Bab 3. Nostalgia

1283 Kata
“Hah? Kamu udah gila ya?” Tanya Anjarani dengan wajah tidak percayanya. Alisnya sudah mengkerut menunjukkan betapa tidak sukanya Anjarani dengan ajakan Indra. Indra sendiri langsung tersenyum miring. “Biasa aja kali Ran, aku kan bercanda. Lagian, siapa juga yang mau sama cewek slebor kaya kamu.” Kata Indra sambil tertawa. Dalam hati ia memuji kehebatan aktingnya. Ia berjalan menuju depan kulkas dan mengambil botol sirup. Anjarani memutar matanya kesal. “Kalau bercanda jangan keterlaluan dong. Gimana nanti kalo ada malaikat mengaminkan. Repot entar!” Ujar Anjarani langsung berjalan menjauh dari Indra. Kenapa Indra tidak mengerti bagaimana perasaannya ketika mendengar ajakan tadi. Itu bukan sesuatu yang tabu untuk diucapkan, tapi entah kenapa Anjarani sendiri tidak bisa menerima Indra untuk mengisi hatinya. Ia tidak bisa melupakan bagaimana rasa sakitnya dulu ketika Indra mengkhianatinya. Ia kembali fokus memilih makanan lewat ponselnya walaupun perkataan Indra masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya ia ingin menggenggam jantungnya sendiri yang berdegup kencang karena takut Indra akan mendengarnya. “Aku mau makan ayam penyet. Kamu sambel mau samain sama punya aku atau gimana?” Indra hampir saja memuncratkan air sirup dari mulutnya. Sambil terbatuk ia mendatangi Anjarani dan mengambil ponselnya. “Bisa masuk rumah sakit lagi aku ngikutin selera makanmu Ran.” Anjarani mengangkat pundaknya tidak peduli dan lewat begitu saja di samping Indra. “Salah sendiri makan bakso punyaku. Sudah tahu mulutku suka ngemaki orang gara-gara sambel.” Indra berdecak kesal lalu mengembalikan ponsel Anjarani. “Kurangin kebiasaan burukmu itu Ran. Heran gue.” Ia pun kembali meneguk sirup cocopandan miliknya sambil menatap punggung Anjarani yang berjalan menjauh. Anjarani langsung melenggang pergi dari dapur setelah Indra memberikan kembali ponselnya. Melihat Samudra yang sudah menguap berkali-kali, memberi tanda bahwa sudah waktunya untuk tidur. Ia pun membawa Samudra ke kamarnya. Kamar Anjarani satu kamar dengan Samudra sekaligus untuk menjaga keponakannya yang berharga. Ia kemudian terdiam sejenak saat ia meletakkan Samudra di atas ranjang dan mengelus punggungnya. Botol s**u ukuran besar sudah di tangan Samudra yang tidur menyamping dengan mata yang sayu. Jika dipikir-pikir, Anjarani memang terlihat seperti sosok ibu. Bagaimana Samudra bisa begitu lengket dengannya. Bahkan saat tidur pun bocah berumur kurang dari satu tahun ini menempel padanya, Anjarani harus mengusap punggungnya dan sesekali menepuk pelan b****g berlapis pampes itu agar bisa tidur. Sekilas ia langsung teringat dengan perkataan Indra barusan. Apakah sungguh ia cocok jadi sosok ibu? “Ngghh…” “Sssshhtt…” Usapan tangannya terhenti saat ia melamun hingga Samudra sedikit menggeliat protes. Buru-buru Anjarani mengusap punggung Samudra lagi. “Kok aku gak sakit hati ya dikatain mirip ibu-ibu…” Gumam Anjarani sambil menggelengkan kepalanya. Setelah memastikan Samudra benar-benar tertidur, Anjarani merebahkan diri di samping Samudra. Pandangan matanya mengedar ke arah meja belajarnya yang banyak sekali tumpukan buku disana. Ada bingkai foto dirinya dan juga topi toga yang ia pasangkan di kepala boneka Teddy Bear berwarna coklat tua. Foto kelulusannya yang mengenakan kebaya biru dongker. Nostalgia langsung berputar kembali pada masa ia sekolah di SMA 1. Sekolah yang penuh dengan kenangan pahit yang ia jalani. Kisah yang hampir dipenuhi oleh drama anak-anak ABG yang sedang mencari jati diri. Anjarani tersenyum kecil. Itu adalah kisah yang sangat berpengaruh pada dirinya hingga saat ini. ‘Aku gak mau ngerasain sakit yang kaya gitu lagi.’ -Flashback On- “Eh Anjarani? Kamu Anjarani kan? Cewek rese yang mirip mak lampir kalo ketawa.” Indra menunjuk wajah Anjarani yang duduk di depan TV ruang keluarga. Gadis yang sibuk mengunyah stick keju dan menatapnya sambil tersenyum sinis. Indra ingat sekali kapan terakhir kali mereka bertemu. Walaupun sering kali ia melihat beranda sosial medianya, melihat foto keluarga Simatupang yang sedang makan bersama. “.…” Anjarani hanya diam memperhatikan. “Gak salah lagi. Ngapain kamu di rumahku?” Indra langsung berkacak pinggang. “Om! Indra mau ngusir aku Om!” Teriak Anjarani tiba-tiba. Indra langsung panik. Memang wanita ini tidak berubah sama sekali. Batin Indra kesal. Anjarani hanya menyeringai senang saat melihat mata Indra yang melotot ke arahnya. Baru saja ia pulang dari warnet setelah bermain game online. “Indra, kenapa Anjarani diusir? Ada keluarganya lho disini.” Suara berat menginterupsi acara perang tatapan tajam antara Indra dan Anjarani. Dananjaya, Papah Indra yang berjalan menuruni dua anak tangga dari ruang tengah. Tongkat hitam yang membantu Dananjaya berjalan dan menghampiri mereka berdua. Usia Dananjaya memang masih terbilang muda. Tapi karena rematik dan juga asam urat yang di deritanya, membuat ia sedikit sulit berjalan. Dananjaya tersenyum menatap Anjarani dan juga putra semata wayangnya. “Aku lho ndak ngusir Pah. Dia aja yang terlalu dramatis.” Ucap Indra menatap Anjarani dengan tatapan kesal. Dananjaya langsung menggelengkan kepalanya. “Kalian berdua ini kenapa to? Kok setiap ketemu pasti berantem, ntar jodoh lho.” Ujar Danajaya dengan nada suara lembut. Sedangkan Anjarani dan Indra tentu saja melotot ngeri. “Diiiih! Amit-amit! Ogah!” Anjarani histeris. “Ih biasa aja kali Ran. Emang siapa lagi yang mau sama kamu? Kamu kan ndak laku.” Indra memulai ejekannya menusuk kalbu. Anjarani langsung saja berdiri dan menarik telinga Indra dengan kuat sampai si pemilik telinga meronta kesakitan. Dananjaya tertawa. Mendengar suara berisik, keluarga Anjarani pun mengikuti asal suara. “Lho? Ada apa ini Ran? Kamu kenapa sih? Gak sopan tau!” Kak Feri langsung menengahi mereka dan menatap Anjarani yang memerah wajahnya karena marah. “Ini nih! Tuan rumahnya rese! Aku itu bukan gak laku, tapi berprinsip gak mau mejajakan muka!” Omel Anjarani. Indra yang memegangi telinganya menatap Anjarani dengan tatapan jengkelnya. “Berisik!” “Ran, gak boleh gitu. Kamu sudah gede lho. Masa harus kakak ajarin, malu-maluin ini di rumah orang.” Anjarani membuang muka ke samping. Tujuan ia datang berkunjung ke rumah keluarga Dananjaya karena ingin mengantarkan undangan pernikahan Kak Feri dengan Teh Elsa dua minggu lagi. Karena Kak Feri malu mengantar undangan sendirian, walhasil ia mengajak Anjarani. Yang kebetulan sekali semua keluarga Simatupang sudah hadir di Balikpapan, di rumah yang sudah Kak Feri beli di area pasar baru. Dan karena pernikahan akan segera diadakan, semua orang sudah sibuk dengan tugas masing-masing. “Om, maafin Rani ya. Duh! Jadi ndak enak saya om.” Dananjaya tertawa kecil. “Ndak apa-apa Fer. Santai saja, lagi pula kan sudah lama Rani gak main ke rumah sejak Papah sama Mamahmu pindah lagi ke Lembang.” Kak Feri menganggukkan kepalanya. “Yaudah, lanjut ngobrol di belakang aja. Yuk, Ran.” Indra mendengus kasar saat melihat bapaknya lebih sayang dengan Anjarani ketimbang ia sebagai anak kandung. Belum lagi dengan Anjarani yang sengaja memeletkan lidahnya mengejek Indra, untung saja Indra pria yang penyabar. “Wuih! Om beli akuarium baru? Ikan apa ini om?” Tanya Kak Feri yang langsung terpana dengan akuarium besar milik Dananjaya. Anjarani pun ikut memperhatikan akuarium itu. “Ini namanya Aquascape Fer. Om bukan melihara ikan, tapi melihara tanaman hiasnya.” Feri menganggukkan kepalanya. “Keren banget om. Sekali lihat mata langsung sejuk.” Mereka semua menuju kebun belakang rumah dan berbincang-bincang santai di gazebo. Indra sudah menyuruh Mbok Karsih untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk para tamu. “Gimana Fer? Kok bisa kamu dapat cewek Balikpapan? Orang mana?” Kak Feri tersipu malu. “Anu om, calonku orang Kediri, Cuma kebetulan keluarganya menetap disini.” Dananjaya menganggukkan kepalanya. “Oalah… Ya syukurlah kalo sudah nemu jodohnya. Terus? Ini Rani mau menetap disini lagi ndak? Tiga tahun pisah sama Indra, tuh kerjaannya main game online terus.” Indra langsung merasa tersindir berat sedangkan Anjarani tertawa meremehkan. “Hati-hati om, biasanya orang yang suka main game online kecanduan gitu masa depannya suram.” “Woi!” Dananjaya kembali tertawa. “Bukan Papah lho yang bilang, Anjarani sendiri aja sudah memprediksi gitu.” Indra memilih meneguk jusnya dan tidak menghiraukan Anjarani. Susah jika ia sudah terpojok tanpa pembela.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN