Valgar yang sudah tiba di Cave of Arc langsung menuju ruang bawah tanah.
Ruangan itu diisi dengan berbagai macam fasilitas hiburan seperti home theater, gym, spa & sauna dan masih banyak lagi. Namun ruangan yang dituju oleh Valgar bukanlah ruangan yang disebut tadi, melainkan shooting range.
Dengan setelan jas yang masih rapi, Valgar mengambil AK-47 yang menggantung di tembok dan menembaki target yang berada di depannya.
Tembakan pertama, kedua dan ketiga tepat mengenai sasaran. Ia berhenti sejenak untuk memperhatikan shooting target statue yang berada di depannya.
Benda mati itu hanya memiliki satu lubang bekas tembakan di tubuhnya, yaitu di kepala. Sama seperti di shooting club, Valgar selalu menembaki targetnya di posisi yang sama. Jika meleset sedikit saja, dia akan meneriaki Agzek agar ia segera mengganti target tersebut dengan target yang baru.
Saat peluru yang berada di senapannya habis, saat itu pula amarah yang ada dalam dirinya hilang. Begitu senapan kosong itu di jatuhkannya ke lantai, Valgar memejamkan mata dan menengadahkan kepalanya untuk menenangkan pikirannya yang begitu rumit.
Haruskah aku melupakannya begitu saja?
Agzek yang dari tadi berada tidak jauh dari Valgar itu pun terus menemani Tuannya dan tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri.
‘’Agzek.’’ Dengan wajah muram ia menoleh ke arah Agzek.
‘’Siap, Tuan Muda.’’
‘’Jika kau sudah berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu yang kau inginkan, tapi waktu tidak pernah berpihak padamu. Bagaimana kau mengatasinya?’’
‘’Jangan pernah melawannya (waktu). Temukan saja cara baru untuk melakukannya.’’
Mendengar jawaban membuat Valgar menengadah sebentar kemudian menatap Agzek lagi. ‘’Lalu bagaimana jika cara baru itu salah?’’
‘’Salah perbaiki, gagal coba lagi.’’
‘’Dan jika semua itu sudah dilakukan, apakah pada akhirnya akan berhasil?’’
‘’Pemenang adalah dia yang mampu berdiri ketika jatuh dan masih tetap bertahan ketika yang lain menyerah.’’
Rupanya kau memintaku untuk tidak menyerah, Kawan.
Valgar berjalan ke arah Agzek dan menepuk pundaknya. ‘’Terimakasih.’’ Kemudian berlalu.
Agzek mengembalikan senapan ke tempatnya dan segera menyusul Tuannya.
Begitu Agzek selesai memeriksa kamarnya, Valgar yang masih mengenakan jas itu pun tanpa banyakk bicara langsung membaringkan tubuhnya di atar kasur dan kemudian terlelap dengan cepat.
Ketika ingin menutup pintu, sambil memperhatikan Tuannya Agzek berkata. ‘’Baru kali ini aku melihatmu seperti ini, Tuan.’’ Ucapnya pelan.
Sesampainya Ratva di Orchard Hill, ia melihat ada pesan masuk di ponselnya. Pesan itu dari Rana dan ia pun segera membacanya.
‘’Aku sudah tau mengenai cerita dibalik pertunangan kita. Terimakasih untuk kerja kerasnya. Aku mencintaimu.’’
Ratva tersenyum membacanya.
Sementara di Cave, Jack yang sedang menyiapkan minuman hangat untuk Agzek itu pun memberanikan diri untuk bertanya.
‘’Apa Tuan Muda baik-baik saja?’’ Memberikan gelas minuman yang dibuatnya tadi.
Agzek tidak menjawab pertanyaan itu.
Ia tidak akan pernah memberitahukan keadaan Tuannya kepada siapapun, bahkan pada Orang Tuanya sekalipun.
‘’Pergilah.’’ ucap Agzek.
Jack pun segera meninggalkan Agzek yang berada di Living Room sendirian.
Seseorang berulang kali mengetuk pintu kamar 638.
Karena terlalu berisik, Ambar yang sedang tertidur pulas itupun akhirnya bangun dan bergegas membuka pintu. Namun tidak ada siapapun yang dijumpainya.
Untuk memastikan, iapun melihat ke kanan dan ke kiri. Lagi-lagi tidak ada siapa-siapa. Dalam benaknya ia berpikir, mungkin karena terlalu lama menunggu, orang yang mengetuk pintu itu akhirnya pergi.
Saat Ambar kembali ke kamar, ia melihat seorang pria sedang berdiri di dekat jendela dan membelakanginya. Ambar pun spontan bertanya. ‘’Siapa di sana?’’
Pria itu membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah Ambar. Karena ruangan yang gelap dan cahaya yang masuk melalui jendela tidak terlalu terang, Ambar tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas. Yang ia lihat pria itu memiliki tinggi yang hampir sama seperti Kakaknya.
Pria itu berada dua langkah di depan Ambar. Ia terus mencoba untuk melihat wajah pria itu, namun tidak berhasil. Saat pria itu mencoba untuk berada selangkah di depan Ambar, gadis cantik itu terbangun dari mimpinya.
Ambar duduk dan mencoba bernapas dengan teratur. Ia melihat ke arah jendela, tidak ada siapapun di sana. Untuk memastikan lagi, Ambar menghidupkan lampu yang berada di sampingnya. Tetap tidak ada siapapun.
Keesokan paginya.
Pengantin baru dan semua tamu undangan sarapan di restoran hotel. Axiar dan Adeline sedang asik mengobrol, begitu pula dengan suami mereka. Apalagi mereka berada di meja yang sama.
‘’Axiar, apakah kau mengkonsumsi itu?’’ Tanya Adeline yang melihat sahabatnya baru saja kembali membawa segelas s**u coklat.
Axiar tertawa. ‘’Tidak. Ini untuk putriku. Sebentar lagi dia akan turun.’’ Ia meletakkan gelas di depan kursi yang masih kosong.
‘’Sayang. Dimana Putra kita?’’ tanya Johnson.
‘’Masih istirahat atau jangan-jangan sudah pergi ke kantor?’’
Dari kejauhan Axiar melihat putrinya mengenakan pakaian yang diberinya tadi malam. Celana jeans dan kaos putih slim fit berlengan pendek.
‘’Ayah, ibu. Selamat pagi.’’ Sapanya ramah.
Davis mengulurkan tangannya dan Ambar pun menyambutnya. ‘’Selamat pagi Putriku yang cantik. Duduklah, Nak.’’ Melepaskan tangannya.
‘’Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Johnson.’’
Johnson dan Adeline tersenyum.
Saat Ambar baru saja duduk, terdengar suara gaduh yang berasal dari meja lain. Seorang gadis muda memaki pelayan yang tidak sengaja menumpahkan minuman ke bajunya. Sontak semua mata memperhatikan kegaduhan tersebut.
‘’Apa kau tidak punya mata? Jangan-jangan kau sengaja menumpahkan teh ini di bajuku. Gajimu itu tidak sebanding dengan pakaian mahalku ini.’’ Mendorong pelayan itu dengan kasar.
‘’Maafkan aku, Nona.’’
Manajer hotel yang saat itu sengaja mengawasi para tamu undangan yang sedang sarapan segera menghampiri sumber keributan dan menengahinya.
Adeline dan Johnson geleng kepala melihat kelakuan gadis muda itu. Seharusnya ia tidak perlu bersikap sekasar itu. Apalagi mempermalukannya di hadapan para tamu.
‘’Ayah, bukankah pria yang duduk semeja dengan gadis itu adalah manajer keuangan di perusahaanmu?’’
‘’Benar, Bu.’’
Manajer keuangan itu dapat mengatur keuangan dengan baik di tempat ia bekerja, namun tidak dengan attitude putrinya yang mencerminkan bagaimana suasana di dalam rumahnya.
‘’Ibu sudah mengambilkan s**u coklat untukmu. Minumlah.’’
‘’Terimakasih, Bu.’’
Di ballroom. Pelayan yang sedang membereskan peralatan makan dan minum berteriak. ‘’Aku kekurangan satu gelas.’’
Pelayan yang kemarin malam mengantar s**u untuk Ambar mendengar teriakan itu, baru saja ingin keluar. Seorang pelayan hotel masuk dan mengantarkan gelas yang baru saja ingin ia cari.
‘’Nak, apa kau bertemu pria yang berada di sebelah kamarmu?’’ tanya Adeline.
Ambar menggeleng.
Johnson yang mendengar percakapan itu berkata. ‘’Coba hubungi ponselnya.’’
Adeline pun langsung menuruti perintah suaminya.
Ambar bertanya-tanya. Apakah putra Keluarga Johnson seperti pria dalam mimpinya?
Valgar yang mendapat panggilan dari ibunya itu pun segera menjawabnya.
‘’Selamat pagi, Ibu.’’ sapanya.
‘’Sayang, kau di mana?’’
‘’Di kantor.’’
‘’Cepat sekali. Kenapa tidak temui ibu dulu?’’ tanya Adeline.
‘’Maaf, Bu. Aku sedang berusaha mendapatkan dokumen Orchard Park .’’
Ia kaget begitu mendengar pernyataan putranya. Untung saja ia menelepon di luar dan Keluarga Davis tidak mendengar apa yang putranya ucapkan. Adeline yang tampak salah tingkah itu pun segera mengakhiri percakapan tersebut.
Valgar sedang membaca file apartemen yang ayahnya inginkan.
‘’Aku tidak mengerti. Jika dibandingkan dengan Scarlet Hill, Orchard Park sama sekali tidak ada apa-apanya. Tapi mengapa apartemen ini bisa menjadi hunian nomor satu di negeri ini? Sementara Scarlet Hill menepati urutan kedua.’’ Valgar tampak bingung.
Padahal Johnson hanya memerintahkan Valgar untuk menyelidiki satu apartemen saja. Tanpa sepengetahuan ayahnya, Valgar menyelidiki apartemen pesaing Orchard Park dengan tujuan sebagai pembanding.
Sekembalinya Adeline ke meja, Johnson langsung bertanya. ‘’Bagaimana?’’
‘’Benar saja. Putramu sudah di kantor.’’
Makanan yang dipesan Ambar sudah datang, sandwich tuna. Namun, pelayan yang membawakan makanan untuknya itu tidak sengaja menjatuhkan sandwich tersebut dan semua isiannya keluar mengenai celana Ambar.
Dengan wajah ketakutan pelayan itu segera meminta maaf. Ia berpikir bahwa Ambar akan membentaknya seperti yang gadis muda sebelumnya lakukan.
‘’Ini bukanlah perkara besar, jadi kau tidak perlu bersikap demikian.’’ Ambar tersenyum kepada pelayan wanita itu.
Adeline dan Johnson saling tatap. Manajer hotel yang tadinya sudah melangkahkan kakinya untuk melerai jadi mengurungkan niatnya setelah melihat sikap Ambar.
‘’Maafkan aku, Nona.’’
Ambar tertawa pelan. ‘’Aku kan sudah mengatakan jangan bersikap seperti itu. Aku sungguh tidak apa-apa. Tapi bolehkah aku meminta bantuanmu?’’
Pelayan itu tersenyum setelah mendengar kata-kata Ambar. ‘’Dengan senang hati.’’
‘’Apa aku boleh memesan menu yang sama seperti tadi?’’
‘’Tentu saja, Nona. Aku akan membawakannya segera.’’ Pelayan itu bergegas pergi.
Davis terlihat bangga saat melihat semua orang kagum dengan kebaikan yang putrinya miliki.
‘’Nak, apakah kau sudah bosan dengan mobilmu yang sekarang?’’ tanya Davis.
Ambar menatap ayahnya. ‘’Ayah, mobilku dalam kondisi yang sangat baik-baik saja. Ayah tidak perlu menambahnya lagi, dua saja sudah cukup bagiku.’’ jelasnya.
‘’Selamat pagi, Tuan Muda Ratva. Apa ada yang kau butuhkan?’’
‘’Kunci mobilku tertinggal di garasi.’’
‘’Biar aku ambilkan, Tuan.’’
‘’Tidak perlu. Terimakasih.’’ Ratva yang sudah siap untuk pergi ke kantor itu lupa mengambil kunci mobil yang ia letakkan di belakang pintu garasi.
Setelah memasuki ruangan gelap itu, debu yang berasal dari garasi membuat Ratva bersin. Namun, garasi yang tidak pernah diisi dengan mobil itu seharusnya berbunyi nyaring ketika mendapat suara bersin. Tapi ini sebaliknya.
Ratva yang tadinya ingin bergegas pergi jadi mengurungkan niatnya. Ia menghidupkan lampu garasi dan satu persatu lampu yang berada di langit-langit ruangan mulai menyala.
‘’Denis.’’ teriak Ratva.
Tidak sampai tiga puluh detik Denis sudah tiba di hadapan Ratva. ‘’Ya, Tuan Muda.’’
‘’Mengapa kendaraan Adikku berada di sini? Dua-duanya pula.’’ Tanya Ratva penasaran.
‘’Nona Muda Ambar selalu ke sini setiap hari untuk menukar mobilnya, Tuan.’’
‘’Tapi semua mobilnya berada di sini. Lalu dia mengendarai apa?’’
‘’Nona Muda mengendarai Pajero Sport.’’
‘’Mobilmu?’’
‘’Milik Nona Muda. Sudah tiga tahun ini Nona Muda Ambar memilikinya.’’
Ratva menyeringai menatap dua super car itu. Ferrari LaFerrari berwarna putih dan Lamborghini Aventador berwarna hitam.