Chapter 7

1327 Kata
Vinay menolehkan kepalanya, menatap Levi yang sedang mengantri membeli mie dari kejauhan sekadar untuk memastikan ucapan Inka. Benar juga, kalau dilihat lama-lama Levi memang cakep plus ada manis-manisnya. Mungkin efek lesung pipit di kedua pipi Levi yang kadang bikin salah fokus. Cowok dengan lesung pipit memang tak bisa ditolak pesonanya. Tapi Mandala lebih keren kemana-mana! Pikir Vinay yang kembali menyeruput makanannya. “Benerkan? Bener!?” desak Inka yang mau tak mau membuat Vinay menganggukkan kepalanya. Inka tersenyum puas, cewek itu lalu menoleh kearah Levi dengan senyum malu-malu dan melihat kearah Vinay lagi. “Vin, kayaknya aku suka sama Levi deh. Kamu maukan bantuin aku?” tanya Inka penuh harap keapada Vinay yang kini menghentikan kunyahannya.             Vinay lalu tersenyum senang, “Kalau gitu kamu aja yang duduk sama dia. Biar aku duduk sama Naya!” ujar Vinay penuh semangat.             Inka terdiam, cewek itu terlihat tengah memikirkan ucapan Vinay. “Enggah deh, rasanya aku belum siap kalau tiba-tiba duduk sama Levi. Lagian nanti bakalan kelihatan banget kalau aku suka sama dia,” terang Inka yang membuat Vinay merengut kesal.             Gagal sudah rencananya untuk rolling tempat duduk. “Yaudah, kalau gitu aku nggak bisa bantuin kamu. Cara satu-satunya buat bantuin kamu adalah kita rolling tempat duduk,” kata Vinay yang setengah mendesak agar Inka mau bertukar tempat duduk.             “Ih! Kok gitu sih!” Inka berucap tak terima. Ia hendak berucap lagi, namun urung saat melihat Levi, Firman, dan Dika berjalan kearah mereka. Dalam hati Inka begitu berharap jika Levi akan duduk di sampingnya. Namun, ia harus menelan kekecewaan saat Levi dengan sikap santainya duduk di samping Vinay yang sudah menyelesaikan makanannya.             “Cepet banget makannya marmut,” komentar Levi pada Vinay yang tengah menyeruput es jeruknya.             “Diem curut,” balas Vinay yang membuat ketiga orang disana, kecuali Levi terdiam beberapa saat. Dalam pandangan Dika, Firman, dan bahkan Inka, Vinay adalah gadis yang hampir tidak pernah berkata kasar. Atau mungkin selama ini tidak pernah ada yang berbicara kasar dengannya. Vinay adalah gadis yang diam jika tidak ada yang perlu dibicarakan, ia lebih sering menjadi pendengar dan baru membuka mulut saat membahas yang memang benar-benar Vinay ketahui. Cewek itu juga selalu terlihat sibuk dengan aktivitas osis, dan ekstra kulikuler-nya. Dan mendengar Vinay berkata curut kepada seorang cowok yang mengaku baru kenal dengannya adalah hal yang cukup—aneh.             “Lihat tuh, punya Inka aja masih banyak, punya kamu udah ludes aja. Cewek tuh kalau makan harus pelan-pelan,” tutur Levi sok menggurui.             Vinay memutar bola matanya kesal, ia begitu menahan diri agar tidak menjawab ucapan Levi dengan kata-k********r yang sudah berada di ujung lidahnya. Memang kenapa kalau ia makannya cepat, Mandala bahkan sangat senang saat melihat dirinya makan dengan cepat. Terlihat lahap, dan hal itu membuat Mandala begitu senang mengajak Vinay melalukan wisata kuliner. Lalu akan marah-marah tidak jelas jika Vinay menolak ajakan Mandala dengan alasan takut gemuk.             “Makanan itu harus dikunyah antara lima sampai sepuluh kali, jangan asal telen aja!” kata Levi menambahkan.             “Caraku makan, bukan urusan kamu!”             “Urusanku lah!” “Kenapa?!” “Kalo kamu makannya cepet, aku jadi nggak bisa makan bareng kamu!” jawab Levi dengan cepat. Ketiga orang disana menatap cowok itu dengan aneh. Seolah-olah Levi adalah alien yang baru saja mendaratkan bokongnya di bumi. “Sinting,” gumam Vinay dengan wajah ilfil bukan main. “Cuma bercanda,” Levi mengangkat kedua bahunya, tak lupa menampilkan cengiran manis andalannya. Vinay mengalihkan pandangannya, ia kini menatap sahabtnya Inka. “Ka, barusan aku membuang dua menit berhargaku dengan hal yang nggak berfaedah ya?” tanya Vinay mencari pembelaan dari sahabatnya. Dan dibalas dengan anggukan kecil antara setuju namun juga gugup karena Levi turut menatapnya. “Oke! Berarti bisa diambil kesimpulan kalau kehidupan sekolahku bakalan jadi unfedah kalau tetep duduk sama Levi. Berhubung kamu sahabatku yang paaaliiing baiiik, kamu mau nggak tukeran tempat duduk sama aku?” tanya Vinay yang membuat Inka kini membelalakkan matanya karena terkejut.  Inka kini menatap Levi, menunggu cowok itu berujar entah apapun itu. Tapi, Levi kini bahkan dengan santainya melahat mie yang sudah ia pesan. Seolah benar-benar tidak keberatan dengan siapa saja ia duduk. “Emang, Levi mau?” gumam Inka masih menatap kearah Levi. Vinay menyenggol lengan Levi dengan keras, “kamu pasti nggak keberatan kan?” tanyanya memastikan. “Oke-oke aja,” jawabnya enteng. Vinay tersenyum lebar dan entah mengapa membuat Levi langsung tersedak makanannya. Vinay menatap Inka dengan menaik turunkan alisnya. Ia benar-benar tidak peduli pada Levi yang kini terbatuk dengan teman-temannya ayng sibuk menyodorkan air kearah cowok itu. “Jadi, mau tukeran?” tanya Vinay sekali lagi. Inka tak kunjung menjawab, cewek itu terlihat tidak fokus antara mendengarkan ucapan Vinay dan juga menatap khawatir pada Levi yang masih tersedak. Vinay lalu kembali menoleh kearah Levi, cewek itu lalu memukul punggung bagian atas Levi dengan keras. Dan seketika itu juga Levi berhenti batuk hebat, digantikan batuk-batuk kecil tanda sudah mereda. “Minum dulu Lev,” Inka menyodorkan minumannya kearah Levi. Cowok itu langsung menggeleng dan meneguk minumannya sendiri. Dalam hati Inka merutuki kebodohannya. Tentu saja Levi akan minum minumannya sendiri, cowok itu kan sudah beli tadi. “Udah?” Vinay menyangga kepalanya dan menatap bosan kearah Levi dan Inka. Ayolah! Sekarang ia sedang membicarakan hal serius tentang tempat duduk! “Kasih waktu buat napas,” pinta Levi sebelum kembali meneguk minumannya. Cowok itu menghela napas berat, lalu menatap kearah Vinay dan Inka bergantian. “Berhubung aku cowok bijaksana yang selalu berlaku adil. Gini aja, seminggu ini aku duduk sama Vinay, lalu minggu depan duduk sama Inka. Adilkan? Jadi kalian nggak perlu rebutan,” Levi berujar dengan senyum manis sok cakepnya. “Najis!” jawab Vinay cepat. “Mending tadi aku biarin kamu keselek sampai mampus!” sesal Vinay dengan sebal. “Vin, udah bayar mie belom?” tanya Levi tiba-tiba.             “Belom,” Vinay menjawab sembari merogoh saku bajunya guna mengeluarkan uang untuk membayar makannya. Hal yang sama dilakukan oleh Levi.             “Nitip!” ucap Levi cepat semabari meletakkan uang di tangan Vinay.             “Ih!” sebal tidak terima.             “Nitip doang yaelah, kan samaan pesannya,”  tutur Levi. Vinay berdiri sembari berdecak kesal. Terlihat dengan jelas kalau cewek itu terlihat tidak ikhlas membantu Levi. Levi tersenyum geli lalu memandang Inka yang terperanjat. “Si marmut dari dulu emang gitu ya?” tanyanya.             “Gitu gimana?” Inka balik bertanya.             “Sumbunya pendek, suka marah-marah, dan kasar,” terang Levi.             “Enggak kali, Vinay itu cewek lembut, baik, dan sopan!” bukan Inka yang menjawab, melainkan Dika.             “Apanya yang lembut? Menurutku Vinay lumayan tomboy, diakan sempat gabung sama tim basket,” Firman menimpali. “Eh, tapi waktu kelas satu dia bisa dibilang lembut sih. Dulu kan Vinay sama sekali nggak bisa basket ya? Inget nggak?” tanya Firman pada Dika dan Inka.             Dika mengangguk setuju, “Dulu Vinay juga pendiem banget kan, sekarang dia jadi lumayan populer sejak masuk OSIS dan jadi anggota aktif pemain basket. Dia juga jadi pengurus kelas—”             “Bisa nggak kalian berhenti ngomongin Vinay saat ada temennya disini?” potong Inka yang menatap tajam kearah Firman dan Dika. Sesekali Inka juga melihat kearah Vinay yang mengantri untuk membayar makanannya. “Dan jangan pernah ngungkit kepribadian Vinay pas kelas satu dan dua, please,” pinta Inka.             “Kenapa?” Levi berucap. Sedari tadi ia mendengarkan dengan seksama semua ucapan teman-temannya. Ada semacam rasa ingin tahu dalam dirinya. Tentang Vinay Flinn Dirgantara yang menamai dirinya dengan Vinay Zeonard. Saat Levi menanyakan mengapa cewek itu berbohong tentang namanya. Vinay si marmut dengan menyebalkan menjawab, kepo!             “Karena semakin dalam kita mencari tau, dia juga akan tenggelam semakin dalam,” ucap Inka tanpa suara. Namun, Levi bisa mengetahui apa yang cewek itu ucapkan melalui gerak bibirnya.             “Serius amat, lagi ngomongin apa?” tanya Vinay yang datang dan kini duduk di samping Levi. Tak ada yang menjawab, mungkin sebagian dari mereka masih menerka-nerka segala hal tentang Vinay.             “Mana kembalianku?” Levi memecah keheningan aneh yang meliputi mereka. Ia menodongkan tangannya guna meminta uang kembalian dari Vinay yang kini tengah asik menyeruput jus melon yang nampak begitu segar.             Vinay dengan cepat menghabiskan minumannya, lalu meletakkan gelas plastik yang sudah habis isinya itu di tangan Levi. “Itu kembaliannya, makasih ya…” balas Vinay dengan senyum manis yang terlihat begitu menyebalkan. “Inka, ayo balik ke kelas,” Vinay berdiri dari duduknya. Cewek itu berjalan dengan cepat diikuti Inka. Meninggalkan Levi yang menatap gelas plastik kosong di tangan kanannya. Dasar marmut!  Cowok itu menekankan dalam hati kalau untuk kedepannya ia tidak boleh menitipkan uang seperpun kepada Vinay. Dan entah ada yang menyadari atau tidak, mereka melupakan rencana tentang pergantian tempat duduk.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN