Vinay masih tertawa kecil saat memasuki kelas. Ia mengedarkan pandangannya dan kembali menarik sudut bibirnya saat melihat Inka melambaikan tangan dari tempat duduk bagian belakang.
“Dari mana aja Vin?” tanya Inka saat Vinay masuk ke dalam kelas dengan senyuman lebar.
Vinay masih mengedarkan pandangannya, tak langsung menyahuti pertanyaan temannya. “Tempat duduk aku mana Ka?” tanya Vinay menatap teman-teman sekelasnya yang sudah duduk manis di tempat masing-masing.
Inka menggaruk tengkuknya sambil tersenyum masam. “Tadi mau aku cariin Vin, tapi anak-anak beringasnya kebangetan. Tau-tau udah penuh aja tempatnya, tinggal bagian belakang itu,” tunjuk Inka kearah meja kosong di samping jendela lorong kelas.
“Sumpah?! Udah di belakang, sendiri lagi? Kamu duduk sama siapa?” Vinay beberapa kali mendesah kesal. Merutuki kebodohannya yang sampai lupa kalau hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Dan kelas akan mendadak menjadi arena perang perebutan kekuasaan atas posisi-posisi stategis.
“Aku sama Naya, kamu sih nggak boking aku duluan,” jawab Inka yang membuat Vinay langsung kicep. “Tenang aja kok Vin, aku di depan kamu pas, nanti kita bertiga rolling deh,” rayu Inka merasa bersalah.
Vinay lalu mengulas senyumnya, dirinya sendiri juga menjadi tidak enak pada Inka. “Nggak apa-apa, lagian aku juga tetep pinter meski di belakang. Sekali-kali kasih kesempatan buat yang lain,” songongnya.
“Eh, Bu Sri masuk!” pekik beberapa siswa yang membuat kelas yang tadi bagaikan pasar ikan itu mendadak rapi. Bersamaan dengan itu, masuk seorang guru berkerudung coklat diikuti dengan seorang siswa lelaki di belakangnya.
“Selamat pagi semua!” sapa Bu Sri dengan ceria. Guru Bahasa Indonesia yang baru menjadi guru tetap satu tahun yang lalu itu memang dikenal ceria dan asik dikalangan murid-muidnya.
“Pagi Bu!” jawab siswa dengan kompak, kecuali Vinay yang kini saling lempar pelototan dengan cowok yang berdiri tepat di samping Bu Sri. Vinay tau betul siapa cowok itu. Levi Adinata Saputra yang kini menatapnya kesal karena sudah membuat telinga kanannya merah.
“Hari ini kita kedatangan murid baru, namanya—siapa tadi?” tanya Bu Sri pura-pura tidak kenal. Melupakan fakta bahwa sesungguhnya anak baru itu adalah salah satu keponakannya. “Yaudah deh, kamu perkenalan sendiri aja,” suruh Bu Sri yang kemudian duduk di kursi gurunya, turut memperhatikan sesi perkenalan si siswa baru.
Levi tersenyum kecil, manik matanya mengamati wajah-wajah siswa yang akan menjadi teman sekelasnya. “Perkenalkan, nama saya Levi Adinata Saputra, bisa panggil Levi, tapi khusus untuk yang cewek bisa manggil sayang,” ujarnya yang membuat Bu Sri langsung melolot. Guru Bahasa Indonesia berumur dua puluh empat tahun itu berdecak kesal melihat kelakuan keponakannya.
“Levi,” tegurnya yang membuat Levi menampilkan cengirannya.
“Bercanda doang Bu,” jawabnya santai. “Salam kenal teman-teman,” ucap Levi mengakhiri sesi perkenalannya yang begitu singkat itu. Bahkan Levi lebih banyak memperkenalkan diri kepada Vinay saat di parkiran tadi. “Saya duduk di pojok sana kan Bu?” tanya Levi dengan antusias menunjuk kearah Vinay yang memang duduk sendiri.
“Iya,” jawab Bu Sri yang membuat Levi langsung melesat dengan menahan senyumannya. Tidak memperdulikan tatapan beberapa siswa yang terlihat penasaran dengannya. Levi duduk di samping Vinay, lalu menolehkan kepalanya dan tersenyum senang kearah cewek imut.
“Dih,” desis Vinay saat melihat cowok absurd itu menebarkan senyum sok gantengnya.
Levi melotot, “Telingaku merah gegara kamu nih,” bisik cowok itu sembari beberapa kali melirik kearah depan. Takut-takut tantenya yang tengah mengabsen siswa-siswa itu memergokinya dan menempeleng kepalanya.
“Lah, kok malah nyalahin orang,” Vinay berujar dengan datar. Cewek itu lebih memilih menyangga kepalanya. Fokus menatap Guru yang beberapa saat lalu memperkenalkan diri sebagai wali kelas kini mulai mengabsen nama para siswa. Vinay sih harusnya santai saja, namanya yang berawalan huruf V membuat dirinya menjadi penghuni absen nomor lima dari bawah.
Saat ini mood Vinay sedang jelek karena mendapatkan tempat duduk paling bontot. Dan makin jelek saat si k*****t Levi yang kini dengan seenak udel menyenggol-nyenggol bahunya cari perhatian. Astaga, ini cowok tidak punya urat malu apa ya? Dimana-dimana orang kalau baru kenal ya malu-malu dulu kek, jaga imej gitu. Levi malah sok kenal, sok akrab, sok cari perhatian. Untung aja ganteng!
“Terus aku harus nyalahin siapa dong? Nyalahin Pak Wawan? Bisa-bisa aku kena amuk lagi. Coba dipikir-pikir, aku kan telat gara-gara kamu juga. Harusnya kamu baik-baik ke aku,” Levi memiringkan kepalanya. Menatap wajah Vinay yang kini datar seperti triplek di bawah kasurnya. Levi mengernyitkan keningnya merasa aneh, perasaan tadi pagi Vinay senang-senang aja tuh.
“Ya terus aku harus ngapain?” jawab Vinay tanpa repot-repot menolehkan kepalanya.
“Nanti ajak aku jalan-jalan keliling sekolah, terus traktir akan di kantin. Kalau ada PR kerjain PR aku, pulang sekolah ajak jalan-jalan keliling Malang, terus kita makan bakso di pinggir jalan, kamu lagi yang traktir,” Levi menampilkan cengirannya saat Vinay menolehkan kepalanya dengan hindung kembang kempis.
“Kamu makan apasih tadi pagi, pisang? Cerewet banget, orang apa burung sih?” Vinay berbisik dengan gemas. Ini anak pengen bikin Vinay bangkrut kayaknya.
“Burung yang mana dulu nih?” sahut Levi cepat sembari menaik turunkan alisnya dengan jahil.
“k*****t,” gumam Vinay saat tersadar ucapan Levi yang ternyata tidak hanya cerewet tapi juga m***m. Cewek itu lalu kembali menatap lurus kedepan sembari menahan senyumannya. Dasar cowok absurd!
Levi tersenyum puas, merasa berhasil membuat Vinay tidak lagi menampilkan wajah datar tripleknya. “Beneran ya nanti ajak keliling terus traktir makan,” cowok itu kembali menyenggol-nyenggol bahu Vinay.
“Ogah!” jawab Vinay sembari menyentak bahu Levi dengan kesal. Berharap cowok itu akan menghentikan tingkah kurang kerjaannya.
“Kalau gitu aku deh yang taktir, gimana?” Levi mencondongkan tubuhnya. Berusaha menutupi arah pandang Vinay yang lurus menatap kedepan.
Vinay menghela napas lalu menatap Levi dengan tajam, “Aku udah punya pacar Lev, jadi berhenti nggangguin aku!” desis Vinay yang membuat Levi berdecak tidak suka.
“Aku kan cuma nawarin mau traktir makan, bukan pengen ngajakin selingkuh. Lagian, orang yang udah punya pacar sah-sah ajakan makan sama temen baru. Kalau perlu aku minta ijin langsung ke pacar kamu, sekarang aku minta nomornya,” Levi menyodorkan buku tulis tanpa sampulnya. Lalu membuka halaman paling belakang.
Vinay terdiam, menatap Levy lama sebelum berucap. “Kamu kok ngotot banget sih Lev? Kan kamu bisa ngajakin temen-temen yang lain, kenapa harus aku?”
“Jawabannya gampang. Karena sekarang yang aku kenal cuma kamu, dan kamu teman sebangku aku. Artinya setahun kedepan kita akan saling berbagi cin—eh meja,” ralat Levi cepat saat Vinay kembali melemparkan tatapan tidak bersahabatnya. “Tulis-tulis,” pinta Levi untuk kedua kalinya.
Vinay menghela napas untuk kedua kalinya. Ia sudah memegang bulpoint disela jemarinya. Namun ia tak kunjung menuliskan nomor kekasihnya. Bukan Vinay tak ingat, ia hapal betul nomor telepon kekasih hatinya. Hampir setiap malam ia selalu menghubungi nomor yang sama. Nomor yang sejak satu tahun lalu tidak bisa ia hubungi, dan Vinay tahu betul alasannya.
Rasa sakit yang sama kembali menyentak ulu hatinya. Rasanya masih sama seperti satu tahun yang lalu, tetapi bedanya kini ia sudah terbiasa. Dengan tangan yang gemetar, Vinay menulis angka demi angka nomor telepon kekasihnya, Mandala. Ia lalu mengembalikan buku itu kearah Levi yang menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Mereka saling pandang beberapa detik, juga saling diam. Meninggalkan keheningan aneh dan hanya terdengar suara Guru yang memanggil nama seorang siswa dengan awalan N.
“Aneh ya?” gumam Levi yang membuat Vinay menatapnya penuh.
“Aku belum punya nomor kamu tapi udah punya nomor cowok kamu,” Levi tersenyum kecil. Lalu kembali menyodorkan bukunya. Vinay mendengus, lalu menuliskan nomor teleponnya di bawah nomor telepon Mandala. Cewek itu lalu mengerutkan keningnya dan menatap Levi dengan curiga.
“Modus ya?” tuduh Vinay yang membuat Levi tergelak.
Beberapa saat kemudian, cowok itu berteriak kesakitan. Levi menolehkan kepalanya dan mendapati tantenya yang merangkap menjadi guru wali kelasnya mendelik sembari menarik keras telinganya. Demi apapun, belum juga sehari ia sudah mendapat dua kali jeweran di sisi telinga yang sama. Dan itu semua karena si imut Vinay yang kini sok sibuk memandangi buku tulis milik Levi. Dasar marmut, tidak setia kawan!