Muridku Maduku - Bab Empat

1550 Kata
Elin mencoba menepiskan rasa kecewanya setelah satu minggu yang lalu ia gagal melakukan program Bayi Tabung dengan suaminya. “Kecewa? Itu sudah pasti. Bukan hanya aku yang kecewa, tapi yang lebih kecewa mungkin suamiku dan kedua orang tuanya. Mereka yang sudah sangat berharap aku bisa memiliki anak, tapi nyatanya Allah berkehendak lain. Aku bisa apa? Hanya bisa berusaha dan terus berusaha juga berdoa. Inilah deritaku, menjadi wanita dan seorang istri yang belum bisa memberikan kebahagiaan untuk suami. Apa aku harus membagi suamiku? Tidak, itu tidak mungkin, dan Mas Rendra tidak akan mau kalaupun aku mengingininkannya,” gumam Elin. Elin duduk di depan meja kerjanya. Sudah tiga hari ini dia kembali mengajar di sekolahannya lagi. Padahal Rendra masih belum memperbolehkan Elin untuk kembali mengajar, dia tahu kalau istrinya masih belum stabil dengan emosinya. Elin tidak bisa meninggalkan tanggung jawabnya, karena dia adalah guru pengajar kelas tiga, yang sebentar lagi akan melakukan Ujian Nasional. Jadi, dia berperan aktif dalam proses belajar mengajar di sekolahannya. Elin kembali ke kelas, setelah selesai pergantian jam pelajaran. Elin langsung mendekati murid kesayangannya yang sudah dua hari tidak menikuti pelajaran tambahan setelah pulang sekolah. Padahal biasanya muridnya itu selalu semangat untuk ikut jam tambahan pelajaran setelah pulang sekolah. Itu semua karena muridnya itu adalah murid yang paling pandai dan selalu mendapat peringkat tertinggi di kelasnya. “Ria, nanti setelah jam pelajaran ibu selesai, temui ibu di kantor.” Elin mendekati muridnya yang sedang sibuk dengan buku tugas yang akan ia kumpulkan. “Ibu memanggil saya ke kantor ada apa? Apa Ria ada salah, atau nilai Ria turun? Selama ini saya kan selalu dapat nilai baik, Bu,” protes Ria. “Sudah nanti kamu temui ibu di kantor, setelah jam pelajaran ibu selesai,” jawab Elin. Elin tidak tahu, kenapa muridnya itu sekarang beda. Ria selalu saja menghilang saat pulang sekolah, biasanya Ria selalu pulang paling akhir. Sebelum pulang dia lebih suka ke perpustakaan lebih dulu untuk mengerjakan tugas atau hanya sekadar membaca buku saja. Namun, Elin tidak melihat perubahan pada murid kesayangannya itu, Ria tetap menjadi murid yang berprestasi dan semangat belajarnya juga masih sangat tinggi. Hanya saja, Elin sedikit melihat Ria jarang ikut jam tambahan setelah pulang sekolah, hanya jam tambahan pagi yang Ria ikuti, dan itu pun terkadang Ria terlambat untuk mengikutinya. Seusai jam pelajaran selesai, Ria langsung ikut Elin ke ruangannya. Ria tahu, dirinya pasti akan ditegur soal dua hari ini dia tidak ikut jam pelajaran tambahan, karena dia baru saja diterima kerja di salah satu butik yang dekat dengan rumahnya, dan bisa berangkat setelah pulang sekolah dan pulang malam. Ria melakukan itu, karena dia ingin setelah lulus, bisa melanjutkan sekolahnya lagi, meski harus sambil bekerja, dia tetap ingin bisa kuliah. Apalagi sekolahannya sekarang ini sekolah yang mahal, beruntung selama tiga tahun dirinya selalu dapat beasiswa, jadi hanya biaya lain saja yang ia keluarkan untuk membayar sekolah. “Duduk, Ria.” Elin mempersilakan Ria untuk duduk di depannya. Ria menundukkan kepalanya. Dia tahu, kalau gurunya itu tidak suka siswanya membolos jam tambahan pelajaran setelah pulang sekolah, apalagi dirinya sudah dua hari dalam minggu ini tidak ikut jam pelajaran tambahan. “Kamu tahu kenapa ibu sampai memanggil kamu ke sini?” tanya Elin, dan hanya di jawab dengan anggukkan kepala Ria saja. “Kamu sudah tahu?” tanya Elin lagi. “Iya, Bu. Ibu memanggil saya karena saya tidak ikut jam tambahan pelajaran, kan?” jawab Ria. “Iya, kenapa kamu seperti ini, Ria? Kamu tidak biasanya seperti ini, kamu siswa yang selalu rajin, selalu semangat kalau ada jam tambahan pelajaran, lalu kenapa kamu tidak pernah ikut? Bukan hanya di dalam minggu ini saja. Ibu lihat absensi kamu minggu lalu saat ibu tidak mengajar, karena ibu di luar negeri. Kamu banyak sekali bolos tidak ikut jam tambahan pelajaran,” ucap Elin. “Tapi, absensi Ria setiap hari kan bagus, Bu. Ria tidak pernah bolos, Ria selalu mendapat nilai yang baik, hanya tidak mengikuti jam tambahan apa itu salah, Bu?” protes Ria. “Kamu tahu, kan? Kelas tiga wajib mengikuti jam pelajaran tambahan, enggak itu pagi sebelum kegiatan belajar mengajar aktif, atau setelah kegiatan belajar mengajar selesai, tepatnya pulang sekolah. Apa surat edaran itu kamu rasa untuk main-main? Mungkin guru mata pelajaran yang lain tidak peduli dengan kamu, tapi ibu wali kelas kamu di sini,” tutur Elin. “Iya, Bu maaf, tapi memang Ria tidak bisa mengikuti jam tambahan setelah pulang sekolah,” jawabnya dengan menunduk. “Kenapa, Ria? Apa alasannya? Itu wajib, kenapa kamu tidak bisa?” tanya Elin. “Sekarang pulang sekolah, Ria bekerja, Bu. Saya kerja di butik, bantu-bantu saja, lumayan jadi pelayan. Sepulang sekolah sampai jam delapan malam, Bu,” jelas Ria. Elin menggelengkan kepalanya tidak percaya. Bisa-bisanya muridnya itu malah bekerja sepulang sekolah, padahal tinggal hitungan bulan akan melaksanakan Ujian Nasional. Tapi, bukannya mementingkan sekolahnya, muridnya itu malah mementingkan bekerja. “Kamu bekerja? Ini kamu yang benar dong kalau bicara, Ria ... kamu itu mau Ujian Sekolah, setelah itu Ujian Nasional, kamu malah mementingkan kerja? Kamu sekolah di sini dapat beasiswa, Ria. Kamu bebas biaya di sini,” ujar Elin. “Iya, Ria tahu, Ria sekolah di sini dapat beasiswa, dan harus mempertahankan prestasi Ria. Ria sudah bisa itu semua kan, Bu? Selama tiga tahun prestasi Ria di sini masih selalu nomor satu, tapi apa biaya untuk mengambil ijazah dan lain-lain ikut dengan biaya Ria yang tiga tahun di sini? Enggak, kan, Bu? Ria tahu biaya itu banyak, makananya Ria bekerja, dan untuk tambahan nanti untuk kuliah juga,” jelas Ria. “Oke, ibu paham itu. Ibu tidak mau tahu, hari ini kamu jangan bolos lagi, ikut jam pelajaran tambahan. Harus! Ibu tidak mau ada alasan lagi dari kamu, titik!” tegas Elin. “Bu, bagaimana dengan pekerjaan Ria?” ucap Ria. “Kamu seorang pelajar, kewajiban kamu belajar, bukan bekerja, Ria! Kamu jangan khawatir, biaya setelah kelulusan, ibu yang menanggung, ibu mau kamu perbaiki absensimu untuk jam pelajaran tambahan pagi dan setelah pulang sekolah. Ibu tidak mau tahu itu, terserah kamu mau gimana dengan bos kamu. Memang tidak bisa mengikuti jam pelajaran tambahan Cuma satu jam? Izin satu jam boleh, kan? toh kamu pulang kerja juga sampai malam,” tutur Elin. “Ria