Dalam waktu singkat, aku menyebut ketergantunganku padanya sebagai cinta.
Sampai pada suatu malam yang paling kelam dalam hidupku, Ayahandaku sendiri menangkapku layaknya seorang musuh.
Sang Raja duduk di salah satu kursi keagungannya dan Baureksa ada di sisi kanannya. Sedangkan aku yang babak belur diikat di pohon. Para penonton dengan kejinya menyemangati tindakan tak berhati nurani itu.
Raja Arya Wiguna mulai berkata dengan memandangku jijik, "Kau sudah berani jatuh cinta pada seorang jalang. Itu artinya kau sudah siap untuk menjadi laki-laki seutuhnya. Setelah luka-lukamu sembuh, kau akan menikah dengan gadis bangsawan pilihanku. Sekarang ucapkan selamat tinggal pada jalangmu itu."
Kemudian aku harus menyaksikan Magdalena dipermalukan harga dirinya sebagai wanita dan digantung di pohon di seberangku.
Aku dibiarkan terikat sampai pagi, begitu juga Magdalena yang dibiarkan tubuhnya berayun tanpa sehelai benang. Setiap detik kulewati malam itu dengan sumpah akan membalas mereka semua.
Guntur di pagi itu memecah kesunyian, hujan lebat mengiringi penurunan tubuh Magda. Mereka menolak untuk memakamkannya dan membuangnya ke laut. Sebelumnya aku berharap akan ada pusara yang bisa kudatangi setiap waktu untuk mengenangnya tapi mereka benar-benar keterlaluan.
Amarah di dadaku semakin menjadi, aku bersumpah demi setiap tetes hujan yang menyaksikan kekejaman mereka; aku akan menjadikan tiap tetes ini menjadi kobaran api balas dendamku.
Jika bukan karena tekad balas dendam itu, rasanya ingin aku menghabisi diriku sendiri. Aku tidak tahan hidup di lingkungan busuk seperti ini. Tapi aku harus terus hidup untuk setiap rasa sakit yang harus ditanggung Magda, kekasihku.
Aku dikurung dengan penjagaan ketat, sampai satu bulan berlalu, bahkan ibuku tidak diizinkan menjengukku. Raja k*****t itu setiap hari mengirim seorang pemuka agama untuk menceramahiku tentang mana yang baik dan mana yang benar.
Aku semakin jengah dengan Raja itu yang selalu merasa dirinya di jalan yang benar, sedangkan perbuatannya pada Magda tidak mencerminkan ajaran agama manapun. Di mana pun dia berbuat baik, itu hanya sebuah pencitraan.
Waktunya tiba saat kata-katanya tentang pernikahan berdengung di kepalaku. Bahkan putra mahkota yang umurnya dua tahun lebih tua dariku belum menikah.
Biasanya para pria di istana akan menikah saat usia kisaran dua puluh lima sampai tiga puluh tahun. Setelah mereka menyempurnakan ilmu kanuragan dan berbagai macam pelajaran filsafat dan sebagainya telah kami kuasai.
Tapi sudah menjadi rahasia umum jika pria-pria itu memiliki istri tidak sah; semacam selir untuk tempat melampiaskan kebutuhan mendasar seorang pria dan tidak akan pernah dinikahi secara sah. Istri sah akan dipilih dari kelas bangsawan tinggi, sedangkan selir biasanya bangsawan kelas rendahan.
Aku sekarang menjadi pria termuda yang pernah menikah di istana, dua puluh satu tahun. Raja memilihkan seorang putri tercantik dari kerajaan yang menjadi sekutunya, aku bahkan tidak peduli siapa namanya.
Ayahanda pikir kecantikannya akan menghilangkan pesona Magda dari hatiku. Ini bukan tentang kecantikan wanita, yang bergejolak di hatiku adalah dendam. Seorang wanita cantik tak akan mampu memadamkannya.
Aku belum pernah menyentuhnya barang seujung kuku, tapi dia akan menjadi pion dalam permainan apiku. Aku bersikap baik beberapa bulan terakhir hingga akhirnya aku diizinkan kembali ke laut.
Hal pertama yang kulakukan adalah meninggalkan putri sekutu ayahku di sebuah pulau kecil dengan memberinya perbekalan yang cukup untuk menunggu sampai dijemput ayahnya.
"Bhanu, kau tidak akan meninggalkanku sendirian di sini bukan?" teriak Kiran penuh dengan rasa tidak percaya.
