Posisi tubuh Ambar yang saat ini membelakanginya membuat ia tersadar dari lamunannya.
‘’Tuan.’’ Panggil pelayan yang masih berada di sampingnya.
‘’Ya, kenapa?’’
‘’Tadi Tuan memintaku untuk tidak pergi mengantar s**u coklat ini. Apa ada yang ingin Tuan sampaikan?’’
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya lalu memegang kepalannya yang sedikit terasa berat.
‘’Tidak. Pergilah.’’ titahnya.
‘’Baik, Tuan.’’
Perkara memikirkan strawberry cake, Valgar sampai berpikir keras terhadap dampak yang akan dialami gadisnya.
Ia yang masih memegangi kepalanya itu melihat ke arah buffet cake dan cepat-cepat meletakkan gelas yang masih dipegangnya ke atas meja.
Di salah satu meja yang terdapat di area vip, orang tua Valgar berada di satu meja yang sama dengan ayah dan ibu Ambar.
‘’Sayang, Putrimu kemana?’’ Tanya Davis.
‘’Dia izin pergi melihat-lihat.’’ Jawabnya singkat.
Johnson yang mendengar percakapan antara Davis dan istrinya itu, tiba-tiba teringat akan sesuatu.
‘’Apa kau masih ingat mengenai perihal Putraku dan Putrimu?’’ tanya Johnson.
Davis dan Axiar saling tatap. ‘’Perjodohan?’’ Davis bertanya balik.
Adeline tertawa. ‘’Ayah, kau ini masih ingat saja.’’ Menepuk bahu suaminya.
‘’Benar. Bukankah Istriku dan Istrimu ingin menjodohkan anak kita ketika mereka sudah dewasa ?’’
‘’Aku tidak ingin memaksakan, jika mereka sudah memiliki pilihan.’’ jawab Axiar.
‘’Benar. Aku ingin mereka menentukan pilihannya sendiri.’’ tambah Adeline.
‘’Tapi, jika Putrimu tidak menemukan pilihan itu. Maka Putraku yang akan memilihnya.’’
Mereka semua tertawa mendengarnya. Lelucon Johnson berhasil mencairkan suasana.
Pelayan suruhan Valgar menghampiri Ambar.
‘’Nona, ini s**u coklat yang kau mau.’’
Ambar yang membelakanginya seketika menoleh. ‘’Maaf merepotkanmu.’’
‘’Tidak masalah, Nona. Apa ada yang kau inginkan lagi?’’
‘’Tidak. Ini sudah cukup.’’ Mengambil gelas yang berada di nampan.
Pelayan itu berlalu dan meninggalkan Ambar yang tengah asik melanjutkan aktivitasnya. Ia sangat menikmati hamparan bunga yang menghiasi pinggiran ballroom sambil minum s**u. Namun tiba-tiba saja ia merasa terganggu saat seseorang menyentuh punggungnya. Ia pun sontak menoleh ke belakang.
‘’Ibu.’’
‘’Sayang, apa yang sedang kau lakukan?’’
‘’Melihat bunga. Ada apa, Bu?’’
‘’Apa besok kau memiliki kelas pagi?’’
‘’Tidak. Kelasku dimulai jam satu siang.’’
‘’Karena sepertinya kita akan pulang larut malam. Jadi ibu akan membooking dua kamar.’’ Axiar menyingkap rambut yang menutupi kedua telinga putrinya.
‘’Baiklah, Bu.’’
‘’Ayo kita temui Sahabat Ibu dan Ayahmu.’’
‘’Siapa, Bu?’’
‘’Keluarga Johnson.’’
Ambar yang masih mematung itu pun ditarik lembut oleh ibunya menuju meja vip di mana Ayahnya berada.
‘’Aku ingin di sini saja, Bu. Bukankah aku sudah pernah bertemu dengan keluarga mereka saat aku kecil?’’ Masih bertahan di posisinya.
Dengan kondisi yang sudah jauh lebih baik, Valgar terus memperhatikan Ambar yang tengah mengobrol dengan seorang wanita yang tidak ia ketahui wajahnya lantaran membelakanginya.
‘’Itu kan waktu kecil. Beda dengan sekarang. Ayolah sayang, sebentar saja.’’
‘’Janji? Ibu tidak akan menahanku lama-lama?’’
‘’Janji.’’
Ambar tersenyum begitu mendengar pernyataan dari ibunya.
Valgar kehilangan Ambar dari pandangannya ketika gadisnya mulai memasuki kerumunan.
‘’Ke mana dia? Apakah dia bersama Ibunya?’’ ucap Valgar.
Akhirnya mereka tiba di meja vip yang terletak di sayap kanan ballroom.
‘’Adeline, Johnson. Ini putriku yang dari tadi kalian tanyakan.’’ Axiar menarik Ambar yang bersembunyi di belakangnya.
