CENTER OF ATTENTION

1743 Kata
Makanan yang dipesan Ambar sudah datang. Namun kali ini tidak pakai acara jatuh lagi. ‘’Bu, apakah Kakak sendirian di rumah?’’ ‘’Tidak. Ditemani oleh Denis dan Istrinya.’’ ‘’Mereka datang ke apartemen?’’ ‘’Tidak. Kakakmu tidur di Orchard Hill.’’ Ambar yang tadinya sedang asik menyantap makanan yang dipesannya seketika langsung menghentikan aktivitasnya. ‘’Benarkah?’’ Axiar mengangguk. Setelah itu ia melanjutkan obrolannya dengan sahabatnya. Begitu pula Davis dan Johnson yang dari tadi masih asik dengan dunianya. Tidak ada satupun dari mereka yang melihat ekspresi wajah Ambar. Ia tampak shock. Padahal sandwichnya baru habis setengah, namun dia sudah bergegas untuk kembali ke kamar. Begitu tiba di kamar, Ambar langsung mencari ponselnya. Sebuah panggilan tak terjawab dari Ratva. ‘’Aku harap kakak tidak tau.’’ Lirihnya sedikit panik. Ia mencoba menelepon balik dan Ratva dengan cepat mengangkatnya. ‘’Selamat pagi, Adikku satu-satunya.’’ Sapa suara di seberang sana. ‘’Selamat pagi, Kak. Aku dengar kau tidur di Orchard Hill. Apakah benar?’’ ‘’Tentu saja.’’ ‘’Mobilmu parkir di mana?’’ ‘’Di depan rumah. Aku tidak sempat memasukkannya ke garasi.’’ ‘’Tapi kau tidak meletakkan kunci mobilmu di balik pintu garasi bukan?’’ Karena semua anggota Keluarga Davis selalu menempatkan kunci mobil di satu tempat yang sama. Jika di rumah, mereka akan meletakkannya di ruang tamu. Di Orchard Hill, mereka menempatkannya di pintu yang berada di belakang garasi. Untuk memudahkan supir maupun pelayan mereka memindahkan mobil. Jadi mereka tidak perlu mengganggu maupun mendatangi Tuannya lagi hanya untuk menanyai perihal kunci. ‘’Tentu saja!.’’ ‘’Lalu?’’ ‘’Ya, ku ambil saja tanpa menyalakan lampu. Aku sungguh tidak tertarik dengan ruangan gelap itu.’’ ‘’Begitu. Apa kau sudah tiba di rumah?’’ ‘’Aku bahkan sudah di kantor.’’ ‘’Oh, aku hanya ingin mengecek. Apakah Jordan sudah pergi untuk menjemputku dan orang tua kita?’’ ‘’Sudah. Dari sejam yang lalu.’’ ‘’Baiklah, Kak. Selamat bekerja.’’ Ambar menutup panggilan tersebut. Ia tampak lega karena mengira Ratva tidak mengetahui perkara garasi itu. Padahal sebaliknya. Baru saja ia selesai berbicara dengan Ratva, sebuah pesan masuk dari ibunya yang memberitahukan bahwa Jordan sudah menunggu di lobi hotel. Ia segera berkemas dan turun ke bawah. ‘’Deroit. Aku punya tugas baru untukmu.’’ ucap Ratva. Deroit yang dari tadi berdiri di depan meja Ratva dengan sigap berkata. ‘’Katakan perintahmu, Tuan Muda.’’ Valgar sudah selesai menganalisa kedua dokumen yang baru saja dimasukkannya ke brankas. ‘’Agzek, jam berapa ayahku akan tiba di kantor?’’ ‘’Dalam dua jam, Tuan.’’ Sekretaris Ayahnya masuk membawa file di tangannya. ‘’Tuan Valgar. Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani.’’ Menyerahkan dokumen ke hadapan Valgar. ‘’Baiklah.’’ Valgar bekerja sebagai CEO Bayangan di perusahaan Ayahnya. Walau S2 MBA yang diambilnya belum selesai, namun Johnson tidak ragu untuk mempekerjakan putranya di posisi penting. Baginya, selembar kertas yang dikeluarkan oleh universitas tidak bisa menentukan kualitas kerja seseorang. Karena itulah Valgar diminta untuk bekerja di perusahaan ayahnya. Posisi awal yang di tempati Valgar adalah Direktur Pemasaran, naik ke Direktur Keuangan hingga saat ini CEO Bayangan. Julukan itu diberikan oleh orang-orang yang bekerja di perusahaan ayahnya. Padahal pada kenyataannya ia menjabat sebagai Direktur Operasional. Semua jabatan yang pernah diembannya selalu meninggalkan kesan yang baik. Tak heran jika pewaris utama Johnson Group itu cepat dipromosikan untuk naik jabatan walau usianya baru menginjak dua puluh tiga tahun. Tak hanya memiliki jabatan yang tinggi. Ia juga memiliki wajah yang tampan dan juga kaya raya.Tak jarang para pebisnis dari perusahaan lain ingin menjodohkan putrinya dengan Valgar. Bukan hanya datang ke kantor, namun mereka juga mendatangi orang tua Valgar di kediaman mereka yang terletak di Johnson Residence. Tapi entah kenapa Johnson selalu berkata bahwa Valgar sudah memiliki pendamping. Sebenarnya Valgar tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali, bahkan pernyataan ayahnya membantunya terlepas dari perjodohan tersebut. Namun sampai sekarang Valgar tidak mengerti. Apakah pendamping itu benar adanya atau hanya bualan semata. Tapi yang jelas dia sama sekali tidak mempermasalahkannya. Apartemen Orchard Park, Penthouse. 