"Kamu harus dihukum!"
Kata-kata Pak Messach tadi terngiang -ngiang di telingaku.
Dihukum? Benarkah aku harus dihukum?
Ck! Aku menggerutu dalam hati.
Setengah jam yang lalu aku telah melakukan tindakan " tak terpuji " dengan menendang area sensitifnya. Yah, kuakui aku salah, tapi apa yang kulakukan ini juga ada alasannya. Anggap saja aku berusaha melindungi diri ku sendiri walau pada akhirnya berujung kesalahpahaman.
Kini aku berada di ruang kantor Pak Messach dengan status sebagai ' tahanan" yang sedang menjalani 'hukuman' yang tak pernah terbayangkan oleh ku. Boro-boro sejam, semenit dua menit berada dekat Pak Boss saja sudah bikin ' sesak napas ' rasanya stok oksigen cepat menipis. Gimana ga? Pak Boss selalu menampilkan wajah galak, jika tersenyum itu juga bentuknya tipis. Pokoknya jangan sekali-kali bikin kesalahan, pasti bakal kena semprotan lahar panas dari mulutnya.
Aku ngedumel dalam hati sembari merapikan dokumen dan memasukkan ke dalam map warna-warni sesuai dengan tulisan yang tertera di atas map tersebut lalu menulis ulang jadwal pertemuan Pak Boss dengan rekan bisnisnya di buku agenda. Tugas yang diberikan Pak Messach ini hanya melanjutkan pekerjaan Dewi, Si sekretaris yang keteteran karena wanita itu ijin pulang cepat, katanya Pak Boss ada keluarga dekatnya Dewi yang meninggal.
Memang kerjaannya ringan tetapi karena ini dilakukan dengan terpaksa jadinya seperti ada beban batu besar di pundak. Aish! Mana lapar lagi. Pak Messach benar- benar killer, apa dia tidak mikir kalau perut juga perlu diisi setelah tenaga dan pikiran telah terkuras habis.
Sudut mataku melirik pria berbalut rompi jas warna biru tua itu. Pak Messach terlihat sangat asyik memeriksa dokumen dan menandatanganinya. Kalau menunggu dia selesai kapan pulangnya? Segala tugas yang diberikannya sudah kukerjakan dengan baik. Masa aku harus menunggu dia selesai sih? Mending aku pamit duluan deh, jam tangan di pergelangan tanganku juga sudah menunjukkan pukul 19.05.
Dengan perlahan aku bangkit dari kursi empuk setelah meraih tas Slempangku dan mengalungkannya ke pundak kiri.
Tiba-tiba...
Kruuuuk... Astaga ini perut kencang banget bunyinya!
Pak Messach menoleh ke arahku, mengernyitkan dahinya. Aku mengulum bibir. Ketahuan deh aku kelaparan.
"Kamu belum makan?" tanyanya meletakkan pulpen tintanya di atas meja.
Pake nanya lagi?
Aku sebal tapi aku tetap tersenyum, tipis.
"Yah, sudah! Bentar lagi selesai, kamu bisa tahan' kan?" tanyanya tanpa perasaan.
Tahan? Maksudnya aku musti merengek kayak anak kecil gitu??
Aku malas menjawab, kuperihatkan wajah jutekku biar dia tahu aku lagi kesal!
Pria dengan pupil mata warna coklat itu malah menahan tawa, terlihat dari matanya yang menyipit, jemarinya sebagian menutup mulut dan d**a yang bergetar.
Wow?! Bisa tertawa dia! Tapi di situasi yang tidak tepat! Terus apanya yang lucu? Nyebelin!
Aku baru saja mau membuka mulut tapi terkatup lagi gara- gara Si Pak Boss nyeletuk.
"Oke, kita makan malam bareng." Wajahnya serius. Ini ajakan atau perintah?
Makan malam bareng? Aku tidak salah dengar kan?
"Hukumanmu belum usai, temani aku makan malam!" tandasnya, terkesan angkuh.
Aku ingin protes tapi apalah daya aku hanya seorang pegawai.
"Liana, jangan bersungut gitu! aku tidak akan memakanmu. Kita bisa bahas event pameran sambil dinner kan?" tawar Pak Messach, sepertinya pria ini tidak suka ditolak.
Terpaksa aku mengangguk. Jujur jika aku belum punya pacar nih, pasti aku kesenangan di ajak makan malam sama Boss lajang dan tampan ini. Tapi kan status ku sudah beda. Apa jadinya jika Tio melihat kami satu meja makan berdua? Dia pasti berpikir macam-macam.
Lagi pula, aku sudah capek banget. Aku mau pulang dan tidur. Kenapa harus bahas kerjaan lagi? Apa ga ada capeknya nih Si Boss?
Pak Messach kembali kepada kesibukannya, pria ini merapikan dokumennya, menaruhnya di satu map besar, dan menyimpannya di laci lalu menguncinya. Aku perhatikan dia orangnya teliti dan rapi kerjanya.
Pria yang punya rahang tegas itu kemudian mengambil jas yang digantung dekat kursinya lalu menjinjingnya. Melihat dia sudah siap berangkat aku pun bersiap-siap juga, mengikuti langkahnya dari belakang.
Jalannya agak pincang, mungkin efek dari jatuh terpeleset tadi. Aku jadi merasa bersalah telah menendang area sensitifnya, jadi double sakitnya kan?
"Pak, hmm boleh kubawakan jasnya?" tanyaku pelan, menunjukkan simpatiku.
Dia berhenti lalu menoleh ke arahku.
"Gak papa? Bau keringat ini?" tanyanya ragu.
"Gak pa pa.Pak." Aku mengulas senyum.
Dia lalu menyerahkan jas nya untuk kubawa yang langsung ku raih dan kudekap di d**a.
Aku menghirup wangi parfum yang berasal dari baju jasnya, bukan bau keringat seperti yang dia bilang. Wanginya segar, aku suka.
Tak lama kemudian, kami sudah berada di mobil BMW- nya.
Sebelum mobil jalan, Pak Messach bertanya padaku, "Kamu suka apa? Mau makan dimana?"
Aku tidak langsung menjawab, berpikir sejenak. Biasanya jika Tio yang tanya, aku suka bilang terserah lalu Tio akan mengomeliku karena katanya kurang pendirian.
Arah pandangku ke depan, ke arah seorang yang sedang memarkirkan sepeda motornya, ada box bertuliskan PIZZA di dudukan belakang motornya.
"Liana??" Panggilan Pak Boss membuyarkan lamunanku.
"Pizza!" tercetus begitu saja kata itu dari mulutku.
"Pizza?" Kening Pak Messach berkerut, dia menoleh ke arahku yang duduk di sampingnya.
"Yess!" Jawabku mantap. Tak apalah sekali- kali makan makanan cepat saji.
"Okay!" Pak Messach pun menghidupkan mobilnya lalu melaju ke jalan raya.
Sepanjang perjalanan kami tidak banyak bicara, aku dan Pak Messach sibuk dengan pikiran masing-masing sambil mendengar musik yang di puta pr pada alat pemutar musik mobilnya. Aku terlalu tegang dan lelah untuk membuka suara bahkan aku tertidur dengan posisi kepala layu ke sebelah kiri
Sampai aku merasakan sentuhan lembut di bahuku membangunkanku dari mimpi.
"Liana, sudah sampai.. " ucap Pak Messach.
Mataku mengerjap memperhatikan sekitar, ternyata kami sudah ada di area parkiran khusus Mall CP.
"Kita ke Marzano aja. " ajaknya. Aku mengangguk sambil melepaskan sabuk pengaman lalu kami pun keluar dari mobil.
Aku melangkah sejajar dengan langkah kaki Pak Boss, berjarak setengah meter. Aku perhatikan lirikan para wanita yang lalu lalang di Mall tertuju pada kami. Pria yang di sampingku memang terlihat gagah dengan rompi jasnya. Tubuhnya yang atletis, tegap tinggi sekitar 180 lebih, belum lagi wajah tampan dingin menambah kharismanya. Tak heran banyak wanita yang curi pandang kagum.
Terus apa yang ada di pikiran.mereka tentang aku?
Aku jadi merasa tidak nyaman berjalan bersama Pak Boss, mendadak insecure dengan penampilanku. Apa aku awut-awutan yah? Reflek aku meraba pipiku, menyisir rambutku dengan jemari.dan mengelus tengkuk leherku. Tak lupa menarik- narik kemejaku, siapa tahu tidak rapi.
Ketika aku sibuk memperbaiki penampilanku, secara tiba-tiba jemariku sudah digenggam Pak Messach. Aku kaget langsung menoleh ke arahnya, mataku membola menatapnya.
Dia hanya tersenyum.
Aku coba melepaskan jemariku pelan dari genggamannya tapi dia malah menpererat tautan jari kami sembari mendekatkan kepalanya ke telingaku.
"Anggap saja ini lagi kencan. Kamu harus percaya diri, jangan salting begitu. " bisiknya.
Hah? Apa tadi dia memperhatikan tingkahku?
"Santai saja, Liana." katanya lagi. Perlakuannya membuatku jengah. Ini di tempat umum, aku risih jika tertangkap basah dengan orang yang aku kenal. Nanti dikira aku selingkuh?
Namun, tampaknya Pak Messach tidak peduli akan hal itu. Tautan jemari itu tak dilepasnya sampai kami tiba di restoran Pizza Marzano. Aku yang berjalan di sampingnya hanya pasrah saja, asalkan dia tidak melakukan lebih dari itu. Meluk pinggang ku misalnya.
Seorang pelayan restoran menghampiri kami tak lama kami menghenyakkan b****g di kursi .
Setelah memesan dua porsi pizza middle size, fruits salad, dan juice, aku ijin ke toilet dulu.
Aku berjalan dengan langkah lebar menuju toilet umum. Jangan sampai aku kelamaan ditunggu Pak Boss.
Sampai di sana untunglah sepi, aku pun masuk ke toilet meloloskan urine yang kutahan sejak tadi.
Setelah itu aku mencuci tangan di wastafel dan merapikan rambutku dan memoleskan lipstick ke bibir mungilku, berkaca di depan cermin.
Ku dengar suara ketukan sepatu High heels di lantai, saat ku toleh, ternyata seorang perempuan cantik dengan tubuh proposional melangkah masuk sambil menelpon.
Aku melirik sekilas, kagum dengan kecantikan wanita itu. Aku saja terpesona apalagi laki-laki ya? Dia lalu bercermin di kaca wastafel masih dengan ponsel yang menempel di kupingnya.
Aku yang sudah selesai dengan urusanku pun hendak meninggalkan toilet. Ekor mataku melirik si wanita tadi sembari berjalan keluar.
Si wanita meletakkan ponselnya di pinggiran wastafel dan menyalakan speaker. Rupanya dia mau menyisir rambut ikalnya yang berwarna maroon lalu memoleskan lispstik ke bibirnya yang tebal sensual.
Terdengar suara orang di seberang telpon.
"Sayang, kamu sudah sampai belum, aku udah di sini, mall Cp. "
Suara orang di seberang itu sangat familiar! Jantungku berdebar. Langkahku terhenti di depan pintu keluar toilet. Rasanya kakiku terpaku di lantai.
Tidak mungkin! Apa ini hanya kemiripan? Tapi.. Suara itu.. ??
"Iya, yang, aku udah di sini, bentar aku masih di toilet. Ku tunggu di restoran dekat lobby ya. " Jawab wanita itu lalu sambungan telpon pun terputus.
Aku mendengar suara derap sepatu high heelsnya mendekatiku yang masih berdiri terpaku diam di depan pintu keluar.
"Permisi yah." decaknya. Aku pun minggir memberi jalan baginya.
Kupandangi punggungnya yang semakin menjauh dariku.
Tio! Itu suara Tio! Ini pasti selingkuhan Tio, ikuti dia!" perintah otakku.
Seperti tersengat listrik, aku tersadar dari shock.
Segera ku ikuti wanita tadi dengan langkah buru-buru, berada di belakangnya, ku jaga jarak agar dia tidak tahu aku mengikutinya.