"Aku membebaskanmu dari penderitaan menjadi istriku. Sekarang kau bebas. Kau hanya perlu menunggu di sini sampai ayahmu menjemput, kurasa tidak akan lama."
"Kenapa kau tidak langsung mengembalikanku pada ayahku?" Kiran semakin keras berteriak, tak kusangka gadis cantik itu bisa berteriak sekuat itu. Selama ini dia sangat diam.
Aku mendengus, "Tidak akan menarik jika begitu. Kuharap kau cepat mengerti, aku sedang mengadu domba ayahku dengan ayahmu. Mereka menghancurkan hidupku. Dan nanti kau akan bahagia tanpaku."
Matanya yang begitu hangat dan ramah segera berkabut karena emosi. Aku berbalik tepat saat ia menitihkan air mata.
Aku berharap suatu hari nanti ia akan mengerti bahwa aku tidak ingin menyeretnya terlalu jauh dalam hidupku yang menyedihkan.
Kiran segera menundukkan kepalanya, aku bisa melihat tangannya bergetar karena gelombang perasaannya. "Lalu bagaimana kau memutuskan ikatan pernikahan yang akan terjalin dalam tujuh kehidupan."
Aku menatapnya untuk waktu yang cukup lama, mengenang kecantikan dan kelembutan wajahnya untuk terakhir kali.
Aku berusaha tersenyum meskipun rasanya getir, "Aku tahu kau wanita yang sabar. Saat semua dendamku terbayar, aku rela mati di tanganmu untuk memutus tujuh kehidupan bersamamu. Karena kau pantas mendapatkan yang lebih baik daripadaku."
Aku mundur selangkah dan bergegas meninggalkannya yang terduduk di atas hamparan pasir putih. Pada waktunya, aku akan menyerahkan nyawaku untuk memutus ikatan itu, aku berjanji.
***
Aku segera memerintahkan anak buahku untuk menyampaikan berita bahwa Kiran kutinggalkan sendiri di pulau Soang; meskipun pulau itu tak berpenghuni kurasa ia akan baik-baik saja di sana, di dalam bekalnya kuselipkan belati dan tembakan.
Ayahandaku merasa ngeri dengan perilakuku. Beliau berbisik, "Firasatku buruk, jika Kiran tak bisa ditemukan, aku sebagai ayahmu tidak bisa melakukan banyak untukmu. Bersiaplah menanggung apapun itu."
Ayahanda berjalan lambat mendekati haluan kapal, sedangkan Ayah Kiran mondar-mandir membuatku pusing. Sesekali ia berhenti untuk menusukkan tatapan tajamnya padaku.
Pada akhirnya kami sampai di pulau di mana aku meninggalkan Kiran, dan ia tidak ditemukan dimana-mana. Bodohnya aku, seharusnya tadi aku menyuruh beberapa prajurit untuk mengawasinya.
Raja Kosala meratapi kesedihannya, ayahku yang berusaha menenangkannya tidak membuahkan hasil. Kami terdiam mengelilinginya, tak ada yang berani bertanya dan hanya menunggu sampai ia puas meratap.
Pria tua itu berdiri dan mencengkram kerah bajuku, "Kau laki-laki biadab! Apa salah putriku? Teganya kau!" Aku hampir tidak bisa mendengar kata-katanya yang diteriakkan terlalu cepat.
"Kau harus dihukum gantung," teriaknya. Ratapannya memekakkan telinga dan tangannya mengguncang lenganku kuat. Ia mengaum seperti singa marah.
Raut tak percaya muncul di wajah ayahku, "Ayolah Kakang, seseorang pasti sudah menolong Kiran, dia akan kembali. Jika aku menggantungnya, Kiran akan menjadi janda saat ia kembali." Nada khawatir terdengar dalam suaranya.
Ayah Kiran menggelengkan kepala, matanya penuh kilat mengerikan, "Aku memilih putriku menjadi janda. Dia tak layak menjadi suaminya. Kau gantung dia atau panji-panji perang akan berkibar."
Beberapa suara terkesiap, termasuk milik ayahku. "Beri putraku waktu untuk menemukan Kiran. Kakang Kosala, kau sedang tidak dalam keadaan baik untuk membuat keputusan."
Dengan segala kepiawaian ayahku dalam membujuk seseorang, akhirnya ia berhasil menenangkan ayah Kiran.