11.54 a.m. Keluarga Davis sudah tiba di kediaman mereka. Namun Davis hanya beristirahat sebentar dan langsung pergi ke kantor. Tak lama dua orang pelayan mereka juga datang. Rana dan Nata langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh Axiar. ‘’Rena, tolong gaun kotor milikku dan Ambar segera dicuci.’’ ‘’Baik, Nyonya.’’ ucap Rena. Rena langsung keluar dari kamar Axiar dan menuju laundry room. Tak lama Nata juga datang membawa pakaian Ambar yang terkena sandwich. ‘’Tidak biasanya Nona Muda memiliki noda makanan di pakaiannya.’’ ucap Nata. ‘’Mungkin makanannya tidak sengaja terjatuh ke celananya.’’ Jawab Rena disertai tawa. ‘’Aku tidak ingin kita pulang setiap sabtu lagi. Aku ingin kita tingal di sini saja.’’ rengek Nata. ‘’Tapi kontrakan kita di desa bagaimana?’’ ‘’Kontrakan di sana juga bukan punya kita. Apa sih yang memberatkanmu?’’ ‘’Tapi barang-barang kita dan teman-teman kecil kita ada di sana.’’ ‘’Aku sudah membawa barang-barang kita, termasuk milik Tara. Kalau teman-teman ya biarkan saja, kita kerja jauh-jauh ke kota bukan untuk mereka. Tapi untuk kita.’’ ‘’Maksudmu?’’ ‘’Teman gampang dicari. Lagipula orang-orang yang kau anggap teman itu kalau ada maunya saja datang ke kontrakan kita. Mereka sama sekali tidak akan berkunjung jika kita tidak memberi mereka oleh-oleh ataupun uang. Apakah orang-orang seperti itu yang kau anggap teman? Aku akan bicara dengan Nyonya Besar agar kita dapta tinggal di sini. Kalau kau tidak mau, ya biar aku saja.’’ ‘’Baiklah. Jika itu maumu, aku akan bicara dengan Tuan dan Nyonya Besar agar kita diizinkan tinggal di sini.’’ ‘’Akhirnya aku tidak perlu menurutimu untuk pulang ke desa. Keluarga yang kau layani sekarang ini memperlakukan kita dengan sangat baik. Mereka tidak semena-mena. Tidak seperti tetangga kita yang juga bekerja di kota, majikannya memukuli dia dengan sangat brutal. Apa tunggu seperti itu kau baru tersadar bahwa bahwa keluarga ini adalah yang terbaik?’’ ‘’Iya. Aku kan sudah menyetujuinya. Jadi kau tidak perlu menceramahiku lagi. Lagi pula belum tentu juga Nyonya dan Tuan Besar mengizinkan kita.’’ Nata tertawa. Saat Axiar dan Ambar sudah selesai mandi, mereka berdua turun ke bawah dan duduk bersebalahan di ruang tamu. Axiar sedang menata perhiasan di box dan Ambar membaca majalah. ‘’Sayang, lihat ini.’’ Axiar menunjukkan satu set perhiasan berlian yang berada di tangannya. ‘’Wah … cantik sekali,’’ Ambar menyentuh perhiasan itu. ‘’Tapi aku baru melihatnya.’’ ‘’Ini perhiasan di pameran yang Ayahmu belikan kemarin malam.’’ jelas Axiar. ‘’Oh, jadi ini. Cantik, Bu. Tapi berliannya kecil sekali.’’ Axiar menyeringai. ‘’Sekecil ini harganya juga sangat mahal, Sayang.’’ Axiar kembali menyusun perhiasan itu di box. Ambar tertawa. ‘’Ibu, lihatlah.’’ Ambar menunjukkan berlian yang jauh lebih besar yang terdapat di majalah yang dibacanya. ‘’Ayahmu tidak akan mau membelikannya. Harganya pasti berkali-kali lipat dari satu set perhiasan ini,’’ Ambar tersenyum. ‘’Ibu akan membelikan satu set perhiasan yang mirip seperti ini untukmu. Ambar tercengang. Dengan tegas ia menolaknya. ‘’Aku tidak mau.’’ ‘’Tapi kau hanya memakai perhiasan keluarga kita dan anting yang sudah lama ibu berikan. Kadang juga ibu lihat kalung itu dijadikan gelang olehmu.‘’ Ambar tersenyum. ‘’Karena aku suka memakainya. Tadi Ayah, sekarang Ibu. Padahal mobilku baik-baik saja dan perhiasanku masih banyak yang belum terpakai. Sebenarnya ada apa?’’ ‘’Tidak. Ibu dan Ayah senang saja membelikanmu sesuatu.’’ ‘’Jadi?’’ Selidik Ambar. ‘’Iya iya, Ibu tidak jadi membelikannya.’’ Ambar tertawa. Nata melihat orang yang ingin diajak bicara oleh dia dan kakaknya sedang berada di ruang tamu dan itu adalah kesempatan bagus. Nata mendorong-dorong Rena agar segera menghampiri mereka dan berbicara. ‘’Selamat siang, Nyonya Besar. Nona Muda.’’ sapa Rena. ‘’Selamat siang. Ada apa?’’ ‘’Aku rasa dia akan menyempaikan sesuatu yang penting. Bu. Lihatlah wajahnya tampak gugup.’’ ledek Ambar. Rana tampak salah tingkah begitu juga dengan Nata yang berada di belakangnya. ‘’Nona Muda Ambar benar, Nyonya. Ada sesuatu yang ingin ku sampaikan.’’ ‘’Silakan.’’ Axiar menutup box perhiasan dan Ambar menutup majalahnya. Ibu dan anak itu benar-benar menghargai lawan bicaranya. ‘’Jika Nyonya tidak keberatan, aku dan Nata tidak akan izin lagi untuk kembali ke desa pada hari sabtu dan minggu.’’ ‘’Perjelas.’’ Ucap Axiar. ‘’Aku akan tetap bekerja pada hari sabtu dan minggu di kediaman Nyonya dan tidak akan pulang ke desa seperti biasanya. Aku tidak enak karena selalu izin setiap minggu. Padahal Nyonya dan Tuan kerap kali keluar setiap weekend dan tidak ada yang menjaga rumah.’’ ‘’Bagus sekali. Akhirnya kau sadar. Walau sebenarnya yang harusnya berkata seperti itu adalah aku.’’ ‘’Maafkan aku, Nyonya.’’ ‘’Tidak ada yang benar ataupun salah. Lagi pula aku memang mengizinkanmu untuk libur selama dua hari setiap minggu bukan?’’ Rena dan Nata mengangguk. ‘’Berarti aku tidak akan sendirian lagi ketika Ibu dan Ayah pergi. Eh maksudku, Kakak dan Aku.’’ Hampir saja ambar salah bicara. Rena tersenyum mendengar ucapan Ambar. ‘’Jika ada sesuatu yang ingin kau katakan lagi, dengan senang hati aku akan mendengarnya.’’ ‘’Tidak, Nyonya Besar. Terimakasih sudah memberikan kesempatan untukku dan Nata.’’ Axiar menggeleng. ‘’Tidak masalah.’’ ‘’Aku permisi, Nyonya Besar. Nona Muda.’’ Begitu Rena dan Nata pergi dari hadapan mereka. Ambar berkata. ‘’Bu, aku siap-siap dulu. Sebentar lagi pukul satu siang.’’ ‘’Baiklah.’’ Putri bungsu Keluarga Davis itu berlarian menaiki tangga. Setibanya di kamar, ia langsung mengganti pakaian untuk pergi kuliah. Mengenakan jumpsuit sedada dan kemeja bunga-bunga berwarna cream sebagai dalamannya yang mana pita dasinya dapat di adjust. High heels berwarna cream yang senada dengan hand bagnya. Tak lupa menggunakan parfum favoritnya dan rambut lurusnya itu dibiarkan tergerai.Ia berkaca memastikan bahwa dirinya sudah rapi. Perlahan-lahan ia menuruni tangga. ‘’Bu, aku pergi dulu.’’ teriaknya. ‘’Makan siang dulu, Nak. Ini baru jam dua belas. Mengapa kau ingin pergi sekarang?’’ Padahal ibunya sudah menyiapkan makan siang untuknya di meja makan. ‘’Aku terburu-buru, Bu.’’ Menghampiri Axiar lalu menciumnya. ‘’Baiklah. Hati-hati, Nak.’’ Ambar bergegas pergi dan segera menuju lift. Keadaan lobi sangat ramai bila memasuki jam makan siang. Begitu lift terbuka, sepeti biasa ia mendapatkan perhatian dari semua orang. Termasuk pasangan yang sedang bertanya di resepsionis. Pandangan mereka teralihkan kea rah Ambar yang sedang berjalan menuju pintu keluar. ‘’Sayang … sayang.’’ Ucap sang istri yang menyadari sang suami terus menatap gadis berusia dua puluh satu tahun itu. Ia pun mencubitnya hingga kesadaran suaminya kembali dan langsung menoleh ke arah istrinya. ‘’Ya. Bagaimana, Sayang?’’ ‘’Matamu sampai tak berkedip menatap gadis cantik itu.’’ Menunjuk Ambar yang baru saja melewati pintu. ‘’Mana mungkin aku begitu. Istriku kan yang paling cantik.’’ Padahal sang suami sampai memutar kepalanya melihat Ambar. Begitu Ambar melewati pintu keluar, dua pasang mata yang dari tadi sudah menunggunya di area parkiran terus memperhatikannya dari kejauhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN