Setelah menenangkan hati Elin, semua berkumpul di meja makan untuk makan malam. Makan malam yang sudah sedikit terlampau malam, karena tadi masih shocked dengan hasil program bayi tabung yang Rendra dan Elin jalani. Mereka berkumpul di ruang makan, dan tidak lagi membahas soal kegagalan program yang Rendra dan Elin jalani.
Seusai makan malam bersama di kediaman Rendra, baik orang tua Elin dan orang tua Rendra pamit untuk pulang. Elin masuk ke dalam kamarnya. Dia masih diam diliputi kesedihan yang mendalam. Elin merasa hidupnya sudah tidak berguna lagi sebagai perempuan, dia gagal lagi untuk memberikan kebahagiaan di dalam keluarga suaminya.
“Mas, aku belum bisa menjadi wanita yang sempurna,” ucap Elin dengan lirih.
“Lin, jangan berkata seperti itu. Kamu wanita yang paling sempurna dalam hidupku, jangan sedih lagi, ini adalah ujian kita, kita pasti bisa mengarungi semua ini, dengan penuh keikhlasan,” tutur Rendra.
“Andaikan dulu aku menuruti kamu, agar tidak membawa mobil sendiri waktu ada pelatihan dari sekolahan, mungkin tidak akan seperti ini kejadiaanya, Mas. Mungkin aku bisa hamil,” ucap Elin yang mengingat kecelakaan beberapa tahun yang lalu, setelah dua minggu dia menikah dengan Rendra.
“Jangan mengingat itu lagi, Sayang. Allah memberi cobaan pada kita, itu supaya kita lebih dekat lagi sama Allah. Aku sangat yakin, kamu bisa hamil, yakin sekali, meski itu nanti. Kamu lihat, banyak sekali orang yang menanti buah hati seperti kita, bahkan hingga berpuluh-puluh tahun mereka menanti, tapi mereka tidak menyerah, mereka terus bersabar, dan sebab kesabaran itu, hasilnnya juga manis, mereka bisa memiliki buah hati. Kita lebih sabar lagi, Sayang. Allah tidak tidur, Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar, jangan bersedih lagi.” Rendra berusaha membuat hati dan pikiran Elin tenang.
Rendra memeluk istrinya, sebenrnya ia pun sudah ingin sekali istrinya hamil, apalagi ibunya selalu mendesaknya agar cepat-cepat memiliki keturunan, karena umurnya sudah tidak muda lagi, baik Rendra maupun Elin.
Pernikahan mereka sudah hampir sepuluh tahun. Tahun depan adalah sepuluh tahun pernikahan mereka. Elin memang menikah muda, di usianya yang ke dua puluh tahun dia menikah dengan Rendra, dia masih kuliah sambil mengajar di sekolahan Taman Kanak-Kanak milik orang tua Rendra, dan setelah menyandang gelar sarjana pendidikan, dia mengajar di sekolahan SMA yang tak lain adalah sekolahannya dia dulu saat dia SMA.
Elin memang tergolong siswa yang pandai, dia pertama kali bertemu Rendra, saat ada pertemuan para pengusaha. Orang tua mereka salin mengenal, apalagi orang tua Elin lah yang dulu membantu orang tua Rendra saat tertimpa masalah dengan perusahaannya.
Tidak menyangka, setelah pertemuan itu, mereka di pertemukan kembali saat Elin mendapat beasiswa di sekolahannya. Dan, Rendra lah yang memberikan pengahargaan dan beasiswa untuk Elin saat itu, karena ayahnya tidak bisa hadir dalam acara tersebut. Sejak pertama bertemu Elin, dia sudah yakin, kalau Elin lah wanita yang akan ia pilih untuk menjadi pendamping hidupnya.
Meski orang tua mereka saling mengenal, Rendra sama sekali tidak meminta bantuan pada orang tuanya untuk lebih dekat dengan Elin. Rendra mendekati Elin sendiri, dia setiap hari rela ke sekolahan milik orang tuanya itu, dengan berbagai macam alasan, hanya karena ingin menemui Elin. Elin pun tidak menyangka, Rendra memiliki perasaan pada dirinya saat itu.
Dia yang masih polos, dan sangat awam dengan yang namanya pacaran, dia selalu cuek saat di sapa Rendra, bahkan saat Rendra mengajak dirinya makan di restorannya bersama teman-teman sekelasnya, dia tidak mempermasalahkannya. Yang Elin tahu, tujuan Rendra mentraktirnya saat itu, karena Elin mendapat nilai ujian tertinggi di sekolahannya, jadi Elin hanya menganggap Rendra kagum dengan prestasi yang ia miliki.
Setelah lulus SMA, Rendra masih menemui Elin di kampusnya, dia semakin ingin mendekati Elin. Rendra juga menyuruh Elin kuliah sambil mengajar di sekolahannya, karena Elin bilang padanya, kalau dia ingin magang di sekolahan swasta yang sedang kekurangan tenaga pengajar. Rendra menawarkan Elin mengajar di sekolahan Taman Kanak-Kanak milik orang tuanya yang letaknya tidak jauh dari sekolahan Elin dulu saat SMA. Orang tua Rendra memang memilik sekolahan, dari Sekolahan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Dari situlah, mereka semakin akrab, hingga Rendra berani melamar Elin saat Elin kuliah semester dua.
Rendra tidak ingin cepat-cepat menikahi Elin, karena Rendra berpikir, masa depan Elin masih panjang, dan dia akan menunggu Elin hingga cita-cita Elin terwujud. Namun, tidak menyangka, orang tua mereka mendesaknya agar cepat-cepat menikah dengannya.
Saat kuliah semester empat, Elin sudah menyandang status baru, yaitu seorang isrti dari Rendra Reffy Prayoga. Betapa bahagianya dia memiliki suami setampan dan sebaik Rendra, apalagi orang tua Rendra juga sangat menyayanginya.
Baik orang tua Rendran maupun Elin, sebenarnya sudah adda niatan untuk menjodohkan mereka. Namun, tidak di sangka, Rendra bergerak lebih cepat dari orang tuanya. Dia mendekati Elin sebelum orang tuanya bicara soal keinginannya untuk menjodohkan dirinya dengan Elin, putri dari sahabat ayahnya.
Elin dari tadi melamun, dia mengingat awal pertama bertemu dengan suaminya. Mengenang hal itu membuat hati Elin sedikit lega, apalagi saat mengingat tutur kata suaminya yang selalu lembut dan romantis pada dirinya.
“Lin, kok melamun?” Rendra menepuk pundak istrinya yang membuat Elin sedikit terjingkat.
“Enggak melamun, Mas,” jawab Elin.
“Lalu?” tanya Rendra.
“Aku Cuma mengingat saat pertama kita bertemu,” jawab Elin.
Rendra membenarkan posisi Elin agar menghadapnya. Dia membingkai wajah Elin yang sangat manis dan mengecup bibirnya.
“Kamu tahu, kenapa aku dulu sering ke sekolahan, saat setelah menggantikan ayah untuk penyerahan beasiswa padamu?” tanya Elin.
“Ehm... mungkin untuk mendekatiku,” jawab Elin dengan mengurai senyumananya.
“Gitu dong senyum, bidadari cantik itu harus tersenyum, jangan bersedih,” ucap Rendra.
“Dulu, aku sering ke sekolahan, karena aku ingin mengawasi calon permaisuriku,” jelas Rendra.
“Permaisuri?” tanya Elin.
“Ehem... dan kamu yang selalu ingin aku awasi, Sayang, karena aku ingin kamu menjadi permaisuriku, di kerajaan hatiku, dan di dalam rumah ini,” ucap Rendra dengan menarik pipi Elin.
“Sakit...,” ucap Elin dengan manja.
“Bagiku, sakit itu, kalau lihat kamu menangis, Sayang. Jangan nangis lagi, ya? Jangan berpikiran yang tidak-tidak, lupakan masalah program yang gagal. Jalan kita masih panjang, jangan dengarkan omongan orang, karena kita yang menjalani lika-liku kehidupan kita, kita yang merasakan, bukan mereka. Kamu yang tenang, yang sabar, jangan pernah merasa takut, karena Allah selalu bersama kita. Dan, ada suamimu yang tampan ini,” ucap Rendra dengan memeluk istrinya.
“Aku sudah tidak sedih lagi, karena memiliki Mas Rendra yang sangat tampan,” ucap Elin dengan mendongakan wajahnya menatap suaminya.
“Love you,” ucap Rendra dengan mengecup bibir Elin.
“Love you too, Hubby,” balas Elin.
Rendra adalah obat kesedihan Elin, laki-laki pertama yang Elin kenal, yang mampu membuat Elin terkesima dan jatuh cinta. Laki-laki yang mau bersabar dengan sifat kekanak-kanakannya, dan masih banyak lagi, yang Rendra berikan untuk Elin, untuk membuat dirinya bahagia berada di sisi Rendra hingga menjelang sepuluh tahun pernikahannya.