Siang semakin terik, matahari terasa begitu panas menyengat kulit para pendaki. Saat ini kelompok pendaki berjumlah sembilan orang itu berada di pos tiga dan hendak turun dari gunung. Angin berhembus begitu kencang, dan mereka memutuskan beristirahat sejenak untuk melepaskan penat.
Vinay mengernyitkan keningnya dalam, entah mengapa gadis itu merasa jantungnya berdebar tak terkendali. Bukan karena ia lelah, Vinay tahu itu dengan pasti. Gadis itu merasa—gelisah, entah karena apa. Vinay terlonjak saat mendengar sebuah suara bersamaan dengan hembusan angin yang menerpa tubuhnya. Jantung Vinay semakin berdetak cepat, ia menoleh kearah Mandala yang nampak begitu tenang, lalu berbisik kearah kekasihnya.
“Nda, kamu barusan nggak denger orang teriak?” bisik Vinay yang dibalas tatapan bingung oleh Mandala.
Lelaki itu menggeleng, mengusap pucuk kepala sang kekasih yang nampak terlihat gelisah. “Aku nggak denger apa-apa, kamu kenapa?” Mandala berujar dengan cemas. “Kalau denger sesuatu yang aneh diam aja ya, anggap aja nggak denger apa-apa,” lanjut Mandala sembari berbisik tepat di telinga Vinay. Ucapan Vinay membuat lelaki itu cemas bukan main. Bukan hal baru bagi pendaki yang mengalami hal mistik di pengunungan. Tetapi ini Vinay, gadis super penakut yang tidak pernah terusik oleh hal berbau gaib.
“Nda, kayaknya kita mesti cepat-cepat pergi dari sini,” balas Vinay sembari menatap sekelilingnya dengan gelisah. Bulu kuduk gadis itu meremang saat mendengar bisikan bahwa ia harus pergi dari tempat itu. Vinay bukan orang bodoh yang tidak tau apa yang sedang gadis itu alami. Dan Vinay benar-benar ketakutan.
Mandala dengan cepat berdiri dari duduknya. “Gimana kalo kita turun sekarang?” ajak Mandala mencoba untuk terlihat santai. Lelaki itu mendesah lega saat teman-temannya menyetujui ajakannya. Mereka lalu segera berkemas, mengambil barang bawaan masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Mandala lalu berhenti berjalan dan mencengkram tangan kekasihnya dengan kuat. Jantung lelaki itu terpompa dengan begitu cepat saat sudut matanya menangkap hal kilatan orange. “Kebakaran!” teriaknya yang membuat kelompoknya panik bukan main.
Mandala dengan cepat menoleh kearah Vinay yang menatapnya dengan pandangan penuh ketakutan. Lelaki itu menangkup wajah kekasihnya dengan gemetaran, “Kamu nggak usah takut, aku janji bakalan bawa kamu pulang Vinay!” janji Mandala pada Vinay. Namun, teriakan teman sekelompoknya seakan menegaskan kepada Vinay bahwa janji Mandala mungkin tidak akan bisa lelaki itu tepati.
Kobaran api semakin meluas, angin kencang membuat lidah merah semakin marah dan melahap hutan yang mengelilingi mereka. Mandala menggenggam tangan kekasihnya dengan sangat erat. Menarik gadis itu untuk berlari bersamanya guna mencari jalan untuk lolos dari kematian yang mengejar mereka. Kelompok itu terpisah tanpa sadar, Vinay berteriak kecang saat melihat salah satu rekannya mencoba menerobos api namun gagal dan berguling dengan bara api yang mengelili tubuhnya. Vinay sudah menangis ketakutan, ia memeluk Mandala dengan erat.
Tidak ada jalan. Mereka sudah terkepung. “Kita bakal mati disini Nda!” tangis Vinay dekapan Mandala. Lelaki itu masih terdiam, jantungnya terpacu dengan begitu hebat seiring dengan keringat yang mengucur di pelipisnya. Ia harus membawa Vinay pulang. Hanya kalimat itu yang terngiang dalam benak Mandala.
“Vinay!” teriak Mandala berusaha memanggil kekasihnya yang sudah histeris. “Vinay! Dengerin aku!” bentak Mandala yang membuat Vinay kini menatapnya penuh. “Aku akan bawa kamu keluar, dan setelah kamu keluar, kamu langsung lari cari bantuan.”
Vinay menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Kita nggak bakalan bisa keluar Nda! Nggak bakalan bisa!” balasnya.
Tanpa banyak berucap Mandala dengan cepat melepas ransel gunungnya, lalu melepas ransel gunung milik Vinay. Lelaki itu membuka jaketnya dan memakaikannya pada Vinay tanpa mengaitkan resleting. Mandala dengan gesit mengguyur Vinay dengan semua persediaan air yang ia dan Vinay memiliki.
“Kamu mau apa?” tanya Vinay saat Mandala berjongkok di depannya. Jantung gadis itu berdebar dengan kuat, dadanya sangat sesak entah karena asap yang pekat atau mungkin karena rasa takut yang melingkupinya.
“Naik Vinay!” teriak Mandala.
Vinay menggegelengkan kepala dengan keras. “Nggak! Aku nggak mau! Kamu gila!” teriak Vinay saat tersadar dengan keinginan Mandala.
“Naik sekarang atau aku ngebakar diri aku disini!” ancam Mandala pada kekasihnya. Mereka tidak memiliki banyak waktu. Lelaki itu lalu kembali berdiri dan menghadap kekasihnya yang menatapnya dengan pandangan memohon.
“Enggak Mandala, aku nggak mau. Aku mau sama kamu,” tangis Vinay memohon kepada lelaki itu untuk tidak bersikap bodoh.
“Denger Vinay! Kita akan pulang, kita harus pulang! Kamu percaya-kan sama aku!” ujar Mandala menyakinkan Vinay. Mandala sangat mencintai gadis itu, dan ia akan melakukan apapun untuk membuat Vinay baik-baik saja. “Sekarang naik, pegang tanganku kuat-kuat, jangan sampai jatuh. Abis itu kamu langsung lari cari yang jauh, cari pertolongan. Jangan lihat kebelakang, janji sama aku!”
Vinay terisak dalam tangisnya, “Kita akan baik-baik aja? Kamu nggak bakal ninggalin aku?” tanya Vinay pada Mandala.
“Ya, aku nggak bakal ninggalin kamu,” janji Mandala sembari menggengam tangan Vinay. Ia lalu berjongkok di depan tubuh Vinay dan menarik kekasihnya agar menaiki pundaknya. Mandala memantapkan hatinya, memandang kobaran api pada rumput ilalang setinggi d**a di hadapannya. Vinay akan baik-baik saja, ia harus memastikan itu. “Vinay, aku cinta kamu, kamu harus ingat itu. Tapi mulai sekarang, aku ingin kamu berhenti mencintai aku,” pinta Mandala sebelum berlari menerjang kobaran api yang kian menyelimuti dirinya.
Tubuhnya panas, dan rasa sakit itu tak bisa dibayangkan. Mandala terus berlari dengan api yang menyelimuti dirinya lalu menghempaskan Vinay yang menjerit histeris dan menjauh dari gadis itu. “Lari! Lari!” erang Mandala ada kekasihnya. Sedari tadi Mandala benar-benar menahan teriakan kesakitannya hanya agar Vinay tidak ketakutan. “Lari Vinay! Cari bantuan!” erangnya sembari bergulung dengan api yang menyelimutinya.
Mandala mendesah lega saat Vinay menuruti keinginannya. Mandala tahu dengan jelas bahwa ia tidak akan bisa selamat, dan ia menyuruh Vinay lari agar tidak melihatnya meregang nyawa. Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi ia akan pulang. Mandala hanya harus menahan rasa sakit ini sedikit lebih lama. Dan sesaat kemudian Mandala tidak bisa merasakan rasa sakit itu lagi, ia telah pulang, dengan tenang.
***
Lari! Lari! Lari Vinay!
Teriakan Mandala seolah terngiang begitu keras di telinga Vinay. Gadis itu berlari sekuat tenaga, tidak peduli dengan isak tangisnya sendiri yang membuat napasnya semakin tersengal. Vinay tidak tau kemana ia harus berlari, ia hanya menyongsong lurus kedepan tanpa peduli jika ia akan terjatuh atau apapun itu. Vinay tidak dapat bepikir lagi. Otaknya dipenuhi dengan wajah kesakitan Mandala, dan perintah lelaki itu agar ia berlari.
Vinay tersandung oleh kakinya sendiri. Ia terjerembab dan mengerang kesakitan saat kakinya serasa terkilir. Vinay terdiam beberapa detik, napas gadis itu tersengal hebat dan dadanya berdebar kuat dengan menyakitkan. Vinay mencengkram baju di bagian jantungnya, berharap rasa sakit itu menipis namun yang ia rasakan tidak sama sekali.
“Aaarrrggghhh!!!” Vinay berteriak. Seluruh ingatan beberapa menit yang lalu seakan memberondong pikirannya. Gadis itu memukul-mukul tanah seolah menumpahkan kemarahannya pada hutan yang dengan kejamnya melukai mereka semua. Gadis itu menangis dengan histeris, napasnya sesak bukan main. Pandangan Vinay lalu jatuh pada pergelangan tangan kirinya yang dihiasi slayer hitam milik kekasihnya. “Lari, Vinay harus lari,” gumam Vinay yang dengan sekuat tenaga menegakkan tubuhnya. Kaki kirinya sakit bukan main, namun gadis itu tau kalau rasa yang dialami Mandala pasti lebih sakit dari ini.
Jantung Vinay berdebar kuat saat manik matanya menangkap sekumpulan orang dengan pakaian orange. Gadis itu kembali terjerembab dan langsung dengan sigap dihampiri oleh beberapa orang disana. Dengan napas tersengal ia berucap, “Diatas—masih banyak teman,” ujarnya sebelum kegelapan merengkuhnya.
***
Saat Vinay membuka matanya, rasa sesak dan pusing langsung medera tubuhnya. Napasnya tersengal, nampaknya alat bantu pernapasan yang berada di hidung sama sekali tidak membantunya. Vinay hanya diam saat wanita paruh baya yang ia kenal betul sebagai ibunya memekik dan sibuk memanggil beberapa orang lain. Vinay hanya diam, pikirannya berkelana. Vinay tahu betul saat ini ia berada di rumah sakit, dan ia berusaha mengorek ingatannya tentang alasan mengapa ia bisa berada di sini.
Mandala. Kekasihnya, Mandala Zeonard.
Lagi-lagi, Vinay bisa merasakan tangan tak kasat mata mencengkram jantungnya dengan begitu kuat. Gadis itu menolehkan kepalanya kepada sang ibu yang menatapnya dengan air mata yang menghiasi pipinya. Bagamana keadaan Mandala? Ingin sekali Vinay bertanya, namun suaranya tak bisa keluar karena alat bantu pernapasan yang melingkupi hidung hingga mulutnya membuat gadis itu hanya menyimpan pertanyaan itu dalam otaknya.
Vinay hanya diam saat beberapa orang berpakaian putih memeriksanya. Energinya seakan lenyap begitu saja dan ia merasa sangat lemas. Vinay bisa menarik napas kuat-kuat saat alat bantu pernapasannya dilepas, gadis itu lalu dibantu untuk meminum segelas penuh air putih oleh seorang perawat.
“Ma,” panggil Vinay dengan sangat pelan saat dokter sudah pergi dan hanya menyisakan seorang perawat yang tengah mengecek infusnya. “Mandala—dimana?” tanyanya hampir menyerupai bisikan.
Wanita paruh baya itu menatap Vinay lama. Air matanya kembali luruh, dan hal itu membuat Vinay mengalihkan tatapannya, apapun selain wajah menangis Ibunya. Tanpa bisa dicegah, Vinay turut menangis tanpa suara. “Apa—dia, ada di ruang sebelah?” gumam Vinay mencoba mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. “Dia nggak apa-apa kan Ma?” tanya Vinay yang rasa sakit yang teramat sangat. Demi apapun, Vinay hanya membutuhkan dua huruf atas pertanyaanya. Ya, kata itulah yang sangat ingin Vinay dengar.
Ibu Vinay, Sarah mengusap air mata di pipi anaknya. “Kamu harus sembuh dulu ya,” jawabnya yang dibalas gelengan lemah oleh Vinay.
“Vinay mau ketemu sama Mandala, kemarin—Mandala suruh Vinay lari buat cari bantuan,” Vinay meneguk ludahnya saat hampir tersedak oleh isak tangisnya. “Vinay udah dapat nepatin janji, Mandala—harusnya juga nepatin janji,” Vinay terisak. Gadis itu tidak dapat lagi memendam segala rasa sesak yang kian menggerogoti hatinya. Dalam hati kecil Vinay, gadis itu tau apa yang telah menimpa kekasihnya. Dan keengganan Ibunya untuk berucap seolah menegaskan segala ketakutan yang ia rasakan.
Vinay memejamkan matanya, berharap saat ia menutup mata. Segala hal buruk yang ia rasakan tidak pernah terjadi. Mandala masih tersenyum padanya, merangkul bahunya, dan mengecup pucuk keningnya. Mandala masih mengomel tentang sikap cueknya, menyodorkan makanan pedas padanya, dan segala hal yang lelaki itu selalu lakukan.
Air mata Vinay tak kunjung berhenti, ia tidak siap menerima ini. Ia tidak siap kehilangan Mandala Zeonard, kekasihnya.
“Aku pengen ketemu Mandala, boleh kan Ma?” bisik Vinay yang dibalas anggukan lemah oleh Ibunya. Wanita paruh baya itu menggenggam tangan Vinay dengan erat. Bersyukur bahwa anak tunggalnya masih bisa berada di dunia yang sama dengannya.
***
Vinay Flinn Dirgantara memaksa untuk keluar dari rumah sakit siang itu juga. Dini hari tadi Vinay siuman setelah hampir dua hari pingsan karena kekurangan oksigen dan terlalu banyak menghirup asap kebakaran hutan. Dan sore ini, gadis dengan kruk ditangan kirinya itu berdiri dengan tatapan kosong di depan makam dengan gundukan tanah yang lebih tinggi. Tanah makan itu masih coklat dan basah, tanda bahwa itu adalah makam baru. Disana, tertulis sebuah nama yang sosoknya begitu Vinay rindu. Mandala Zeonard, lelaki yang berjanji akan membawanya pulang, namun nyatanya rumah yang mereka tuju tidaklah sama.
“Mama sama Papa bisa ninggalin Vinay bentar?” Vinay menolehkan kepala. Menatap kedua orang tuanya yang memberikan tatapan penuh kecemasan. Ingin sekali Vinay mengulas sebuah senyum sekadar untuk menenangkan kedua orang tuanya. Namun, sudut bibirnya tak bisa terangkat. Sama sekali. Air matanya bahkan sudah mulai menggenang di kelopak matanya. “Sebentar saja,” mohon Vinay kedua kalinya.
Vinay bisa merasakan sedikit kelegaan saat kedua orang tuanya mengangguk dan memilih untuk menjauh. Cukup jauh namun masih bisa dilihat oleh manik mata gadis itu. Seketika itu juga, rasa sakit memberondong hatinya. Air matanya jatuh tanpa harus diminta dan dadanya begitu sakit hingga Vinay merasa sesak karenanya. Gadis itu bersimpuh, membiarkan kruknya terjatuh disisi tubuhnya dan menangis sembari menahan isakannya.
“Pembohong,” gumam Vinay sembari menatap kearah nisan dengan nama kekasih hatinya. “Rumah yang kita tuju—nggak sama,” Vinay memejamkan matanya sejenak. Ingatan tentang bagaimana Mandala begitu mencintainya semakin membuat rasa rindunya kian membuncah. “Kamu curang Man—dala, gimana bisa kamu ngelakuin itu ke aku. Setelah semua ini, gimana aku bisa hidup, tanpa ka—mu?” isak Vinay sembari mencengkram kuat tanah makam Mandala.
Segala kisah cinta yang ia rajut bersama Mandala lenyap seketika itu juga. Bahagia, senyum, dan tawa tak lagi bisa ia rasa.