ISTRI ORANG 1
**
"Baaapaaak!" teriakan Emak sungguh memekakkan telinga.
"Iya, Bu!" teriak balik Bapak, tapi bukannya malah mendekat, Bapak justru berlari tunggang langgang mendekati anak bungsunya di kamar.
"Brak!" pintu yang tertutup rapat dibuka dengan paksa. Maka beliau bisa melihat dengan jelas sang anak bontotnya itu tengah tertidur pulas seraya bertelanjang d**a.
"Diioon!" teriak Bapak, membuat si empunya nama segera menyudahi mimpi indahnya dan meloncat dari atas tempat tidurnya yang sudah renta.
"Bapak, selalu ngagetin aku aja!" omel Dion buru-buru ia memakai kaos tanpa lengan yang tadi dia lepas sebelum berangkat tidur.
"Dengar nggak Emakmu sudah berteriak-teriak memanggil nama Bapak?" tanya Bapak. Tak lama teriakan ibu kembali terdengar dan kini lebih kencang dari yang sebelum-sebelumnya.
"Iya, Dion dengar, Pak. Terus Bapak ngapain ke sini? Buruan temuin Ibu! Biar Dion ke warung sekarang beli obat," gerundel Dion sambil meloncat melewati jendela kamarnya yang langsung tembus ke halaman belakang rumahnya.
"Eeeh ... dasar anak nakal! Bantu Bapak dulu mengangkat Emakmu!" teriakan Bapak tidak Dion hiraukan, lelaki berumur dua puluh satu tahun itu lari tunggang langgang menuju ke warung tetangga depan rumah yang selalu menyediakan jasa credit dadakan tiap kali keluarga Dion belum mendapatkan uang untuk membayar belanjaan mereka. Ya ... setidaknya selama mereka dua bulan pindah di rumah ini.
"Bu, biasa, ya. Obat asma," kata Dion dengan napas tersengal-sengal.
"Emak kamu kumat lagi, Yon?" tanya Ibu Zubaedah yang selalu berbaik hati memberikan apapun yang keluarga Dion butuhkan, tapi tetap ya setiap tanggal muda, Ibu Zubaedah akan datang ke rumah sambil membawa buku catatan tebal yang berisi catatan hutang Dion dan keluarganya.
"Iya, Bu," jawab Dion singkat sambil merebahkan dirinya di bangku panjang yang ada di depan warung.
"Ini obatnya, seperti biasa kan dicatat dulu." Ibu Zubaedah sudah hapal, apalagi ini sudah tanggal dua puluhan ke atas.
"Makasih ya, Bu," sahut Dion lesu.
"Yon, kamu tuch harus bisa jadi anak yang banggain orang tua. Kamu kan ganteng-"
"Terus, Bu?" potong Dion sambil berdiri dari tempatnya tadi merebahkan diri.
"Nyari tante-tante gih sana! Hahahaha," canda Ibu Zubaedah ditutup dengan tawanya yang menggelegar.
"Ibu ini bisa aja! Ya udah aku balik ya, Bu," kata Dion yang terus berlari masuk ke arah rumahnya.
Di dalam kamar, Ibu Astria sudah dibaringkan di atas tempat tidur dengan d**a yang bergerak naik turun dengan ritme yang terseok-seok.
"Ini obatnya, Pak," ucap Dion seraya menyerahkan obat yang dia bawa pada Bapaknya.
"Diminum dulu obatnya, Mak!" pinta Bapak seraya menyobek sachet pembungkus obat berbentuk kapsul tersebut dan menyerahkan isinya pada Ibu Astria.
**
Dion terpekur di bangku panjang yang terbuat dari anyaman bambu tua, yang apabila dia sedikit saja bergerak akan menimbulkan suara berisik seperti yang tempat itu akan rubuh dari kegagahannya. Sorot cahaya bulan yang malu-malu turut menjadi temannya menghabiskan malam. Sebatang rokok bermerk Tujuh Delapan tanpa filter menjadi sesajen yang mendampini Dion untuk memikirkan hal-hal yang sesungguhnya tidak pernah terbesit akan Dion pikirkan-membuat suasana yang di hiasi oleh suara jangkrik bersahut-sahutan ini menjadi terkesan sangat mencekam.
Tepat di atas kepala Dion, terdapat lampu bohlam berwarna orange berukuran lima watt. Benar-benar suasana di pedesan semakin kental berasa disambut dengan hembusan angin malam yang membangkitkan sekujur bulu kuduk Dion menjadi berdiri tegak seperti hendak mengikuti upacara bendera.
"Emang iya harta benda Bapak sama Emak udah habis buat bayar utang?" gumam Dion sambil melemparkan putung rokok yang sudah memendek ke sembarang arah.
"Mana tinggal di tempat kayak gini, pas kecil sie suka-suka aja mainan sawah, mancing di kali, kalau sekarang beh .... " imbuhnya merutuki keadaan yang sedang terjadi.
Lalu Dion terngiang kata-kata Bapak tadi siang. "Yon, Bapak sama Emak udah nggak bisa biayain kuliah kamu sampai tuntas, abang kamu aja sekarang kerja sambil kuliah, kamu pun juga. Rubah pola hidup kamu, Yon. Bapak sama Emak udah habis-habisan."
"Plak!" Dion memukul keningnya dengan cukup kencang. Tak lama setelah itu, kepalanya seperti yang baru saja keluar dari dalam hotel. "Check out ... check out ..." Puyeng tiada terkira.
"Jadi aku nggak bisa foya-foya lagi," keluh Dion seraya melemaskan ke dua bahunya. Sedih!
Beberapa menit kemudian, suara beberapa kendaraan terdengar berisik dan bersahut-sahutan. Itu adalah konvoi beberapa kendaraan sahabat-sahabat Dion di kampus. Mereka kompak menghentikan laju kendaraan mereka tepat di depan Dion yang sekarang tengah duduk diam dengan pakaian ala kadarnya.
"Yon, ke mana aja lu udah sebulan ini nggak masuk kampus? Kenapa sekarang lu pindah di rumah peninggalan simbah lu ini?" tegur Ernest si ketua genk yang paling koplax. Tak lupa salam persahabatan mereka berikan sebagai tanda bahwa hubungan mereka dalam keadaan baik-baik saja.
"Lagi meratapi nasib gue, Bro," jawab Dion tak bersemangat.
"Jadi beneran Emak Bapak lu udah bangkrut, Yon?" tanya Jovian sambil menempatkan dirinya duduk di sisi Dion.
"Lihat aja rumah gue jadi reyot begini! Peninggalan simbah," jawab Dion pasrah.
"Gue berasa aneh, masa iya harta keluarga yang segitu banyak di kampung bisa ludes," desah Dion masih berharap kalau ini adalah sebuah mimpi buruk baginya.
"Astaga! Terus gimana coba?" Udin geleng-geleng kepala.
"Memang kalau gue miksin eh miskin, kalian nggak mau lagi temenan ama gue?" tanya Dion dengan nada tinggi sambil berdiri dari tempat duduknya dan berkacak pinggang seperti orang menantang.
"Ya kagak begitu, Yon. Santai ... santai ... ayo duduk lagi!" Ernest merangkul Dion dan meminta sahabatnya itu untuk kembali duduk.