‘’… gadisku.’’ Valgar tidak menyangka gadisnya akan datang ke acara yang sama dengannya.
Ia melihat Ambar sedang mengobrol dengan seorang pria.
Padahal ia sedang berbica dengan orang tuanya. Hanya saja Ibu dan Ayahnya terhalang oleh orang-orang yang berada di samping kanan kedua orang tuanya.
Pria yang dikira Valgar sedang berbicara dengan pujaan hatinya itu kebetulan juga berada di samping kiri orang tua Ambar.
‘’Bu, bolehkah aku pergi melihat-lihat?’’
‘’Tentu saja, Sayang.’’
Ambar sengaja pergi agar tidak bergabung dengan teman maupun kenalan orang tuanya.
Valgar yang lagi-lagi kesal melihat Ambar didekati oleh pria meneguk habis minuman yang berada di tangannya.
Ballroom yang dihiasi dengan taman bunga berwarna-warni itu dari awal sudah menarik perhatian Ambar. Karena itulah saat ini ia sudah berdiri di tempat yang dari tadi ingin ia kunjungi.
‘’Indah sekali. Bahkan ada mawar putih.’’ Ambar terus berjalan pelan menyusuri taman buatan tersebut.
Di acara itu pula Keluarga Johnson dan Davis bertemu. Mereka yang memang bersahabat itu sangat senang begitu melihat kehadiran satu sama lain.
‘’Axiar.’’ Adeline mencium pipi kanan dan pipi kiri sahabatnya tersebut.
‘’Apa kalian hanya datang berdua?’’ Tanya Johnson.
‘’Aku bersama Putriku.’’ Jawab Davis.
‘’Benarkah? Mana dia?’’ Tanya Adeline. Ia sangat ingin bertemu dengan Ambar karena sudah lama sekali ia tidak bertemu dengannya.
‘’Sepertinya dia sedang melihat-melihat dekorasi ruangan ini.’’ Jawab Axiar yang langsung melihat sekelilingnya dan berharap dapat menemukan Ambar.
‘’Apa kalian hanya pergi berdua?’’ tanya Davis.
‘’Bersama Putraku satu-satunya. Tadi ada di belakangku. Saat aku menoleh, dia sudah tidak ada.’’ ujar Johnson.
Mereka tertawa.
‘’Bagaimana kunjungan kalian tadi siang?’’ tanya Adeline.
‘’Sangat menyenangkan. Aku akan membicarakannya besok.’’ jawab Davis.
‘’Rumah itu sangat mewah. Seleramu bagus sekali, Adeline.’’
‘’Terimakasih. Aku sudah menduga kau akan menyukainya.’’
Valgar tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari gadis yang sedang melihat bunga di pinggir ruangan itu.
Entah kenapa saat Valgar melihatnya, waktu terasa berjalan sangat lambat.
Mengenakan black short dress, hand bag dan high heels berwarna senada membuat semua orang terpukau melihat kecantikan putri satu-satunya Keluarga Davis itu. Pria yang sedang jalan melewati Ambar sesekali dicubit oleh pasangannya lantaran tidak berkedip ketika melihat Ambar.
‘’Wine, Nona?’’ Seorang pelayan menawarkan minuman kepadanya.
Ambar yang tadi sedang sibuk melihat-lihat bunga kini mengalihkan pandangannya ke pelayan tersebut. ‘’No thankyou. Apakah kau memiliki s**u coklat?’’
Pelayan itu tersenyum. ‘’Tidak ada, Nona. Namun aku bisa membawakan jus buah jika kau mau.’’
‘’Tidak, terimakasih.’’ Ambar tersenyum ramah. Pelayan itu pun meninggalkannya sendirian.
Pembawa acara pernikahan yang sedang dihadiri Ambar memberitahukan bahwa pasangan pengantin akan berdansa sebentar lagi. Namun Ambar sama sekali tidak memperdulikannya. Ia bahkan menggunakan ponselnya untuk memotret hamparan bunga yang sedang dilihatnya.
Valgar bukanlah seorang peminum.
Walau demikian, sebanyak apapun minuman keras yang dikonsumsinya tidak akan membuatnya mabuk dengan mudah.
Gelas ketiga, namun Valgar belum juga mendekati Ambar.
Pelayan yang tadi menawarkan minuman kepada Ambar kembali ke wine table untuk mengisi nampan yang kosong.
‘’Hei.’’
‘’Halo Tuan. Ada yang bisa ku bantu?’’ tanyanya.
‘’Kenapa kau tidak menawarkan gadis itu minuman?’’ Valgar menunjuk Ambar yang berada di pinggir ruangan.
‘’Oh, Nona itu tidak menyukai wine.’’
‘’Lalu?’’
‘’Yang Nona itu inginkan adalah s**u coklat.’’
‘’Apa di sini tidak tersedia?’’
‘’Tidak, Tuan. Aku bahkan sudah menawarkan jus untuknya. Namun ia menolaknya.’’
Valgar memberikan sejumlah uang yang cukup banyak kepada pelayan tersebut. ‘’Berikan apa yang dia mau. Sekarang.’’ bisiknya.
Pelayan itu sangat senang menerima uang yang berkali-kali lipat lebih besar dari gajinya saat ini.
Tanpa banyak bicara, ia pun segera pergi ke dapur dan mengambil s**u coklat yang berada di dalam kulkas. Tidak sampai dua menit, pelayan itu sudah kembali ke hadapan Valgar dan hanya membawa segelas s**u coklat yang terletak di nampannya.
Valgar mengangguk. ‘’Aku permisi, Tuan.’’ Baru saja ingin melangkah, Valgar memanggilnya kembali.
‘’Sebentar! Kemarilah.’’ Ia meletakkan satu strawberry cake di samping gelas.
Valgar mengambil gelas ke empat dan meneguknya. Ia masih terus memperhatikan Ambar dari kejauhan.
‘’Di tamanku tidak ada bunga bercorak seperti ini.’’ Ambar kembali memotret.
Yang Ambar lihat adalah Night Sky Petunia berwarna ungu. Corak putih yang terdapat di kelopak membuat bunga itu sangat cantik.
‘’Nona.’’
Ambar menoleh. ‘’Ya.’’
‘’Aku membawakan s**u coklat untukmu.’’ Pelayan itu mengarahkan nampan yang dibawanya kepada Ambar.
‘’Terimakasih,’’ Saat ingin mengambil gelas s**u, Ambar melihat potongan strawberry cake berada di nampan itu. ‘’Mengapa kau membawa cake ini?’’ Tanyanya penasaran.
‘’Aku hanya berpikir bahwa Nona akan menyukainya.’’ ucapnya.
Dalam diam ia berpikir keras. ‘’Bukankah banyak pilihan cake di sana? Mengapa dia hanya membawa cake yang ku sukai? Jangan-jangan seseorang yang mengirimiku cake kemarin malam itu adalah pria ini atau ada yang menyuruhnya untuk memberikannya padaku.’’
Bukannya mengambil minuman yang disediakan, Ambar malah lari dan meninggalkan pelayan itu sendirian.
‘’Nona … Nona …’’ Pelayan itu terus memanggilnya.
Valgar yang melihat itu meletakkan gelas wine yang baru saja ingin ia teguk dan segera menghampiri pelayan tersebut yang masih mematung di sana.
‘’Apa yang kau katakan padanya?’’ Valgar memegang kerah si pelayan itu.
‘’Aku hanya mengatakan bahwa Nona akan menyukai cake yang ku bawakan. Namun ia terdiam kemudian lari.’’
Valgar melepaskan kerah tersebut. Ia teringat ucapan Agzek bahwa gadis itu tampak ketakutan terkait strawberry cake yang pernah diberikannya kemarin.
Suara Valgar yang keras tidak terdengar oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Karena semua orang sedang melihat pengantin menari dan tidak memperdulikan keberadaan Valgar dan pelayan itu yang berada di belakang para undangan.
Ambar berlarian keluar dari ballroom dan memasuki sebuah koridor yang berada di sisi kanannya. Ternyata ia memasuki koridor kamar tamu.
Ia terus menerus menoleh kebelakang dan berusaha untuk membuka semua pintu satu persatu.
Ia melihat sepatu hitam mengkilap masuk ke lorong tempat ia berada. Belum sempat ia melihat siapa yang berada di belakangnya, gagang pintu yang baru dipegangnya itu dalam keadaan tidak terkunci. Ambar pun buru-buru masuk ke dalam kamar itu.
‘’Kakak, i need your help.’’ lirihnya.
Dari dalam kamar Ambar mendengar suara gagang pintu yang berasal dari kamar mandi. Seseorang berada di sana.
Ia dihadapkan dengan dua pilihan. Bertahan akan ketauan dengan si pemilik kamar atau keluar menghadapi orang yang mengejarnya.
Saat ia melihat pintu kamar mandi mulai terbuka sedikit, ia cepat-cepat keluar dari bilik itu. Ia melihat ujung koridor, namun tidak ada siapapun di sana. Koridor itu hanya memiliki satu akses pintu keluar masuk. Jadi ia harus melalui jalan yang sama untuk dapat pergi dari sana.
Ia mengendap-endap sambil terus memperhatikan arah depan dan belakang. Berjaga-jaga jika orang itu muncul itu dari dalam kamar yang berada di lorong tersebut. Saat dirasanya sudah aman. Ambar mempercepat langkah kakinya dan berjalan seperti biasa.
Ia yang terus melihat kebelakang tidak menyadari bahwa sudah sampai di ujung koridor. Ketika ia membalikkan wajahnya, seseorang sudah berdiri di hadapannya dan membuatnya berteriak kaget.
Tatapan tajam pria itu membuat Ambar merasa terintimidasi.
Dengan wajah ketakutan dan napas yang terengah-engah ia memberanikan diri untuk bertanya. ‘’Apa kau mengikutiku?’’
Pria itu sama sekali tidak menjawab. Menggunakan topi serta wajah yang ditutupi oleh masker membuat Ambar kesulitan mengenali siapa pria yang berada di depannya ini.
Perlahan-lahan pria itu melangkah untuk mendekatinya, ia pun refleks berjalan mundur dengan cepat hingga tubuhnya menyentuh tembok.
Saat belakang kepala Ambar hampir terantuk, pria itu dengan sigap mengalasi kepala Ambar dengan tangan kirinya.
Ambar kaget karena posisi tubuh pria itu sangat dekat dengannya. Ia benar-benar ketakutan. Dengan wajah tertunduk dan mata terpejam, ia tidak sanggup melihat apa yang akan dilakukan pria itu kepadanya.
Posisi tubuh yang sangat dekat lantaran tangan pria itu berada di belakang kepala Ambar, membuat pria itu bisa melihat wajah si gadis dengan jelas.
Perlahan-lahan ia membuka masker yang berada di wajahnya, rupanya dia adalah Valgar.
Tangan kanan pria itu yang diletakkan ke tembok, membuat posisi Ambar benar-benar terkepung. Namun ia tidak melihatnya.
Melihat wajah cantik itu dari dekat membuat Valgar tersenyum. Ia menyingkap rambut yang menutupi kedua telinga gadis itu dan membisikkan sesuatu.
‘’Aku mencintaimu.’’ lirihnya.
Ambar yang mendengar ucapan pria itu perlahan-lahan membuka matanya. Wajah Ambar yang berjarak sejengkal dengan wajahnya itu membuat Valgar semakin tidak berkedip. Ia menunggu gadis yang ada di hadapannya ini mengatakan sesuatu.
‘’Apa yang kau katakan?’’ tanya Ambar.
‘’Haruskah ku ulangi?’’
‘’Iya.’’
‘’Aku mencintaimu.’’
‘’Aku rasa kau mabuk, Tuan.’’ Ambar mendorong tubuh itu dan berlalu di sebelah kanan Valgar.
Baru saja ia berjalan selangkah, Valgar menarik tangan kanannya hingga ke posisi semula. ‘’Hei Nona, aku bukan seseorang yang mudah untuk jatuh cinta.’’
‘’Dan aku bukan seseorang yang mudah untuk dicintai.’’
‘’Arogan sekali.’’
‘’Berhentilah membuang-buang waktu. Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?’’
‘’Kau. Aku membutuhkanmu.’’
Ambar yang mendengar itu mendorong tubuh Valgar lagi dan menamparnya. ‘’Aku bukan seperti wanita yang kau pikirkan.’’ Air matanya berlinang.
Tamparan keras itu membuat ujung bibir Valgar mengeluarkan darah. Ia kaget lantaran melihat gadis yang dicintainya menangis karena ulahnya.
‘’Maafkan aku, Nona. Sungguh aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu. Tenanglah,’’ Wajah Valgar mulai panik. ‘’Sudah dua hari ini aku melihatmu dan dua hari juga aku terus memikirkanmu. Aku bukan pria biadab seperti yang kau pikirkan.’’
Dalam jarak dua langkah itu Valgar merasa bersalah karena tidak bermaksud membuat Ambar menangis.
‘’Aku membencimu.’’ Menyeka air mata di wajahnya dan berlalu meninggalkan Valgar sendirian.
‘’Aku tidak bermaksud,’’ Valgar yang tidak bisa berbuat apa-apa hanya pasrah melihat Ambar pergi begitu saja dari hadapannya.
Ia menoleh kebelakang dan berusaha menghentikan Ambar. ‘’Hei, aku minta maaf.’’ teriaknya. Namun usahanya itu sia-sia. Ia hanya bisa memperhatikan gadis dengan rambut panjang sepunggung perlahan-lahan meninggalkannya.