Chapter 4

1652 Kata
MURID BARU [Mungkin, jika saja aku bisa mengirimkan surat untukmu. Kotak posmu akan terisi penuh dengan surat atas namaku.]   Tahun ajaran baru, 17 Juli 2018             Lima belas menit lagi gerbang sekolah salah satu SMA favorit itu akan di tutup. Vinay bersama beberapa teman sekolahnya berjalan dengan langkah cepat menuju gerbang hitam tinggi dengan logo sekolah yang nampak kusam. Gadis kelas tiga SMA dengan rambut sedikit bergelombang sebatas d**a itu membenarkan letak tas ranselnya. Ia langsung menghentikan langkah kakinya dan menatap lama kearah pergelangan tangan kirinya.  Vinay membelalakkan matanya saat tersadar bahwa slayer yang selalu melingkari pergelangan tangannya tidak ada disana.             “Vin, ayo masuk! Jangan bengong mulu!” ucap Naya yang menatap temannya dengan pandangan bingung.             “Duluan aja!” jawab Vinay sebelum berbalik dan berlari kearah gedung samping sekolah, tempat parkir. Ia ingat betul jika pagi ini Vinay tidak lupa memakai atribut wajibnya, slayer pemberian Mandala. Jantung Vinay terpompa dengan cepat saat membayangkan benda itu menghilang. Jangan, apapun selain slayer hitam itu.             Vinay mengatur napasnya dan mulai menjelajahi tempat parkir yang sudah lumayan sepi itu. Vinay mengumpat saat melihat jam dinding yang tergantung di tembok kusam tempat parkir. Tujuh menit lagi gerbang akan di tutup. Alamat ia akan berurusan dengan Pak Wawan guru PKN yang suka sekali main tebak-tebakan isi UUD.             “Pak Sodik, lihat slayer item nggak?” tanya  Vinay hampir menyerupai teriakan kepada penjaga parkir yang sedang sibuk memasang sound sistem kecil kedalam colokan laptop. Penjaga parkir sekolah Vinay memang terkenal sangat unik. Jika biasanya orang desa terlebih yang tua akan gagap teknologi, tapi tidak untuk Pak Sodik. Lelaki paruh baya itu selalu memainkan laptop sambil menjaga parkir dan bahkan sempat kena tegur karena menjual film drama Korea hasil download menggunakan wifi sekolah kepada siswa. Sungguh kreatif penjaga parkir satu ini.             “Nggak lihat dek, Bapak dari tadi cuma lihat motor sama helm,” jawab Pak Sodik cuek seolah tidak berniat membantu.             Vinay berdecih kesal lalu melangkahkan kakinya cepat mengitari halaman parkir. Manik matanya begulir meneliti barisan sela-sela tempat di motor miliknya. Vinay menggerutu sembari berdoa agar waktu berjalan lebih lambat agar gerbang tidak sampai di tutup.             Jantungnya masih berdebar kencang. Slayer itu adalah benda paling berharga bagi Vinay selain jaket denim, buku harian, dompet, kamera, gitar yang semuanya milik Mandala. Satu tahun yang lalu, Vinay bahkan hampir saja mengosongkan kamar Mandala dan membawa semua barang cowok itu ke rumahnya. Namun tidak jadi karena larangan Kak David, kakak tertua Mandala. Lelaki yang hampir menyerupai kekasihnya itu berkata bahwa Vinay akan susah move on jika semua barang Mandala dibawanya. Siapa juga yang ingin move on, pikir Vinay yang tiba-tiba teringat kejadian satu tahun silam.             “Cari ini?” Vinay yang sebelumnya tengah sibuk menelisik sela-sela motor terperanjat dan langsung menoleh. Disana, berdiri seorang cowok dengan seragam yang sama dengannya. Anehnya, Vinay yang sudah menginjak kelas tiga merasa tidak pernah melihat cowok itu             Vinay tertegun saat cowok itu mengulurkan slayer hitam miliknya. Gadis itu menatap slayer miliknya dan wajah ganteng cowok itu bergantian. Entah kenapa, mendadak Vinay merasa suasana diantara mereka mendadak romantis. Demi apapun, Vinay tidak sedang bercanda atau melebih-lebihkan. Ia benar-benar mendengar salah satu lagu korea ost. Descendant of the Sun. Jika dipikir-pikir adegannya kini juga mirip adegan pertemuan tentara ganteng dan dokter cantik di episode ketiga drama itu. Bedanya setting drama itu di landasan udara sedangkan mereka di landasan darat, alias parkiran.             Keduanya sontak langsung menoleh kearah Pak Sodik yang tengah sibuk menonton di laptopnya dengan suara sound sistem yang agak keras dengan penuh keseriusan. Mereka kembali saling pandang dan langsung tertawa terbahak hampir bersamaan. “Penjaga parkir sekolah ini keren banget ya,” ucap lelaki dengan dua lesung pipit yang terlihat jelas saat sedang tertawa.             Sejenak Vinay terpaku, lelaki itu sangat manis saat tersenyum. Vinay mengambil slayernya masih dengan tawa riyuhnya. Sungguh, timing beberapa saat yang lalu terasa sangat konyol baginya. “Banget! Penjaga parkir paling gaul tingkat kecamatan tuh!” jawabnya dengan ramah.             Satu tahun ini, Vinay benar-benar berubah. Gadis yang sebelumnya pendiam dan jarang bergaul itu lambat laun mulai menunjukkan keberaniannya. Vinay mengikuti banyak ekstra kulikuler, dan bahkan menjadi anggota OSIS. Gadis yang sebelumnya selalu diam di rumah kini selalu sibuk dan selalu keluar tiap akhir pekan. Vinay yang sebelumnya menyukai lagu Korea menjadi menyukai lagu Amerika, terlebih Maroon Five. Vinay yang paling anti olahraga masuk klub basket cewek di sekolah. Vinay yang paling tidak bisa makan pedas selalu menumpahkan cabai di makanannya. Vinay yang saat mengambil foto selfie selalu mendapatkan hasil foto goyang kini bahkan begitu ahli menggunakan kamera berlensa panjang. Bisa dibilang, sifat Vinay yang dulu bertolak belakang dengan Mandala kini menjadi berhadapan. Vinay melakukan segala hal yang disukai Mandala. Vinay menjadi Mandala. “Anak baru? Kelas berapa?” tanya Vinay sembari memasang slayer hitam yang sempat hilang itu di pergelangan tangan kirinya. “Kelas tiga,” jawab cowok itu hingga membuat Vinay langsung mengangkat wajahnya cepat. “Sama nih, aku juga kelas tiga,” jawabnya. Vinay menelisik bagian d**a seragam anak baru itu, mencari name tag yang biasanya dijahit rapi di d**a tiap siswa. Cowok itu tersenyum samar, lalu mengulurkan tangannya. “Namaku Levi, lengkapnya Levi Adinata Saputra. Anak bontot dari dua bersaudara. Lebih cakep dari Abang, suka basket, dan jomblo,” ujarnya memperkenalkan diri dengan cengiran manis andalannya. Vinay mengangkat alisnya, lalu terkekeh kecil. Baru kali ini dia nemu spesies cowok absurd tapi sialnya ganteng bukan main seperti Levi ini. Vinay menyambut uluran itu dengan binaran mata geli. “Vinay, anak tunggal, doyan makan pedes, dan taken,” sahut Vinay yang membuat Levi mendesah kecewa tanpa ditutup-tutupi. “Nggak asik ah, masak udah taken aja!” protesnya tidak terima. Cowok itu berujar seolah-olah jika Vinay jomblo, ia akan langsung siap sedia melengkapi status cewek imut itu. “Kamu sih datengnya telat!” Vinay menjawab dengan asal. Ia lalu terdiam, seperti ada yang kelupaan, pikirnya. “Gila kita telat!” pekik Vinay yang hendak berlalu melewati Levi si anak baru. Cowok itu dengan refleks memegang lengan Vinay, berkedip bingung beberapa kali saat lupa tujuan mengapa ia menarik lengan gadis itu. Vinay menepuk jidatnya, “Oh iya, makasih ya Lev!” ujarnya yang tersadar bahwa ia lupa mengucapkan terima kasih. Sesungguhnya, bukan itu alasan Levi memegang lengan gadis imut itu. Tetapi Vinay sudah terlanjur melesat pergi meninggalkan Levi yang kini menggosok hidungnya. “Dia cewek kan ya, kok pakai parfum cowok,” gumam Levi sedikit bingung. “Eh marmut, kalau dia telat aku juga telat dong!” pekiknya sebelum berlari mengikuti langkah Vinay. Sesaat kemudian, cowok itu langsung menghentikan larinya saat melihat Vinay beberapa kali mengintip kearah gerbang sembari memegang buku kecil tipis berwarna merah dengan tulisan UUD 1945. “Ngapain kamu masih disini?” tanyanya dengan langkah kaki menghampiri gadis unik yang manis dan imutnya bukan main itu. “Belajar,” gumam Vinay tanpa menoleh kearah Levi. Sedetik kemudian gadis itu mengangkat wajahnya, “Terus kamu ngapain disini? Masuk sana, anak baru kok datangnya telat!” tegur Vinay sok menjadi anak disiplin. Padalah dirinya sendiri sedang mempersiapkan diri menghadapi Pak Wawan yang tidak pernah sariawan. “Dih, ngaca dulu Neng,” kekeh Levi yang gemas ingin menjitak cewek lucu itu. “Lagian aku kan anak baru, aku bisa ngeles kalau kesasar karena baru pertama,” jawabnya dengan sombong. Cowok itu lalu menepuk bahu Vinay dengan wajah sok bersimpatinya. Tertawa senang saat mendengar dengusan sebal dari Vinay lalu berjalan dengan santai menuju gerbang sekolah. Disana ia bisa melihat beberapa siswa yang berbaris memanjang kebelakang. Levi tersenyum penuh kesopanan dan pencitraan, cowok itu lalu sungkem kepada Pak Wawan yang menatapnya dengan satu alis terangkat tinggi. “Perkenalkan Pak, saya Levi Adinata Saputra, murid pindahan yang baru hari ini masuk Pak. Maaf karena saya terlambat, soalnya saya tadi kesasar karena baru pertama kesini, jadi telat deh Pak,” ujar Levi dengan senyum manis yang menurutnya bisa membuat cewek kelepek-kelepek dan maling mendadak tobat. “Oh gitu,” ucap Pak Wawan sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Yes! Sorak Levi dalam hati. Ketampanannya memang tidak bisa diragukan khasiatnya. Sepertinya ia harus mendaftar menjadi bagian dari komik terlalu tampan. Ah, sungguh terlalu. “Yaudah, kamu baris di belakang,” lanjut Pak Wawan dengan santai sembari menunjuk bagian belakang barisan yang terdiri dari tiga orang. Levi membuka mulutnya, terbengong dengan ucapan Pak Wawan yang meruntuhkan kepercaan diri Levi. Tunggu dulu, kenapa juga ia harus kehilangan kepercayaan diri? Pak Wawan kan bukan cewek yang bisa klepek-klepek dan juga bukan maling yang harusnya tobat. Mengetahui fakta itu membuat Levi mengangguk semangat dan langsung berjalan ke barisan paling belakang. Barisan yang semula berisi tiga orang itu kini bertambah menjadi empat orang, lima dengan dirinya. Levi berdecak kesal saat mendapatkan tatapan mengejek dari Vinay yang tengah menahan tawanya agar tidak meledak. k*****t benar cewek ini! “Vinay-Vinay, anggota OSIS kok bisa-bisanya telat,” tegur Pak Wawan yang sebelumnya menyuruh tiga orang yang gagal melewati rintangan darinya untuk push up tergantung waktu keterlambatan masing-masing. “Maaf Pak, tadi ada yang ketinggalan di parkiran. Jadi balik lagi deh,” jawab Vinay dengan senyum manisnya. “Alasan doang!” sahut Pak Wawan yang membuat Vinay meringis. “Langsung aja, pasal tujuh belas!” perintah Pak Wawan yang membuat Vinay tersenyum penuh kemenangan. Gadis itu sudah hapal betul sifat Pak Wawan yang selalu mengkaitkan segala hal dengan tanggal, bulan, tahun, jam, dan lain-lain. “Bab V, kementrian negara, pasal tujuh belas. Satu, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Dua, menteri-menteri negara itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tiga, Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Empat, pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang,” Vinay menjawab pertanyaan Pak Wawan dengan penuh percaya diri dan semangat. Hingga membuat Guru dengan kumis di bawah hidungnya itu berdecak kagum dengan jawaban Vinay yang seratus persen benar tanpa cela. Pak Wawan menepuk bahu Vinay dengan bangga, “Hebat! Murid teladan! Kalau gini kamu tiap hari aja telat ya Vin, biar bisa bikin mood Bapak bagus pagi-pagi begini! Bapak bangga dengan semangat kewarganegaraan  kamu Nak!” puji Pak Wawan dengan berlebihan. Vinay tersenyum puas, dia memang jagonya kalau masalah hafalan. “Lolos nih Pak?” tanya Vinay memastikan. Manik mata Vinay berbinar senang saat Pak Wawan mengangguk masih dengan tatapan bangganya. Gadis itu lalu berjalan melewati Guru PKn-nya setelah sebelumnya mencium tangan Pak Wawan. Setelah beberapa langkah, Vinay membalikkan tubuhnya dan menyeringai puas melihat Levi yang kini menatapnya kesal. Seolah ingin membuat cowok itu semakin berang, Vinay dengan sengaja memeletkan lidahnya. Ia lalu dengan cepat berlari kearah kelasnya dengan tawa keras saat melihat Pak Wawan menjewer Levi yang ketahuan tidak memperhatikan guru berkumis tebal itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN