APPLE

1738 Kata
‘’Selamat malam.’’ jawabnnya. Saat ini seorang pria tengah berdiri di hadapan Ambar. ‘’Apa ada yang kau butuhkan?’’ Tanya pelayan hotel itu. Valgar melewati Ambar begitu saja saat seorang pelayan tiba-tiba menghampiri gadisnya. ‘’Tolong bawakan kunci kamar nomor 638 atas nama Voltra Davis.’’ ‘’Dengan senang hati, Nona.’’ Ia melihat orang-orang keluar masuk dari ujung koridor. Karena penasaran dan bosan menunggu, perlahan-lahan ia mulai melangkahkan kakinya untuk mendatangi koridor tersebut. Ketika ia berbelok ke kanan, ternyata di sana terdapat sebuah ruangan berukuran tiga kali lima meter yang terdapat sofa di dalamnya. Ruangan itu memiliki dua akses pintu. Yang pertama adalah jalan yang baru saja diilalui Ambar dan yang kedua terletak di sebrang sisi satunya lagi yang langsung mengarah ke koridor lain. Ia yang sudah kelelahan berdiri itu pun cepat-cepat duduk di sofa. Gelas s**u yang dari tadi dipegangnya ia letakkan di atas meja. Di ruangan itu hanya ada Ambar dan seorang pria yang sedang sibuk membaca koran. Ambar hanya bisa melihat sepatu dan celana hitam yang dikenakannya karena koran yang sedang dibacanya tersebut menutupi wajah pria itu. Tak lama, pelayan yang tadi dimintai tolong oleh Ambar datang menghampiri pria yang sedang membaca koran. ‘’Tuan, ini kunci kamarmu.’’ ‘’Terimakasih.’’ Pria separuh baya itu melipat koran yang dibacanya dan mengambil kunci dari pelayan itu dan bergegas meninggalkan ruangan. Rupanya dari tadi pria itu sedang menunggu pelayan yang sama. Pantas saja pelayan tersebut muncul di hadapan Ambar dari arah yang berlawanan dengan Valgar. Setelah urusannya dengan pria itu selesai, pelayan itu kemudian menghampiri Ambar. ‘’Ini kuncimu, Nona.’’ ‘’Terimakasih.’’ Ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi ibunya. ‘’Halo, Ibu. Aku sudah mendapatkan kunci kamarnya.’’ Ambar menceritakan semuanya di telepon. ‘’Benarkah? Kalau tau begitu ibu tidak perlu repot-repot untuk mengantri. Padahal sisa antrian tinggal satu orang lagi.’’ gerutunya. Ambar tertawa. ‘’Aku tunggu di kamar ya, Bu.’’ Begitu telepon ditutup, Ambar bergegas ke kamar yang akan di tempatinya. Saat ia memasuki kamar 638. Ambar berseru tertahan. ‘’Wow … Apa aku tidak salah kamar?’’ Ia membiarkan pintu dalam keadaan terbuka dan segera masuk ke dalam. Main bedroom, living room dan dining room serta closet room yang terdiri dari make up corner, wardrobe, wastafel, bathub, shower room dan toilet, semua fasilitas itu terdapat dalam satu kamar yang telah selesai diperiksanya. ‘’Apa kau menyukainya?’’ Ambar menoleh ke arah sumber suara. ‘’’Presidential suite?’’ Tanya Ambar yang sedang duduk di living room menunggu kedatangan orang yang dari ia tunggu-tunggu. Karena itulah Ambar sengaja tidak menutup pintu kamarnya. ‘’Kenapa tidak? Ibu pikir kau akan menyukainya.’’ Menghampiri Ambar. ‘’Tentu saja aku menyukainya, Bu. Terimakasih telah memberiku fasilitas yang sama seperti kamarku di hotel kita.’’ Rengeknya sambil menatap ibunya yang tengah duduk di sampingnya. Axiar tertawa. ‘’Ini adalah ide Ayahmu.’’ ‘’Sampaikan terimakasihku untuk Ayah, Bu.’’ ‘’Dan atas persetujuan, Ibu.’’ ‘’Thanks to you too.’’ Ia tersenyum menatap putrinya. ‘’Ini.’’ Axiar memberikan paper bag berwarna coklat kepada Ambar. ‘’Apa ini, Bu?’’ ‘’Piyama dan pakaian gantimu.’’ Ambar tersenyum lebar. ‘’Terimakasih. Ibu sangat tau apa yang ku butuhkan.’’ ‘’Sekarang bersihkan dirimu dan istirahatlah segera. Ibu akan kembali ke ballroom.’’ ‘’Baiklah.’’ Setelah mencium kening putrinya, ia pun langsung keluar dari sana. On The Road. 10.30 p.m. Valgar yang saat itu menghindari Ambar, rupanya memutuskan untuk tidak menjumpai gadisnya lagi. Ia menuju lobi dan tak lama Agzek pun datang menjemputnya. Padahal ibunya telah memintanya untuk beristirahat di kamar hotel yang sebenarnya bersebelahan dengan kamar pujaan hatinya. Di mobil yang sudah bergerak menuju kediaman Keluarga Johnson, Valgar tampak geram mengingat kejadian yang baru saja dilaluinya. Agzek yang melihat tingkah Tuan Mudanya itu pun hanya bisa diam dan terus menyetir dengan aman. ‘’Arghhh … sial sekali,’’ teriaknya. Valgar mengepalkan kedua tangannya. ‘’Kita ke Cave.’’ titahnya. ‘’Baik, Tuan Muda.’’ jawabnya. Dengan cepat Agzek merubah arah mobil menuju tujuan yang diinginkan oleh Tuannya. Wajahnya yang kian memerah dan diikuti dengan napas yang terengah-engah membuat Valgar ingin sekali melampiaskan amarahnya. Room 638. 22.45 p.m. Sedangkan di kamar nomor 638 Ambar sedang tersenyum melihat pemandangan kota dari tempat tidurnya. Ia segera mematikan lampu yang berada di samping tempat tidurnya dan terlelap dengan tirai jendela yang tidak ditutup agar pemandangan kota dapat menemani tidurnya. ‘’Selamat tidur, Ambar.’’ ucapnya. Di ballroom, Axiar yang telah kembali dari kamar Ambar akhirnya bergabung kembali. ‘’Apa putriku sudah masuk ke kamarnya?’’ ‘’Sudah, Ayah. Anakmu sangat senang mendapatkan presidential suite dan ia juga memintaku untuk mengucapkan terimakasih padamu.’’ Davis tersenyum begitu istrinya menyelesaikan kalimatnya. Karena mereka mengajari Ambar untuk selalu menghargai upaya seseorang walaupun itu hal sederhana baginya. ‘’Apa kau telah memberitahu Ratva bahwa kita tidak pulang malam ini?’’ ‘’Sudah.’’ ‘’Bagaimana jika dia menyusul saja ke sini?’’ ‘’Aku sudah mengatakannya. Tapi dia tidak mau.’’ Axiar sangat mengetahui karakter putranya itu. ‘’Dia akan di rumah sendirian.’’ ‘’Tidak. Dia akan menginap di Orchard Hill.’’ Orchard Hill adalah sebuah komplek elit milik perusahaan Davis yang berada di perbukitan Orchard. Lokasinya tidak jauh dari Orchard Park. Hillside mansion yang berukuran tidak terlalu besar milik Keluarga Davis berada di sana. Davis menempatkan dua orang penjaga untuk merawat hunian itu. Ratva sering mengajak tunangannya berkunjung ke sana karena Rana menyukai daerah perbukitan. Rana’s House. 10.50 p.m. Mobil yang dikendarai Ratva telah sampai di depan rumah Rana. ‘’Sayang, kau akan tetap sendirian jika menginap di sana.’’ ‘’Ada dua orang pelayan yang akan menemaniku di sana dan kau sudah tau itu.’’ ‘’Mengapa kau tidak menginap di rumahku saja?’’ Tanya Rana. Ratva menyeringai. ‘’Lalu aku tidur di mana?’’ ‘’Di kamarku.’’ ‘’Lalu kau tidur di mana?’’ ‘’Bersamaku.’’ Ratva tertawa terbahak-bahak. ‘’Mengapa tertawa? Apa kau tidak mau?’’ Ratva menatap wajah tunangannya dengan lembut. ‘’Apa kita sudah menikah?’’ ‘’Belum.’’ ‘’Lalu mengapa kau mengajakku tidur bersama? Jelaskan padaku,’’ Rana yang mendengar ucapan Ratva itu pun jadi salah tingkah. ‘’Aku hanya tunanganmu, bukan suamimu. Aku belum memiliki hak atasmu sepenuhnya. Bukan hanya kehormatanku dan kehormatanmu yang harus ku jaga. Tapi juga kehormatan keluarga kita.’’ Mengusap kepala Rana. Penyampaian Ratva yang lembut membuat wajah Rana memerah. ‘’Maafkan aku.’’ Melihat Rana yang tampak malu, Ratva membuka seat belt nya dan berpura-pura membuka pintu mobil. ‘’Yasudah, kalau begitu ayo.’’ ‘’Kemana?’’ ‘’Ke kamarmu? Bukankah kau tadi mengajakku?’’ ‘’Untuk apa?’’ ‘’Mencubit pipimu.’’ Dicubitnya pelan pipi kekasih hatinya itu. Rana tertawa pelan. ‘’Kau memang pria baik.’’ Ratva memegang wajah Rana dengan kedua tangannya. ‘’Aku mencintaimu, bukan ingin merusakmu. Aku ingin menjagamu, bukan berarti mengekangmu. Walaupun kau selalu di antar jemput oleh pengawalku, namun itu bentuk kasih sayangku. Biar saja calon mertuaku memarahiku lantaran mobilmu tidak pernah terpakai gara-gara aku. Kalaupun memang harus demikian aku sungguh tidak keberatan. Yang penting, gadis yang kucintai yaitu Sheriana dalam keadaan baik-baik saja dan aku tau itu.’’ ‘’Terimakasih, Sayang. Aku sungguh mencintaimu.’’ Ratva mengusap kedua pipi itu kemudian melepaskannya. ‘’Aku pun demikian. Bersabarlah hingga waktunya tiba,’’ Ratva turun dari mobilnya dan membukakan pintu untuk Rana. ‘’Sekarang kembalilah ke pelukan orang tuamu karena aku sudah selesai menculikmu.’’ Rana tertawa. Ia pun melangkah kakinya keluar. ‘’Baiklah Tuan penculik, dengan senang hati aku akan menuruti perintahmu.’’ Ratva menggenggam tangan kanan Rana. ‘’Kau sangat berarti bagiku. Tetaplah di sampingku selalu.’’ ucapnya. ‘’Aku tidak akan pernah pergi dari sisimu.’’ Ratva mencium tangan Rana kemudian melepasnya. ‘’Selamat malam, Sayang.’’ ‘’Selamat malam.’’ Ratva baru masuk ke mobilnya saat Rana sudah masuk ke dalam rumah. Dari lantai dua rumah Rana, rupanya dari tadi ada yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Ibu Rana yang masih asik menonton televisi di lantai dua pura-pura tidak melihat putrinya ketika Rana menghampiri mereka. ‘’Baru pulang?’’ Ibunya pura-pura bertanya. ‘’Iya, Bu.’’ ‘’Sendiri?’’ Tanya Ayahnya yang baru saja bergabung. ‘’Bersama Ratva?’’ cecar Ibu Rana. Rana tertawa. ‘’Siapa lagi memangnya.’’ Orang tua Rana juga ikut tertawa. ‘’Kenapa tidak mampir dulu? Tumben sekali pengawalnya tidak ikut?’’ tanya Ayahnya. ‘’Dia tidak diperbolehkan ikut oleh Ratva.’’ ‘’Kalau pengawalnya ikut, Ayah tidak akan melihat adegan romantis seperti tadi.’’ ‘’Ayah melihatnya? Arghhh …’’ Teriaknya malu. ‘’Tentu saja. Itulah sebabnya ayah bertanya mengapa dia tidak mampir.’’ ‘’Ayahmu pura-pura bertanya. Padahal dia sangat ingin bertemu dengan Calon Menantunya. Kalau kau sangat menyukai Putra Keluarga Davis itu, kenapa kau tidak menyuruhnya untuk menginap saja, Yah.’’ jelas ibu Rana. Ayahnya tertawa mendengar perkataan ibunya. ‘’Padahal kau juga sangat menyukainya. Sudah sopan, berwibawa, tampan pula. Terlebih Ratva berasala dari keluarga terpandang. Duh, Putriku memang pintar memilih pendamping.’’ pujinya. ‘’Kenapa Ibu dan Ayah sangat menyukai Ratva?’’ Ibu Rana mulai tertawa. ‘’Ayah, kau saja yang cerita.’’ ‘’Baiklah. Kau pasti merasa aneh kan ketika ayah tiba-tiba merestui hubunganmu dengannya?’’ ‘’Tentu saja.’’ jawab Rana. ‘’Jadi, hari itu kau sedang pergi keluar. Ayah lihat tidak ada buah kesukaan Ayah di keranjang buah. Lalu, Ayah berteriak pada Ibumu. Mengapa tidak ada satupun buah apel, baik itu di keranjang maupun di kulkas? Lalu apa kau tau apa yang terjadi? Ratva datang berbicara kepada Ayah untuk merestui hubunganmu. Karena jika Ayah setuju, dia akan mendatangkan Orang Tuanya untuk melamarmu. Ayah yang ingin kau menyelesaikan kuliahmu terlebih dahulu itupun, tentu saja langsung menolak lamarannya tersebut. Lalu dia berbicara dengan nada yang lebih tegas dan memberikan solusi yang lain. Dia hanya akan mengikatmu dan melangsungkan pertunangan saja.’’ ‘’Pantas saja ayah tiba-tiba berubah pikiran.’’ Potong Rana. ‘’Lalu, tentang pernikahanmu dan dia yang akan dilaksanakan kapan, lihat bagaimana keputusan Ayah nantinya. Namun Ayah masih belum menyetujuinya,’’ ujarnya. ‘’Setelah Ayah berkata demikian, Ayah kira dia sudah menyerah, rupanya tidak. Ratva bilang ia membawa hadiah untuk Ayah dan Ibu. Saat itu, ayah tidak melihat bingkisan apapun yang dibawanya. Ratva meminta Ayah dan Ibu untuk keluar. Kami pun menuruti permintaannya. Apa kau tau apa yang terjadi?’’ ‘’Lanjutkan, Yaaahhh.’’ rengeknya. ‘’Sebuah mobil kontener berada di depan rumah kita. Pengawalnya yang selalu mengantar jemputmu itu diperintah Ratva untuk membuka kontener tersebut. Setelah dibuka, ternyata isinya buah apel kesukaan ayah dan itu satu kontener full. Saat itu juga ayah berkata. Ayah merestui pertunangan kalian dan silakan bawa Orang Tuamu ke rumah ini,’’ Rana kaget mengetahui kisah dibalik restu yang didapatkan Ratva dari orang tuanya. ‘’Jadi, kau harus menyelesaikan kuliahmu lebih dulu, barulah kau bisa menikah dengannya.’’ ‘’Sekarang kau sudah tau bukan alasan dibalik Ayah dan Ibu sangat menyukai Ratva?’’ tanya ibunya. Rana tersenyum. ‘’Ayah, Ibu. Percayalah. Akupun sangat menyukai Ratva lebih dari kalian.’’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN