Chapter 6

1011 Kata
TENGGELAM [Kehilanganmu sama artinya kehilangan sebagian diriku. Aku sudah mencoba bahagia. Namun tiap aku mencoba, yang kuingat adalah dirimu. Dan aku tersadar bahwa selama ini bahagia adalah kamu.]             “Aku pindahan dari SMA Bina Putra, alasan pindah kalian bisa cari tau sendiri,” Levi tersenyum lebar. Sejak jam pelajaran pertama berbunyi, anak baru itu langsung dikerumuni para cowok yang dari awal sudah kepo padanya. Tak jauh dari tempat duduknya anak-anak cewek memperhatikan kerumunan di bangku belakang dengan tatapan penuh minat.             “Ah, nggak seru! Cerita dong! Kamu dikeluarin atau nggak naik kelas?” tanya Dika cowok yang duduk dua meja di samping Levi bertanya dengan begitu frontal. Membuat suasana disana mendadak canggung.             Tak bertahan lama, suasana canggung itu langsung mencair saat Levi tertawa keras. “Gila! Mulutnya frontal banget!” komentar Levi terlihat santai yang kemudian disetujui oleh semua siswa disana. “Nggak seru ah kalau aku cerita. Mending kalian cari tau sendiri—eh, mau kemana?” ucapan Levi terpotong saat ia melihat Vinay berdiri dan memundurkan kursinya. Cewek itu kini sudah hampir keluar dari kerumunan beberapa siswa yang mengerubungi Levi.             “Kepo,” jawab Vinay singkat sebelum meminta beberapa temannya untuk memberinya jalan. Levi tersenyum masam, lalu melirik sebal kearah beberapa teman barunya yang cekikikan. Jelas betul jika mereka semua menertawakan Levi yang dicueki parah di depan banyak orang.             “Kamu suka sama Vinay Lev?” tanya Dika setengah berbisik agar Vinay yang kini tengah mengobrol dengan teman cewek di depan kelas tidak mendengar.             Levi menggeleng dengan santai, tak ada kebohongan di manik matanya. “Enggaklah, baru kenal juga,” jawabnya.             “Terus kenapa tadi kayak sok akrab banget sama Vinay? Kayak orang lagi pendekatan gitu,” desak Dika sok tahu.             Levi mengangkat bahunya acuh, “Lah, aku orangnya emang kayak gini kok. Diakan temen semejaku, jadi kita harus punya hubungan baik dong,” jelas Levi. Mereka semua lantas mengangguk. Membenarkan ucapan Levi yang memang pada dasarnya masuk akal itu.             Lagian, Vinay kan udah punya pacar. Levi membatin, menambahkan dalam hati. Cowok itu lalu menatap Vinay yang berbincang dengan dengan teman-temannya sembari berjalan keluar kelas.             “Iya juga ya Lev, jangan sampai  suka sama Vinay kamu! Cari yang lain aja,” imbuh Dika lagi.             Levi menatap Dika dan beberapa temannya, cowok itu lalu menganggukkan kepalnya paham. Tentu saja, ia tidak boleh sampai suka dengan Vinay. Sampai detik ini, Levi tidak ada niatan untuk menjadi pepacor. “Kekantin yuk! Laper nih!” ajak Levi mendongakkan kepalanya. Menatap teman-teman barunya yang kini duduk-duduk di atas meja.             “Yuk!” kali ini Fahmi menyahut. Cowok berkaca mata itu memimpin berjalan di depan dengan sesekali menyahut obrolan Dika dan Levi. Yang lain memilih tidak pergi ke kantin dan lebih senang bermain bola di lapangan.             “Ketua kelas kita siapa?” tanya Levi tiba-tiba. Ia tadi ingat jika di kelas Vinay menjabat sebagai sekertaris kelas. Lalu cewek berkacamata berama Ira menjawab sebagai bendahara kelas. Dan Levi belum mengetahui siapa ketua kelas karena wali kelasnya hanya berucap bahwa pengurus kelas sama seperti waktu mereka kelas dua, tidak ada perubahan.             “Ketua kelas kita namanya Irham, anaknya lagi ada olimpiade matematika di Yogyakarta,” terang Fahmi.             “Harusnya tempat duduk yang kamu tempati itu punya Irham, anaknya udah request sama temen-temen sekelas mau duduk sama Vinay,” lanjut Dika. “Tapi kamu jangan bilang Vinay, bisa ngamuk dia entar kalau tau dia sengaja disetting duduk sama Irham!” Dika buru-buru menambahkan.             Levi mengangkat alisnya bingung, “Kenapa Irham pengen banget duduk sama Vinay, dia ada hati sama si marmut?” tanya Levi penasaran. Dika dan Fahmi saling berpandangan. Keduanya nampak saling berkomunikasi melalui tatapan mata mereka. Fahmi nampak menyalahkan Dika yang berbicara tanpa pikir panjang. Meskipun sebenarnya hampir seluruh kelas mengetahui fakta bahwa Irham menyukai Vinay. Levi lalu mengulum senyum dan merangkul dua teman barunya itu disisi kanan dan kiri. “Santai aja kali, kalau emang nggak mau cerita nggak usah masang tampang b**o gitu,” ejek Levi kembali mencairkan suasana. Levi adalah cowok, santai, mudah bergaul, dan tidak suka memaksa. Mungkin itulah alasan kenapa cowok itu bisa dengan mudah akrab dengan teman-teman sekelasnya. “Nanti kalo kamu udah ngerti suasana kelas bakal tau sendiri deh Lev,” jawab Fahmi mencari aman. “Tapi kamu juga harus siap-siap kalau misalnya Irham minta kamu pindah tempat. Anaknya agak sok soalnya,” imbuh Dika yang membuat Fahmi memutar bola matanya sebal. Padahal tadi ia sudah berusaha menetralkan suasanya. Tetapi Dika dengan mulutnya yang frontal itu sepertinya minta ditabok kanan kiri. “Untung dia pinter dan suka bagi-bagi contekan, makanya anak kelas oke-oke aja sama dia,” lanjut Dika lagi. Disamping kiri, Fahmi sudah benar-benar menahan diri untuk tidak membekap mulut temannya itu. Sedangkan Levi tertawa lebar, ia cukup tau dengan situasi yang terjadi diantara Dika dan Fahmi. “Udah ah, ini kantinnya langsung bayar apa bayar diakhir?” Levi mengedarkan pandangannya mencari tempat duduk yang kosong. Lalu mengernyit masam saat tidak menemukan tempat kosong satupun. “Penuh nih, makan dimana kita? Udah laper banget lagi,” ujarnya. “Itutuh ada Inka sama Vinay, gabung mereka aja!” ujar Dika yang langsung berjalan cepat menghampiri dua cewek yang sedang asik memakan makanannya. Dika melambai-lambaikan tangannya kearah Levi dan Fahmi yang masih berdiri di depan pintu. Levi memandang Fahmi dengan tatapan bertanya, dan dibalas dengan gendikkan bahu oleh cowok berkacamata itu. Mereka lalu memutuskan untuk duduk di meja yang sama dengan Inka dan Vinay. Seolah sudah terbiasa, Levi langsung mengambil tempat duduk disamping Vinay berhadapan dengan Fahmi, Dika, dan Inka. “Apa?” tanya Levi saat Vinay menatapnya dengan pandangan aneh. Cewek itu lalu menggeleng dan melanjutkan memakan mie soto sampai berbunyi slrup. Levi jadi ingin memakan makanan yang sama saat melihat Vinay memakan dengan begitu nikmatnya. “Beli dimana Vin?” tanya Levi penasaran. Vinay mengangkat kepalanya, lalu menunjuk stand yang terletak paling ujung dengan dagunya. Levi langsung berdiri dengan gesit, meninggalkan kedua temannya yang kemudian mengikuti Levi. Melihat kepergian mereka bertiga, Inka langusung mencondongkan tubuhnya. Sahabat Vinay itu berucap setengah berbisik. “Vin, Levi itu cakep banget ya gila! Lesung pipitnya itu bikin nggak tahan!” kata Inka dengan menggebu-gebu. Vinay menolehkan kepalanya, menatap Levi yang sedang mengantri membeli mie dari kejauhan sekadar untuk memastikan ucapan Inka. Benar juga, kalau dilihat lama-lama Levi memang cakep plus ada manis-manisnya. Mungkin efek lesung pipit di kedua pipi Levi yang kadang bikin salah fokus. Cowok dengan lesung pipit memang tak bisa ditolak pesonanya. Tapi Mandala lebih keren kemana-mana! Pikir Vinay yang kembali menyeruput makanannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN