-gara susah ngenalin wajah orang.” Bhanu masih diam saja ketika melihat Yura sedikit menggeser duduknya lebih dekat. “Lo percaya kalo ada orang yang mukanya itu ada 7 di dunia ini?” Bhanu mengangguk dengan sorot yang masih bertautan dengan Yura. “Gue pikir, seru aja kalo bisa ketemu sama ketujuh orang itu di sepanjang hidup gue.” Hah? Ngapain? Buang-buang waktu banget?, batin Bhanu dengan bulu kuduknya agak merinding ketika Yura mengatakannya dengan nada rendah dan senyum miring.
Melihat Bhanu yang agak tegang karena tatapan anehnya itu, Yura memundurkan diri kemudian berdiri. “Nggak balik?” ajaknya lalu berjalan lebih dulu. Berikutnya Bhanu menyusul dan berjalan tepat di sebelah Yura.
“Karna jam istirahat masih banyak, lo nggak mau ikut mini tour gue keliling sekolah?” tawar Bhanu.
“Boleh, jadi apa yang menarik dari sekolah ini?” Gadis itu berbalik menghadap Bhanu dan berjalan mundur. Memeluk bukunya di d**a, tersenyum pada Bhanu dengan helai rambut yang terurai itu menari menutupi pipi hingga mampir ke bibir, membuatnya menarik rambut itu lalu menyematkannya di telinga. Itu adegan terlama yang pernah Bhanu lihat sepanjang hidupnya. Aneh, ia ingin memutar balik namun cukup dengan sebuah senyum yang merekah pun cukup untuk balasan bahwa Bhanu menikmati pemandangan apik di depannya.
“Pasti lo mau tanya kakak kelas ganteng super keren, spot-spot angker, aturan sekolah yang dibuat secara sepihak dan turun temurun dari kakak kelas…” jelas Bhanu penuh percaya diri.
“Ah, basi.” Potongnya, lantas membuat Bhanu menoleh cepat. “Eh, sorry. Terusin aja deh.” Yura menggigit bibir dan menggeleng singkat.
Bhanu acuh, ia tetap melanjutkan. “Kalo kakak tingkat paling digandrungi sekarang namanya Reyhan sama Jelita. Kalo hasil ngegosip sama Cecil beberapa waktu lalu sih mereka pacaran.” Yura tertawa singkat. “Yah, kinda king and queen deh pokoknya.” Yura mengangguk lalu menggaruk tengkuknya. “Spot angker, kayaknya sih kamar mandi sama gedung anak-anak kelas tiga. Tapi nggak tau lah bener apa enggak. Males juga diajakin jurit malam. Nggak penting banget sih, cuman anak-anak di sini sering tuh usil. Gue sukurin sih kalo besoknya denger gosip dari Dharma ada yang balik-balik kesurupan.” Tawa mereka pecah bersamaan. “Cowok badboy, perlu nggak nih? Kali aja habis ini lo dideketin sama dia.”
“Siapa? Jangan bilang, Fero?”
“Loh? Udah nyamperin lo duluan?”
“Udah, tadi pagi pas gue nyari ruang BK.” Yura mengangkat bahunya.
Bhanu menggeleng sejenak, bisa-bisanya secepet itu si Fero, batinnya. “Iya pokok komplotan dia badboy semua deh. Badgirlnya nggak jauh-jauh dari gengnya Fero itu lah. Masih satu circle mereka.” Bhanu berucap santai. Bhanu menarik tangan Yura ketika dipersimpangan jalan menuju ke kelas dan taman dekat lapangan. Bhanu menuntun Yura duduk di salah satu bangku, di bawah pohon manga yang sedang berbunga. Rindang dan sejuk. Keduanya menatap bunga-bunga yang gugur dan beberapa sudah muncul buah-buah mangga kecil. “Di sini adem banget, Ra. Viewnya lebih enak kalo mau ngeliatin orang-orang.” Benar kata Bhanu, Yura kini bisa melihat beberapa siswa sedang bermain basket, beberapa sedang berkejar-kejaran, bergerumbul, beberapa sedang berduaan seperti Bhanu dan Yura-dengan ikatan yang lebih istimewa tentunya- dan beberapa ada yang sedang berulah layaknya penguasa yang senantiasa menindas kaum-kaum lemah, pemandangan yang bersatu membentuk sebuah harmoni pada sebuah kehidupan sekolah. Masa-masa menuju emas. Yura dan Bhanu justru termenung melihat apa yang ada di depan keduanya.
“Nu, sering banget sendirian duduk di sini?”
Bhanu ragu, mengusap pahanya berulang kali sambil berdehem. “Kadang sih, kalo habis dari masjid mampir dulu ke sini.”
“Kenapa?”
“Mencari ketenangan? Enak banget di sini, Ra.” Ia menghirup udara sedalam-dalamnya sambil merentangkan tangannya. Berbicara dengan Yura seolah-olah sudah saling mengenal cukup lama. Tidak ada canggung bahkan malu. “Banyak tanaman yang bikin otak lo pasti ikutan seger setelah belajar di kelas.” Ia bergidik, mengingat betapa mualnya ia jika harus disuruh membaca apalagi membaca lantang di depan kelas. Huruf-huruf itu tidak pernah mau tenang di matanya.
“Iya sih.” Yura setuju, tempat mereka saat ini lebih tinggi dari lapangan. Banyak bunga yang bermekaran, pohon-pohon di mulai dari mangga, pinus, dan cemara. Menyegarkan. “Your favourite spot?” Bhanu mengangguk. Iya, favorit Bhanu. Cocok untuk orang-orang yang ingin menyendiri. “Well, thanks kalo gitu.” Bhanu menatap Yura bingung. “Gue jadi punya spot baru buat liatin orang-orang deh. Haha.” Tawanya renyah. “Share sama gue ya?” Kemudian membuka buku dan menulis sesuatu di sana. Bhanu melirik sekilas namun ia tak menangkap apapun.
“Nulis apa?”
“Cuma catatan kecil.” Kemudian menutupnya. “Jadi, tournya cuma sampai di sini?” tanyanya.
“Belum, lo rencana mau ikutan ekskul apa?”
“Nope, skip bagian itu. Males.”
“Lho, kenapa?” tanya Bhanu. “Kayaknya lo pinter berbaur deh.” Satu pancingan dari Bhanu untuk melihat seberapa jauh anggapan ‘aneh dan misterius’ yang tersemat pada Yura.
Yura hanya tersenyum singkat kemudian menunduk. “Ada ekskul yang menurut lo unik nggak di sini selain kaya paskibra, serangkaian ekskul olahraga, jurnalistik or radio, cheers or dance, fotografi dan film, musik, olimpiade, gamer, robotik, debat sampai KIR?”
Bhanu menimang. “Ya cuman itu.”
“I mean, kenapa sih nggak ada ekskul kaya merangkai bunga, merajut, tarot, bahkan sampai club yang bahas tentang hal-hal mistis.” Yura tersenyum usil.
“Lo pikir SMA ini kayak SMA di anime-anime jepang!”
“Haha, pasti seru banget.” Katanya. “Lo ikut ekskul apa emangnya?”
“Dulu, gue ikutan photography, tapi karena nilai gue nggak ada peningkatan makanya nggak dibolehin ikut lagi, deh.” Bhanu tersenyum getir. Teringat kameranya yang teronggok di meja belajar dan sudah jarang dipergunakan kecuali Cecil dan Dharma mengajaknya belajar di luar rumah. “Tapi sesekali masih suka foto kok, sendirian. Kalau pas sama Cecil dan Dharma. They are my savior!”
“Kok bisa?”
Bhanu bimbang bagaimana menjelaskan bagian awalnya. “Ya pokok kita sering keluar buat belajar bareng. Cuman, kalo udah sibuk ngurus ekskul masing-masing, gue bakal sendirian.”
“Sendirian ya.”
“Iya. Sendirian.”
“Seru, ya?”