Ponselku tiba-tiba berdering, aku bingung antara mengangkat telpon atau mengawasi wanita tadi. Aku harus fokus tapi ponselku terus berdering.
Mau tak mau aku memasukkan tangan mencari ponselku di tas.. Setelah dapat ku lihat siapa yang melakukan panggilan. Aku terkejut melihat profil orang yang menelponku.
Tio?
Kepencet tombol hijau untuk menjawab panggilan.
"Hal.. Hallo.. " Agak gugup suaraku.
"Na, kamu ada di mana..?" suara di seberang.
"Aku di.. Eh, kamu masih di luar kota?" tanyaku sambil mataku terus mencari sosok wanita tersebut. Tak kelihatan lagi. Sepertinya aku sudah kehilangan jejaknya.
"Aku baru sampai di rumah. Kamu udah pulang yah?"
"Mmm.. Aku belum pulang." kuhela napas. Apa perlu ku kasih tahu aku sedang bersama Pak Messach?
"Kamu sendirian?" Aku bertanya karena aku mendengar suara-suara lain.
"Mmm.. Ga, ada sepupuku aku di rumah jadi rame. "
"Ooh.. Gitu.. "
"Kamu udah makan, Na? Jangan telat makan yah nanti aslammu naik loh."
"Iya... "
"Ya, udah aku mau mandi dulu. Nanti ku telpon lagi. "
Sambungan telpon pun terputus.
Aku masih dalam mode bingung. Suara yang kudengar tadi di toilet aku yakin itu suara Tio. Aku kenal suaranya, bahkan sampai desahan nafasnya pun aku kenal. Namun, Tio juga barusan kabari kalau dia barusan pulang dari luar kota, sedang berada di rumah apartemennya.
Aku tadi sudah yakin jika Tio ada di Mall ini juga dan sedang menunggu wanita itu. Kini aku jadi ragu sendiri.
Apa memang ada orang yang punya suara yang begitu mirip dengan Tio?
Ting!
Seketika mataku membulat sempurna. Dari jarak tiga meter aku melihat wanita bercelana celana baggy dan kemeja terkatung itu keluar dari toko. Rupanya tadi aku kehilangan jejaknya karena dia masuk ke toko kosmetik.
Sekali lagi untuk menuntaskan rasa penasaranku, ku ikuti kemana perginya dia. Aku harus pastikan dia menemui Tio atau bukan atau aku yang salah dengar efek dari rasa cape yang mendera.
Kring.. Kring.
Ck! Ini siapa sih yang nelpon lagi? Kalo diangkat aku bakal kehilangan jejak cewe itu lagi!
Ku abaikan saja! Ku percepat langkahku dengan tetap menjaga jarak dengannya.
Aku sibuk mengamati si wanita tadi sehingga tidak memperhatikan seorang gadis kecil berlari di depanku.
"Uupps!" Aku hampir menjatuhkan gadis kecil berkuncir kuda itu andai tanganku tidak reflek meraih tangannya. Alhasil es krim yang dipegangnya itu jatuh dan tumpah mengenai kemeja dan rokku.
"Aah es krimku!" jerit gadis kecil itu, raut wajahnya sedih dan wajahku? Jengkel, tentu saja!
Ku hembuskan napas kasar.
Si gadis kecil umur sekitar lima tahun ini mendongak kepalanya menatapku dengan bibir monyong.
Mataku mengedari sekitar tidak terlihat orang tua si anak.
"Tante, es krimku tumpah, ganti.." Dia menarik rokku. Sepertinya dia menyalahkanku atas tumpahnya es krim itu.
"Oke, tante ganti, kamu beli di mana?" tanyaku. Hatiku kesal bukan karena permintaan anak itu tetapi lebih karena kehilangan jejak wanita itu gara-gara kecerobohanku ini.
Wajah gadis kecil ini langsung ceria lalu dia menunjuk stan es krim yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
Aku dan gadis kecil itu pun mendatangi stan itu lalu membeli es krim kesukaannya.
"Makasih tante.. " Dia tersenyum manis.
"Hmm mamamu di mana?" tanyaku penasaran. Heran ada saja orang tua yang membiarkan anak balitanya berkeliaran di Mall sebesar ini.
Gadis kecil itu menunjuk seorang wanita muda yang sedang memilih baju di sebuah toko.
"Yah udah, kembali ke mamamu. Entar diculik wewe gombel loh!" candaku disambut dengan mata belalak si anak kecil ini dan segera dia berlari ke tempat mamanya berada. Ketakutan kali.
Aku tersenyum geli, teringat aku dulu juga sering ditakuti nenek ku seperti itu. Aku pun kembali ke toilet untuk membersihkan baju dan rokku yang kotor ini. Tak mungkin kan aku kembali ke tempat Pak Boss.. Astaga!
Sudah berapa lama aku meningggalkannya sendirian di restoran pizza? Jangan-jangan tadi yang nelpon dia pula? Waduh!
Setelah membilas baju dan rokku dengan cepat, aku segera kembali ke restoran tersebut dengan perasaan khawatir takut dimarahi Si Pak Boss.
Setiba aku di restoran, dari jarak tiga meter dapat ku lihat dia duduk dengan gelisah, sekali-kali dia melirik jam tangan yang melilit pergelangan tangannya.
Ku hela napas dan menghembuskannya pelan menenangkan debaran jantungku sembari berjalan mendekati meja yang kami tempati.
"Maaf, Pak... " cicitku menggigit bibir bawah.
Dia mendongak, menelan ludah terlihat dari jakunnya yang naik turun. Apa dia sedang menahan emosi?
"Kenapa bajumu basah?" tanyanya heran.
"Tadi ketumpahan es krim si anak kecil. " Aku hanya mengeringkannya dengan tissue, pasti belum kering betul.
"Duduk! " titahnya.
Aku menarik kursi dan duduk di hadapannya.
Pak Messach sudah menghabiskan pizza yang dipesannya, tinggal punyaku yang masih utuh tersaji di piring.
"Maaf, Pak, sudah menunggu... " Sekali lagi aku meminta maaf, melegakan hati yang bersalah.
"Makanlah dulu... " tukasnya datar.
Akupun menikmati kelezatan potongan-potongan pizza itu dalam keadaan lapar.
Pak Boss mengamatiku intens dengan duduk melipat tangan di meja. Aku agak risih diperhatikan begitu.
"Jangan buru- buru nanti kesedak lagi. Repot. "
Aku mendongak demi mendengar ucapannya. Dia melebarkan sudut bibirnya memamerkan lesung pipi miliknya.
Kalimat itu mengingatkan ku atas kejadian insiden keselak permen kopi.
Wajahku memanas, pasti lagi merah ini. Ah, kenapa dia harus mengingatku atas kejadian itu? Aku jadi sangat malu.
"Santai, Liana... " Kali ini senyumnya lebih lebar. Ah! Kenapa dia sekarang suka sekali tersenyum?
Aku menunduk kembali, pura-pura sibuk memotong potongan pizza. Andai dia tahu aku sedang menyembunyikan perasaanku yang kacau balau saat ini.
Yah, perasaan kacau balau!
Aku masih kepikiran dengan kejadian di toilet, bahkan perasaan ini ku seret sampai berada di mobilnya Pak Boss yang mengantar kami pulang ke kediaman kami masing-masing setelah makan malam bareng usai.
Aku duduk diam memandang jalan di depan yang diterpa sinar lampu mobil yang berlalu lalang.
Tio.. Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu? Kamu sedang tidak berbohongkan? Apa ini hanya perasaanku saja?
"Liana, proyek itu sudah berjalan sejauh mana?" tanya Pak Boss sembari menyetir.
"Oh.itu.. Besok kami akan ke sana, ke proyek, Pak." jawabku.
"Okay, berikan yang terbaik pada perusahaan. Fokus kerja. Jika berhasil, karirmu bakal meningkat. Jangan terlalu banyak mikir masalah yang tak penting. " tandasnya.
Apa dia sedang menyindirku? Masalah tak penting katanya?
"Jika seorang mencintaimu dengan tulus, dia akan memberikan yang terbaik dari dirinya. "
"Maksud Bapak?" Aku menolehkan kepalaku ke arahnya.
"Aku minta maaf tadi sudah berbuat lancang menggandengmu tanpa seijinmu. Itu karena aku lihat kamu tidak percaya diri. Tingkahmu akan terlihat aneh oleh orang lain. " Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah mengubah topik pembicaraan.
"Ya, Pak. Gak pa pa, terimakasih sudah mengajarku banyak hal. " kataku lirih. Aku tahu kekuranganku. Kadang-kadang rasa insecure bisa timbul dadakan dan otomatis mempengaruhi tingkah lakuku. Aku memiliki sedikit type anxious introvert.
"Yah, kamu harus banyak belajar, terutama percaya diri mu tingkatkan. Tiap orang punya kekurangan dan kelebihan. Jangan takut penilaian orang lain tentang kekuranganmu. Kamu cukup melakukan yang terbaik dari dirimu, orang bakal akan melihat kelebihanmu. Jika kamu terus takut akan penilaian orang lain akan semakin cemas dirimu, mengerti?"
"Ya, Pak." Aku akui apa yang dikatakan banyak benarnya.
"Jika kamu butuh bantuan soal kerjaan, kamu bisa meminta bantuan teman kerjamu. Kamu ketuanya bikin kelompok yang solid dan saling dukung. Setiap orang punya kesempatan untuk berkembang, termasuk kamu. " katanya sembari membelokkan mobilnya ke arah kiri.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Kost mu daerah sini yah?" tanyanya setelah mobilnya memasuki daerah Tomang. Aku sudah memberitahu tempat tinggalku sebelumnya.
"Iya, Pak. Turunkan di gang depan Indomaret, Pak, nanti aku jalan sendiri. "
"Gapapa?"
"Ya, Pak, aku sudah biasa jalan masuk gang sendiri." Aku meyakinkannya
Kurang lebih 10 menit, mobil itu berhenti persis seperti yang ku inginkan.
Aku membuka seatbelt, sebelumnya aku pamit dengan sopan.
"Makasih, Pak, selamat malam. " Aku pun turun dari mobil.
Saat aku mau menutup pintu mobil, Pak Messach berseru tegas,"Liana besok datang lebih pagi! Ingat jangan telat!"
Dia kembali ke mode "Killer".
"Ya Pak. Siap. " Aku mengangguk lalu menutup pintu mobil pelan.
Coba bilang gini, besok gak apa-apa datang telat biar bisa istirahat, cibikku.
Kemudian aku berjalan masuk gang
lewat pintu kecil gerbang yang sudah ditutup.
Kira-kira tiga meter jarak hampir mencapai tempat kost, aku menoleh ke belakang, perasaan ada yang perhatikan.
Aku terpana melihat mobil Pak Messach masih terparkir di pinggiran toko Indomaret.
Hah? Dia belum balik? Apa dia nunggu aku sampai masuk kost?
Ketika aku sudah berada di depan pintu rumah, ku lihat mobil itu melaju perlahan menembus kegelapan malam.
Aku menggedikkan bahu, merasa aneh dengan perlakuan Pak Boss. Pria beralis tebal itu moodnya suka berubah-ubah. Biasanya galak tapi malam ini lebih banyak tersenyum.
"Kena hembus angin mamiri." gumamku melangkah masuk ke dalam rumah kost.
Malam ini aku harap dapat tidur dengan nyenyak tanpa ganguan. Ku sunyi senyapkan ponselku biar tidak mengganggu waktu istirahatku.
Aku mandi membersihkan diri setelah itu memakai baju piyama. Berbaring menatap langit-langit kamar.
Tio, apa kamu sedang beristirahat di rumah ataukah.....? Aku harap, ini bukan rentetan peristiwa yang membuat aku ragu padamu. Kau pasti tahu, besar rasa cintaku padamu. Jangan khianati aku, aku pasti tak sanggup menanggungnya... ":
Aku ingin menelpon Tio tetapi aku sudah sangat lelah hari ini. Ku putuskan besok saja baru call Tio.
Aku menguap berkali-kali. Ngantuk sekali. Ku peluk gulingku. Perlahan mataku menutup dan masuk ke alam mimpi.
****