usahakan nanti bilang dengan atasan Ria di butik, Bu,” ucap Ria. “Ya sudah, kembali ke kelas, ibu mau, nanti ibu lihat kamu di kelas saat jam tambahan pelajaran!” tegas Elin lagi. “Iya, Bu,” jawabnya dengan menunduk, dan kembali pamit ke dalam kelasnya. Beberapa bulan Elin meninggalkan sekolah, tidak mengajar dan menitipkan tugasnya sebagai wali kelas pada guru yang lain, malah dirinya dibuat terkejut dengan muridnya tadi. Murid yang biasanya semangat untuk jam tambahan pelajaran, sekarang malah menyepelekan dan mementingkan bekerja. Dia pun pernah menjadi murid berprestasi di sekolahan ini, tapi memang dirinya orang yang punya, jadi dia fokus dengan sekolah. Mungkin Ria, muridnya itu juga terpaksa bekerja setelah pulang sekolah, karena memang keadaan ekonomi orang tuanya tidak mencukupi untuk nanti setelah dia lulus dan harus mengambil ijazah dan uang iuran lainnya. “Mandiri, sih? Tapi, enggak seperti itu juga. Kamu harus lulus dulu baru bekerja, Ria,” ucap Elin dengan lirih. “Kenapa, Sayang? Sepertinya kamu lesu sekali?” ucap seorang laki-laki di ambang pintu kantor Elin. “Mas? Dari kapan kamu di situ?” Elin terkejut suaminya datang menghampirinya. “Sejak kamu ngobrol dengan murid kamu? Ada masalah dengan murid kamu?” jawab Rendra. “Ya seperti itu, mas ada apa ke sini?” tanya Elin. “Nanti kan ada rapat di sini? Ayah tidak bisa hadir, jadi aku yang menggantikan ayah,” jawab Rendra. “Oh iya, aku lupa, hari ini ada rapat dengan pemilik yayasan,” ucap Elin. “Kamu sudah makan?” tanya Rendra, dan hanya di jawab gelengan kepala oleh Elin. “Kenapa belum makan? Kamu tahu ini sudah mau jam satu siang, dan sebentar lagi kamu mengajar jam tambahan, kan? Ayo ke kantin guru, aku mau kamu makan dulu sebelum lanjut mengajar,” ajak Rendra. “Nanti aku makan, Mas,” jawab Elin. “Kamu kalau tidak dipaksa, pasti tidak mau makan? Kenapa, masih mikir yang kemarin, atau mikir murid kamu tadi yang bolos jam tambahan pelajaran?” ujar Rendra. “Ya, mikir itu juga sih, kasihan dia mas, dia harus kerja sepulang sekolah, padahal sebentar lagi dia mau ujian, kan harus tuh mempersiapkan, apalagi dia itu mendapat beasiswa di sini, kan harus mempertahankan prestasinya? Sekarang malah mementingkan kerja, katanya untuk tambahan biaya nanti setelah lulus ujian, buat ambil ijazah dan biaya lainnya. Aku tidak tahu, orang tuanya itu kok tega, ya? Bagus sih, sekolah sambil kerja, tapi kan tidak gitu juga, Mas,” jelas Elin. “Kamu itu selalu saja peduli gini? Yang penting murid kamu itu masih bisa mempertahankan prestasinya, kan?” ujar Rendra. “Iya, sih, tapi kan?” “Tapi apa? Sudah, itu kan urusan pribadi murid kamu, mau bekerja atau gimana? Sudah jangan dipikirkan itu, ayo makan, kamu jangan sampai sakit karena sering telat makan,” ajak Rendra. Selalu seperti itu, tidak pernah berubah menurut Rendra. Ya, istrinya selalu saja tidak pernah berubah. Elin selalu saja peduli dengan muridnya yang berprestasi. Elin tidak ingin muridnya itu memikirkan selain pendidikan, padahal setiap pemikiran murid Elin kan berbeda-beda menurut Rendra, tapi Rendra merasa Elin sangat menyayangi muridnya itu, dibandingkan murid lainnya yang juga memiliki prestasi yang sama dengan murid kesayangannya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN