Rumah itu cukup ramai. Ada beberapa orang dengan tas tangan besar yang duduk di lantai beralas karpet tebal dan beberapa cemilan di ruang tamu. Vinay terdiam di pintu besar rumah keluarga Zeonard. Jantung gadis itu berdebar begitu kencang, Vinay siap menerima segala amarah keluarga kekasihnya yang sudah ia kenal baik. Seseorang menepuk bahunya, membuat Vinay yang sedari tadi menunduk mengangkat kepalanya. Manik mata hitam kelamnya mendapati seorang wanita berparas begitu cantik tengah tersenyum tipis kearahnya. Wajah wanita itu nampak letih dengan mata merah dan sembab.
“Vinay kan? Kenapa berdiri di pintu? Ayo masuk,” ajaknya.
Saat tersadar dengan siapa yang berada di depannya, lantas Vinay langsung merangsek memeluk wanita itu. Senna Zeonard, kakak kedua Mandala yang dua tahun terakhir tinggal di London.
“Kak—Mandala pergi,” isak Vinay dalam pelukan wanita yang juga kembali meneteskan air mata.
Senna dengan cepat membawa Vinay masuk kedalam rumah, dan seolah sudah terbiasa, gadis itu langsung melangkah menunju kamar Mandala. Senna dengan mengusap pipi gadis yang begitu sering adiknya ceritakan kepadanya. Vinay yang imut, Vinay yang manis, Vinay yang begitu Mandala cintai.
“Mandala bakal sedih kalo kamu begini Vin,” bujuk Senna agar gadis itu berhenti menangis. Ia tahu betul bagaimana rasa sakitnya kehilangan. Meskipun ia jarang bertemu adiknya beberapa tahun terakhir ini, mereka masih sering berkomunikasi. Dan rasa sayangnya pada Mandala sama sekali tidak berkurang.
“Semua gara-gara aku Kak, Mandala nyelamatin aku,” Vinay bercerita segala hal yang terjadi tiga hari yang lalu tanpa terkecuali. Gadis itu sesekali terisak dan sudah siap menerima segala amarah bahkan makian dari kakak Mandala. Namun, yang ia dapatkan malah sebuah usapan di kepalanya.
Senna tersenyum sedih, menatap bagaimana gadis yang adiknya cintai itu begitu terlihat menderita. Bahkan mungkin lebih menderita dari dirinya sendiri. “Vinay, kita semua kehilangan Mandala. Kamu, aku, Bunda, semuanya. Dan itu semua bukan salah kamu Vin, ini sudah kehendak Tuhan,” tutur Senna.
Vinay menggeleng dengan keras kepala, “Mandala—gak bisa pulang karena selamatin aku kak. Semua gara-gara aku,” kukuh Vinay.
“Bukan salah kamu, ini sudah keputusan Mandala,” Senna berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam dan kembali berucap. “Semua udah terjadi, dan yang bisa kamu lakukan adalah membuat Mandala tenang disana. Jangan merasa bersalah, jangan pernah, karena ini sudah rencana Tuhan. Mandala selamatin kamu karena dia ingin kamu terus hidup dan bahagia. Sekarang ikuti pesan Mandala, jalani hidup kamu dengan baik, dan jangan sampai membuat pengorbanan Mandala menjadi sia-sia.” Senna memejamkan matanya erat, berusaha menghilangkan rasa sakit dan amarah yang sempat merajai hatinya. Tidak, ia tidak boleh marah. Ini bukan salah Vinay. Sejak awal Mandala yang mengajak gadis itu mendaki gunung, dan jika Mandala tidak mengorbankan dirinya maka bisa dipastikan tak ada salah satu dari mereka yang selamat. “Jalani hidup kamu dengan baik, seperti yang Mandala minta,” ulangnya lagi.
Vinay mengangkat wajahnya, menatap wajah Senna seolah mencari-cari kemiripan gadis itu dengan kekasihnya. “Mandala akan marah ka—kalau aku nggak nurutin ucapannya,” gumam Vinay teringat bagaimana keseharian kekasihnya. Gadis dengan mata yang sembab parah itu mengedarkan pandangannya. Menelisik kamar Mandala yang begitu ia kenal tiap sudutnya. “Kak, setelah ini barang-barang Mandala mau diapain?” tanyanya.
Senna menghela napas, lalu menjawab dengan kurang yakin. “Sepertinya akan diberikan ke rumah panti agar Mama sama Papa nggak sedih. Dan, rencananya kami semua mau pindah ke London.”
“Boleh—aku ngambil beberapa barang Mandala?” tanya Vinay sedikit takut.
Senna terdiam, gadis dengan manik mata coklat terang itu menatap Vinay dengan pandangan penuh perhitungan. “Boleh, asal kamu janji sama kakak bakalan lanjutin hidup kamu dengan baik,” karena pasti itulah Mandala inginkan, lanjutnya dalam hati.
“Demi Mandala,” gumam Vinay seolah melanjutkan kata-kata Senna. Gadis itu tidak menjawab, hingga Senna pamit untuk menjamu tamu yang datang dalam masa berkabung. Meninggalkan Vinay sendiri di kamar yang penuh dengan aroma Mandala.
[Ada banyak kecurangan di dunia ini. Salah satunya kecurangan semesta yang mempertemukanku denganmu, namun tak membiarkanku memilikimu.]