‘’Kemarilah, Sayang.’’ Ujar Ayahnya yang berada di samping kanan Johnson.
Axiar, Davis, Johnson dan Adeline.
Itu adalah urutan duduk mereka di meja bulat yang berada di hadapan Ambar tersebut.
Ambar yang semula berada di samping kanan ibunya, kini berpindah ke samping kiri yang mana bersebelahan langsung dengan ayahnya.
‘’Kecilnya saja sudah cantik. Ternyata dewasanya lebih cantik.’’ Ucap Adeline yang terpana melihat kecantikan Ambar yang berdiri di depannya.
‘’Halo, Nyonya Johnson. Halo, Tuan Johnson.’’ Sapa Ambar sembari mengulurkan tangan.
‘’Ia mengambil jurusan MBA di Univeristy of Hamburg, sama seperti Kakaknya. Hanya saja di semester yang berbeda.’’ Davis menjelaskan.
Adeline seketika menatap suaminya dan tersenyum. ‘’Benarkah? Putraku juga berada di jurusan yang sama. Hanya saja di universitas yang berbeda.’’ Perkataan Johnson membuat Davis tertawa.
Davis yang memperhatikan Johnson dan Adeline tau betul apa maksud tatapan itu. Mereka sangat menyukai putrinya untuk dijadikan menantu di keluarga mereka.
Mau itu teman atau relasi bisnis orang tuanya sekalipun, Ambar tetap tidak nyaman berada di circle orang-orang yang tidak dikenalnya.
Jika sudah demikian, sepanjang percakapan ia hanya bisa diam. Hal itulah penyebab Axiar terpaksa berjanji kepada putrinya bahwa dia tidak akan menahannya terlalu lama.
Axiar tidak enak jika putrinya tidak menyapa sahabat-sahabatnya, karena ia sudah terlanjur mengatakan bahwa ia juga pergi bersama Ambar.
‘’Mari ku kenalkan dengan Putraku.’’ Johnson mencari-cari keberadaan Valgar.
‘’Di mana dia?’’ tanya Adeline.
Ia melambaikan tangan dan berteriak ke arah Valgar yang berada di wine table. Namun Valgar tidak melihat itu. Ia tengah sibuk mencari-cari keberadaan Ambar. Padahal gadis yang dicarinya sedang bertemu dengan kedua orang tuanya.
‘’Maafkan aku, Nak. Putraku tidak dapat mendengar panggilanku.’’ ucap Johnson.
Banyaknya tamu undangan yang berkerumun dan ditambah suara musik yang keras membuat Valgar sama sekali tidak mengetahui panggilan tersebut.
‘’Tidak apa, Tuan.’’ Ambar berusaha tersenyum.
‘’Karena sekarang sudah memasuki jam tidur, ayo Ibu antar ke kamarmu.’’
‘’Benar, sebaiknya begitu.’’ Davis yang melihat gadis-gadis seumuran Ambar sedang berdansa dengan banyak pria di lantai dansa cepat-cepat menyetujui perkataan istrinya.
‘’Baiklah. Aku permisi, ayah,’’ Davis mengulurkan tangan kanannya dan disambut oleh Ambar. ‘’Tuan dan Nyonya Johnson, aku permisi. Selamat malam.’’ Ucap Ambar sembari menganggukkan kepalanya dan melepas genggaman ayahnya.
‘’Aku akan segera kembali.’’ Ucap Axiar sambil memegang kedua bahu Ambar.
‘’Sayang, segera cari Putraku. Aku tidak ingin melihatnya berdansa sepeti orang-orang yang berada di atas sana.’’ Bisiknya sambil melirik panggung lantai dansa.
Adeline tertawa. ‘’Baiklah.’’
Begitu Axiar pergi, Adeline juga bergegas mencari Valgar.
Dari tempatnya berdiri, Valgar terus mencari-cari Ambar. Seseorang terus menerus memanggilnya dari kejauhan namun Valgar tidak menghiraukan panggilan itu sama sekali. Ia mengira itu adalah gadis yang tadi mengajaknya mengobrol.
‘’Nak.’’ Adeline muncul di hadapan Valgar.
Ia pun langsung mengalihkan pandangannya. ‘’Ibu.’’
‘’Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Kau sedang mencari-cari apa?’’ Adeline melihat arah yang dari tadi dilihat putranya.
‘’Tidak apa-apa, Bu. Ada apa?’’
‘’Apa kau minum?’’
Valgar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ‘’Iya.’’
Di kerumunan itu terdapat Sofi yang sedang mengobrol bersama ibunya.
Saat melihat Adeline menghampiri Valgar, ibunya spontan berkata. ‘’Bukankah itu istri dari Pimpinan Johnson dan Putranya?‘’
‘’Siapa Bu? Pria itu hanyalah seorang pelayan.’’ Menunjuk Valgar.
‘’Tidak. Dia pewaris utama di perusahaan tempat ayahmu bekerja.’’
‘’Benarkah?’’
‘’Beberapa bulan yang lalu ayahmu bercerita, bahwa dia pernah mengantarkan dokumen kepada pimpinan Johnson ke rumah pribadinya yang terletak di tepi pantai dan rumah itu sangatlah mewah.’’
‘’Sial sekali. Tadi aku mencampakkannya begitu saja saat dia mengakui dirinya sebagai seorang pelayan.’’
‘’Bodohnya kau. Berusahalah untuk mendekatinya. Jika kau menikah dengannya, ayahmu akan naik jabatan dan kita akan kaya raya.’’
Adeline menatap Valgar. ‘’Ayahmu meminta ibu untuk mengingatkanmu untuk tidak berdansa di sana.’’
‘’Aku sama tidak pintar berdansa. Ibu kan tau aku tidak suka berkerumun dalam keramaian seperti itu. Karena itulah aku berdiri di sini seorang diri.’’
Adeline tersenyum dan membelai pipi putranya dengan tangan kanannya. ‘’Ibu tau dan ibu hanya mengingatkan.’’
‘’Ibu tidak perlu khawatir. Aku selalu menjaga kehormatan keluarga kita.’’ Memegang tangan Adeline yang berada di pipinya.
‘’Terimakasih, Sayang. Besok kau tidak kuliah kan?’’ Menyingkirkan tangannya dari pipi Valgar.
‘’Tidak. Professor Alex hanya memintaku untuk mengumpulkan bahan tesis.’’
‘’Bagus sekali. Kita akan menginap di sini. Ibu sudah memesan dua kamar.Nomor kamarmu 636. Ambil kuncinya di resepsionis atas nama Tom Johnson.’’
‘’Baiklah, Bu.’’
Adeline pun pergi.
Ia memperhatikan ibunya yang masuk ke dalam kerumunan itu, yang mana pandangannya tersebut juga mengarah ke pintu keluar. Ia mendapati gadisnya sedang keluar bersama wanita yang bersamanya tadi.
Ia berlarian menuju pintu dan melewati kerumunan yang membuat orang-orang meneriaki Valgar.
‘’Hei.’’ Teriak salah seorang yang berada di kerumunan itu.
‘’Berhati-hatilah.’’ Teriak yang lain lagi.
Namun ia sama sekali tidak memperdulikan teriakan-teriakan itu. Setelah terbebas dari lautan manusia, akhirnya Valgar tiba di pintu keluar yang bersisian dengan pintu masuk.
Dia melihat ke arah kanan dan kiri. Sayangnya Ambar tidak berada di sana. Dua orang yang berjaga di pintu keluar pun ditanyai olehnya.
‘’Apa kau melihat seorang gadis mengenakan dress berwarna hitam bersama seorang wanita yang memakai gaun berwarna putih?’’
Yang satu menunjuk ke koridor sebelah kiri dan yang satunya lagi menunjuk ke arah lift yang berada di depan ballroom.
Valgar mengernyitkan keningnya. ‘’Kemana perginya gadis yang mengenakan dress berwarna hitam?’’
Mereka dengan kompak menunjuk koridor yang berada di sebelah kiri.
‘’Terimakasih.’’
Ambar diminta untuk menunggu di depan pintu kamar, sedangkan ibunya pergi ke resepsionis untuk mengambil kunci.
Untung saja ia membawa gelas berisi s**u coklat yang dari tadi dibawanya, jadi ia tidak merasa bosan menunggu sendirian.
Valgar yang bergegas menuju koridor itu telah mendapati gadisnya sedang meminum s**u di depan pintu sebuah kamar.
Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Ambar yang berjarak lima belas belas meter darinya.
Sangking fokusnya menatap Ambar, orang-orang yang berlalu di depannya tidak ia perdulikan sama sekali.
‘’Tampan sekali.’’ Ucap salah seorang gadis yang baru saja melewatinya.
Sepuluh meter. ‘’Hei.’’ Sapa seorang gadis lagi.
Lima meter. Seorang wanita dari kejauhan mengedipkan matanya kepada Valgar.
Dua orang wanita berjalan di hadapan Valgar dan berkata.
‘’Dia tampan sekali.’’ Ucap temannya yang melihat Valgar berada di depannya.
‘’Apa dia mau denganmu?’’ Bisiknya sambil tertawa kecil.
Ambar mendengar apa yang dikatakan gadis-gadis itu tadi. Namun dia memilih untuk tidak menoleh dan sesekali menunduk memainkan heelnya dalam sikap istirahat, kedua tangannya diletakkan kebelakang.
Waktu terasa begitu lambat bagi Valgar.
Rambut yang menutupi dua sisi wajahnya saat menunduk itu, disingkapkannya ke telinga kanan hingga terlihat sisi kanan wajah itu.
On position.
‘’Selamat malam, Nona.’’