“Hm?” sahut Bhanu. “Maksudnya seru sendirian, gitu?” Yura mengangguk. Bhanu mendesis dan kembali bimbang. Tiba-tiba pertanyaan Yura itu membuatnya lantas berpikir. “Kadang seru, kadang enggak. Seru ketika lo nggak perlu ngomong sesuatu yang bisa nyakitin lawan bicara lo alias beneran jadi diri sendiri dan eksplor apapun. Kalo pas lagi bareng-bareng itu serunya bisa bertukar cerita.” Jelasnya, lalu mengangguk-angguk. “Yaaa… tergantung mood deh pokoknya. Kalo pas butuh temen ya cari, kalo nggak ada ya nggak apa-apa.” Yura mendengarkan seksama. “Kalo lo, seru sendirian kayak tadi?”
“Seru. Punya dunia sendiri.” Yura terkekeh lalu menatap jam tangannya. “Balik ke kelas yuk, udah mau masuk.” Mereka pergi dari tempat sepi menuju keramaian. Lorong yang dipenuhi orang di sisi kanan bahkan kiri. Lapangan banyak cowok-cowok yang mulai berkeringat membuat banyak cewek-cewek dari masing-masing angkatan sontak geger terpesona akan pemandangan yang sangat maskulin, beberapa ada yang siap dengan minuman dingin bahkan tak jarang saling bertatap sinis. Bhanu hanya menyenggol lengan Yura sembari berbisik “Kayak lagi masuk medan perang, iya nggak?”
“Haha, nggak selebay itu juga, Nu. Tapi kalo diliat-liat anak-anak yang lagi kasmaran tuh emang bar-bar banget nggak sih?” Ting… alarm di kepala Bhanu berbunyi. Alarm yang sama persis ketika ia pertama kali berkenalan dan berteman dengan Cecil dan Dharma. “Mereka apa nggak bisa chill dikit?” Yura tiba-tiba mencibir sambil berbisik di telinga Bhanu.
“Yura…” sapa Fero tiba-tiba dari lapangan. Terlihat terengah-engah karena cowok itu memang sedari tadi asyik mengejar bola basket. Dan sepertinya dia melihat Yura sedang berjalan dengan Bhanu. “Kok gue samperin ke kelas, lo malah nggak ada?” tanyanya dengan melirik acuh pada Bhanu. Bhanu hanya mendengus. “Kan, gue mau kenalin lo ke temen-temen gue.” Sontak mengundang sorakan dari siswa-siswi lainnya yang ada di sekitar mereka. Bahkan, kini keduanya menjadi sorotan oleh beberapa orang dari lapangan.
“Oh, gue ada mini tour sekolah sama Bhanu, iya nggak, Nu?” senggol Yura ke Bhanu. Bhanu senyum seadanya. Pasalnya, Fero kini sudah melemparinya dengan lirikan tajam.
“Balik sama gue kalo gitu. Gue juga bisa kasih lo mini tour.” Ajak Fero dengan tersenyum penuh mempesona. Bahkan beberapa cewek sampai menutup mulut, sulit percaya kalau Fero sudah melakukan kode keras ingin mendekati Yura.
“Aduh maaf, Fero, gue balik sama Bhanu hari ini. Ada buku yang harus gue beli dan cuma dia yang tahu tempatnya.” Bhanu mendelik, melirik Yura yang memasang raut muka tenang namun sorotnya nyalang menatap Fero. Sedangkan jari cewek itu tengah menarik-narik ujung baju bagian belakang Bhanu. Memberi sebuah kode pertolongan untuk membuat Fero percaya atas kebohongannya itu.
“Ya udah besoknya aja deh, balik sama gue.” Katanya. “Nggak ada penolakan.” Balasnya.
Jijik banget!, batin Bhanu.
“Yah, gue ada janji sama Cecil juga mau ketemu guru gue pas SMP. Beliau sakit kata Cecil.”
Damn, jelek banget alasannya!, pekik Bhanu dalam hati. Sorakan makin riuh, lantas membuat Fero nampak memutar otak menemukan celah atas penolakan Yura.
“Oh, istirahat besok makan sama gue ya?! Bisa dong? Masa nggak bisa sih?”
Yura tersenyum miring. “Lo bisa jemput gue besok di kelas kalo gitu.”
Bhanu menoleh secepat kilat. Melototi cewek yang tingginya se telinganya itu. Perawakannya tinggi dan semampai, rambutnya sebahu, lesung pipit, parasnya cantik. Fero saja sampai terpikat. Dan detik berikutnya Yura menggandeng Bhanu sebelum berpamitan dengan Fero. “Duluan ya, Fer.”
Gila, nih cewek mau bikin gue dibenci sama gengnya si Fero juga? Please, gue dicancel sekelas aja udah cukup ribet!, batinnya berjalan mengikuti Yura.
“Ra, lo apa-apaan sih.”
“Bantuin gue, gue nggak suka cowok leo!”
“Hah? Maksud lo?”
“Ih, Fero tuh keliatan zodiak leo banget. Gue nggak suka. Narcistic, attention seeker, every words he said sound so possessive. Cringe abis!” bisiknya penuh penekanan.
Bhanu memelankan lajunya dan melepas genggaman tangan Yura dari pergelangannya. “What do you mean?” kata Bhanu. “Tahu dari mana dia leo?” Bhanu penasaran sampai berkacak pinggang. Mendadak punya beban ketika punggungnya merasa dingin ditatap oleh Fero dari kejauhan. Ketika ada salah satu siswi melalui mereka, Yura menyegatnya.
“Sorry, tanya dong. Fero ulang tahun kapan?”
“Eh, dikata gue emaknya. Tanya fangirlnya aja.” Sahutnya kemudian menoleh ke segala arah. Dia memanggil salah satu temannya yang mendekat. “Sis, Fero ultah agustus bukan sih?”
“Iya, tanggal 7. Emang kenapa?” jawaban yang nampaknya adalah salah satu fangirl Fero. Yura langsung menepuk tangannya tepat di wajah Bhanu kemudian berterimakasih kepada orang-orang yang dia cegat.
“I’ve told you, he is a leo!” Bhanu masih menatap Yura aneh. “Even dia bukan Leo pun gue juga tetep ogah.” Ia meninggalkan Bhanu yang termenung. Menarik tangan Yura dan menuntut penjelasan lebih jauh. “Nu, gue mau gue sekolah dengan damai. Nggak dapat sorotan apapun.”
Bhanu mengerjap beberapa kali. “Kenapa?”
“Aduh, Bhanu lo tuh lucu banget, ya? Banyak banget ‘kenapa’ lo hari ini.” Yura tertawa. “Kenapa lo selalu tanya ‘kenapa’ terus? Apa lo emang begini sama orang baru?” Anggukan Bhanu membungkam Yura. “Kepoan banget.” Cibirnya lalu berbalik menuju kelas.
“Ya salah banget gue kepoan?”
“Enggak kok. Untung yang ditanyain gue. Jadi, gue nggak masalah.” Senyumnya tepat ketika Bhanu menoleh. “Nice to talk with you.” Katanya tepat di ambang pintu. “Semoga lo nggak anggap gue aneh gara-gara zodiak tadi.”
Bhanu termenung melihat punggung Yura. “Ra,” panggilnya. “Tapi, gue lahir tanggal 10 agustus.” Yura ikut terdiam. Keduanya saling menatap untuk beberapa detik. Yura, mengambil langkah mendekati Bhanu kemudian mengatakan, “Sini, gue liat natal chart lo.” Sambil membuka ponselnya mencari laman untuk melihat natal chart Bhanu. Akhirnya mereka berdua tenggelam membahas tentang natal chart di sisa waktu istirahat sebelum bel masuk berdering memotong kata demi kata yang Yura lontarkan pada Bhanu. Menurut Bhanu, sisi Yura yang fanatik akan zodiak itu unik, sama seperti dirinya yang fanatik dengan manusia purba dan dinosaurus. Itu bukan aneh, tapi unik. Dan, semua orang bisa berhak merasa bahagia dengan hal yang dia sukai tanpa perlu dicela.